
Oleh: Dr. KH. Ahmad Musta'in Syafi'ie
Rubrik Tafsir Al-Quran Aktual ini diasuh oleh pakar tafsir Dr. KH. A. Musta'in Syafi'i, Mudir Madrasatul Qur'an Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur. Kiai Musta'in selain dikenal sebagai mufassir mumpuni juga Ulama Hafidz (hafal al-Quran 30 juz). Kiai yang selalu berpenampilan santai ini juga Ketua Dewan Masyayikh Pesantren Tebuireng.
Tafsir ini ditulis secara khusus untuk pembaca HARIAN BANGSA, surat kabar yang berkantor pusat di Jl Cipta Menanggal I nomor 35 Surabaya. Tafsir ini terbit tiap hari, kecuali Ahad. Kali ini Kiai Musta’in menafsiri Surat Al-Anbiya': 105-106. Selamat mengaji serial tafsir yang banyak diminati pembaca.
105. Wa laqad katabnā fiz-zabūri mim ba‘diż-żikri annal-arḍa yariṡuhā ‘ibādiyaṣ-ṣāliḥūn(a).
Sungguh, Kami telah menuliskan di dalam Zabur setelah (tertulis) di dalam aż-Żikr (Lauh Mahfuz) bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh.
106. Inna fī hāżā labalāgal liqaumin ‘ābidīn(a).
Sesungguhnya di dalam (Al-Qur’an) ini benar-benar terdapat pesan (yang jelas) bagi kaum penyembah (Allah).
TAFSIR
Setelah membicarakan soal orang-orang baik yang bakal mendapatkan kebajikan dari Tuhan (al-husna), bahkan disebutkan kemahakuasaan Tuhan yang mampu melipat-lipat langit, kini berbicara tentang penghormatan Tuhan terhadap orang-orang shalih.
Sesungguhnya mereka-lah yang paling berhak mewarisi bumi ini. “ann al-ardl yaritduha ‘ibadiy al-shalihun”.
Demikian itu telah ditetapkan pada al-kitab, al-Zabur yang turun sebelum al-Qur’an. Lalu pada era ini diproklamirkan kembali teruntuk bangsa yang penuh dedikasi kepada-Nya, “inn fi hadza labalagh liqaum ‘abidin”.
Dalam al-Qur’an, kata al-Zabur berarti kitab samawi yang turun kepada Nabi Daud A.S., atau kitab suci yang turun setelah al-Taurah milik nabi Musa A.S. Itu pemahaman secara umum dan lazim, meskipun ada berbagai pemahaman yang senada.
Bahwa al-Zabur dan al-kitab adalah sama, dzat yang sama, tetapi diperuntukkan sebagai istilah bagi semua kitab terdahulu sebelum al-Qur’an.
Jadi, al-Taurah dan al-Injil bisa disebut sebagai al-Zabur. Karena zabara, artinya “kataba” atau “jama’a”, menulis dan menghimpun. Ini arti perseptif filologis dan sah-sah saja. Bahkan Said ibn Zubair memasukkan semua kitab suci, termasuk al-Qur’an.
Sedangkan “al-dzikr” diartikan sebagai kitab samawi yang masih ada di langit sono. Al-Qurtubi sependapat dengan tafsiran ini.
Sedangkan kitab suci al-Qur’an secara tegas diistilahkan sebagai al-Dzikr – kayaknya – hanya ada pada surah al-Hijr saja, yakni ayat nomor 6 dan 9. Kata “dzikr” yang lain tidak berkonotasi demikian.
Lalu, al-kitab juga dipakai sebagai nama lain dari al-Qur’an. Tetapi al-Qur’an hanya untuk al-Qur’an saja, tidak dipakai untuk kitab samawi yang lain.
Jadi, al-kitab dipakai sebagai istilah bagi semua kitab samawi: al-Taurah, al-Injil, al-Zabur dan al-Qur’an, tetapi al-Qur’an khusus dirinya sendiri, kitab suci yang turun kepada Rasulullah Muhammad SAW.