Mengintip Komunitas Hindu Asal Madura di Dusun Bongso Wetan Gresik (2)

Mengintip Komunitas Hindu Asal Madura di Dusun Bongso Wetan Gresik (2) Umat Hindu keturunan Madura di Dusun Bongso Wetan, Gresik, ketika mengarak ogoh-ogoh keliling dusun pada malam perayaan Hari Raya Nyepi 1947. Foto: Ist

GRESIK, BANGSAONLINE.com Komunitas umat Hindu di Dusun Bongso Wetan, Desa Pengalangan, Kecamatan Menganti, menarik perhatian publik lantaran mereka bukan keturunan asli dari Kota Pudak. 

Benarkah mereka berasal dari Madura? Madura mana? Berikut laporan terakhir M. Syuhud Almanfaluty, wartawan BANGSAONLINE.com, selamat menikmati:

Masyarakat keturunan Madura penganut Hindu di Desa Bongso Wetan, Desa Pengalangan, Kecamatan Menganti, punya tradisi unik setiap malam menyambut Hari Raya Nyepi.

Mereka mengarak dan membakar puluhan ogoh-ogoh raksasa yang dibuat dengan berbagai bentuk di tempat peribadatan, Pura Kertabumi, dengan disaksikan ratusan penganut Hindu keturunan Madura, mulai anak-anak hingga dewasa dan orang tua.

Upacara ini disebut dengan Tawur Agung Kesanga sebagai rangkaian ritual menyambut Hari Raya Nyepi seperti perayaan Nyepi 1947 Saka pada 28 Maret lalu.

Sebelumnya, komunitas keturunan Pulau Garam ini membuat ogoh-ogoh berbagai bentuk makhluk jahat dengan berbagai ukuran di pelataran Pura Kerta Bumi, seperti Buta Kala sebutan bagi iblis atau makhluk jahat.

Pada malam Hari Raya Nyepi itu, ratusan keturunan Madura baik laki-laki maupun perempuan mulai anak-anak, dewasa hingga orang tua kompak mengarak ogoh-ogoh keliling dusun dimulai dari Pura Kertabumi dan berakhir di pura tersebut.

Ketua Kerumahtanggaan Pura Kertabumi, Mujianto, menyebut upacara Tawur Agung Kesanga merupakan ritual pembersihan diri dan alam semesta. Upacara ini merupakan rangkaian dari persiapan menyambut Hari Raya Nyepi 1947 Saka.

"Tujuan dari ritual ini untuk membersihkan jiwa dan menghilangkan sifat buruk yang dapat mengganggu kedamaian," ujarnya.

Menurut dia, puluhan ogoh-ogoh yang diarak menggambarkan berbagai simbol Buta Kala (makhluk jahat) menjadi simbol dari penghancuran keburukan.

"Ogoh-ogoh diibaratkan sebagai Buta Kala, yang merupakan penghalang kedamaian," katanya.

Sementara itu, Sesepuh Pura Kertabumi, Wongso Negoro, mengatakan bahwa pembuatan lalu pengarakan ogoh-ogoh keliling dusun wajib dilakukan setiap malam perayaan Hari Raya Nyepi. Kegiatan ini dilakukan sejak 1983.

"Sebelum arak-arakan ogoh-ogoh dilakukan umat Hindu keturunan Madura pada malam hari menggelar ritual menaburkan kemenyan di atas arang," ucapnya.

Umat Hindu keturunan Madura di Dusun Bongso Wetan, Gresik, saat membuat ogoh-ogoh untuk rayakan hari raya Nyepi. Foto: Ist

Kemudian, upacara diikuti barisan perempuan dengan menyunggi sesaji yang di belakangnya terdapat beragam ogoh-ogoh berbagai ukuran. Para perempuan sebagian besar memakai kebaya dan jarit dari bahan batik khas Madura.

Ki Wongso sapaan akrab Wongso Negoro menyatakan, kostum yang dikenakan para peserta laki-laki dari usia anak-anak hingga dewasa dan orang tua mengenakan perpaduan kaos sakerah, dengan motif garis-garis warna merah-putih, serta bawahan batik khas Madura, bersama udeng.

"Ogoh diarak keliling dusun dengan diiringi musik sebagai simbol agar tidak mengganggu, karena ogoh-ogoh merupakan simbol sifat jelek," tuturnya.

Dijelaskan olehnya, saat arak-arakan ogoh-ogoh pada malam Hari Raya Nyepi 2025 bertepatan dengan umat muslim (Islam) tengah menjalankan puasa Ramadhan.

Karena itu, saat arak-arakan melewati masjid atau tempat ibadah umat Islam yang tengah menjalankan tarawih dan kegiatan keagamaan, peserta arak-arakan pun mematikan musik dan berjalan dengan tenang.

"Ini sebagai simbol kami menjaga toleransi terhadap sesama antarumat beragama," kata Ki Wongo.

Usai ogoh-ogoh diarak keliling dusun, ogoh-ogoh kembali dibawa ke Pura Kertabumi, kemudian dilakukan Pralina (pembakaran).

"Ogoh-ogoh dibakar sebagai simbul membakar sifat jahat, keangkara murkaan dan hal-hal buruk," ucap Ki Wongo.

Dalam rangkaian merayakan Nyepi umat Hindu keturunan Madura juga melakukan ritual Melasti, yaitu mengambil air dari 3  sumber mata air, yakni dari Pantai Kenjeran, Surabaya; Jolotundo, Trawas, Pacet, Mojokerto; dan Dusun Bongso Wetan, Desa Pengalangan.

"Air dari tiga sumber mata air itu kami bawa ke Pura Kertabumi kemudian kami gabungkan. Di pura komunitas Hindu Madura juga memanjatkan doa, ada yang dengan bahasa Madura dan Sangsekerta," urai Ki Wongso. (hud/mar)