
KOTA KEDIRI, BANGSAONLINE.com - Di usia 68 tahun, Margiono, warga RT 02/RW 0I, Kelurahan Banaran, Kecamatan Pesantren, masih setia menjalankan profesinya sebagai pande besi tradisional.
Meski banyak pengrajin beralih ke mesin modern, Margiono tetap memilih menempa besi dengan tangan, mengubahnya menjadi cengkrong (arit berbentuk melengkung untuk tebang tebu) dan cangkul.
Margiono mengaku telah mendalami profesi ini sejak tahun 1975, belajar dari sang ayah. Setelah ayahnya meninggal dunia pada 1988, ia meneruskan usaha keluarga hingga kini.
"Saya bikin arit untuk tebang tebu (cengkrong) dan cangkul dengan cara ditempa dengan palu. Alhamdulillah, pesanan selalu ada. Yang pesan kebanyakan memang dari Kediri saja," ujarnya, Rabu (28/5/2025).
Dalam proses pembuatan, ia dibantu oleh anaknya dan satu orang pekerja. Saat musim panen tebu, pesanan arit cengkrong meningkat dibanding hari-hari biasa, di mana setiap harinya Margiono mampu membuat 6 arit secara manual.
"Saya hanya membuat arit untuk tebang tebu (cengkrong) dan cangkul. Sehari bisa enam arit. Satu cangkul dijual Rp180 ribu, sedangkan cengkrong kalau beli langsung dari saya harganya Rp16 ribu," paparnya.
Berbeda dengan pengrajin modern yang menggunakan mesin, ia mempertahankan teknik tradisional. Pemanasan besi dilakukan dengan memompa angin secara manual, lalu besi yang sudah cukup panas ditempa dengan palu berat hingga berbentuk sesuai kebutuhan.
Suara palu bertalu-talu yang menggema di bengkel sederhana Margiono menciptakan irama kerja yang khas. Meski semakin sedikit yang menempuh jalur tradisional, ia tetap teguh menjaga keuletan dan ketulusan dalam profesinya.
Selama masih ada petani yang membutuhkan arit dan cangkul, bara api di bengkel sederhana miliknya akan terus menyala. (uji/mar)