
JOMBANG, BANGSAONLINE.com – Bangsa Indonesia pernah mempunyai menteri agama yang sangat alim, cerdas dan pemikirannya sangat modern sekaligus futuristik. Siapa lagi kalau bukan KH Abdul Wahid Hasyim dari Pesantren Tebuireng.
Kiai A. Wahid Hasyim adalah putra Hadratussyaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari, pendiri Pesantren Tebuireng sekaligus pendiri organisasi keagamaan terbesar Nahdlatul Ulama (NU).
Kiai Abdul Wahid Hasyim menjabat Menteri Agama RIS pada tahun 1949 hingga 1950. Kemudian berlanjut menjadi Menteri Agama Indonesia pada tahun 1950-1953. Kiai A. Wahid Hasyim menjabat menteri agama di tiga kabinet.
Sebelumnya, Kiai Wahid Hasyim juga pernah menjabat Menteri Negara pada tahun 1945-1949. Kiai A Wahid Hasyim ditunjuk secara langsung oleh Presiden Soekarno.
Nah, saat menjabat menteri agama itu Kiai A. Wahid Hasyim punya kebijakan unik: calon jamaah haji tidak boleh buta huruf. Artinya, calon jemaah haji harus bisa baca. Bahkan Kiai Abdul Wahid Hasyim menganggap melek huruf itu bagian dari istitha’ah haji.
Ap aitu? Istitha'ah haji adalah kemampuan atau syarat yang harus dipenuhi oleh seorang calon jamaah haji dalam melaksanakan ibadah haji dengan baik dan aman. Istithaah ini meliputi kemampuan finansial, kesehatan fisik dan mental, serta kemampuan untuk menjalankan manasik haji.
“Kiai Wahid Hasyim mensyaratkan melek baca dalam status istitha'ah haji. Kebijakan ini mungkin terasa aneh untuk saat ini, dan lebih terasa aneh jika diberlakukan di tahun 50-an,” tulis Dr Mohammad Anang Firdaus, Direktur Utama Tebuireng Media Group.
Menurut Anang, kebijakan Kiai Wahid Hasyim itu bisa dicurigai akal-akalan untuk menghambat orang naik haji. Maklum, saat itu calon jemaah haji pakai “sistem” lotre untuk menentukan siapa yang akan berangkat.
“Kebijakan tak umum Kiai Abdul Wahid Hasyim itu akan menjadi rasional jika disandingkan data statistik kondisi pelaksanaan haji saat itu,” kata Anang.
Menurut dia, ada dua alasan kenapa Kiai A. Wahid Hasyim mewajibkan melek huruf bagi calon jemaah haji. Pertama, di tahun 1950, angka buta huruf di Indonesia sangat tinggi. Setelah kemerdekaan 1945, hanya sekitar 10% penduduk Indonesia yang mampu membaca, sedangkan sisanya, buta huruf. Pemerintah pun membuat program pemberantasan buta huruf pada 14 Maret 1948.
Kedua, dalam catatan Snouck, banyak sekali jamaah haji Indonesia yang menjadi korban perampokan dan penipuan selama haji. Awalnya karena tersesat, akibat tak bisa baca tanda dan tulisan. Alasan beliau, kebijakan ini akan memaksa umat Islam untuk belajar membaca, yang secara tak langsung akan meningkatkan kualitas SDM Indonesia.
Jadi bukan kebijakan akal-akalan. Bahkan Hadratussyaikh Kiai Muhammad Hasyim Asy’ari merinci spesifikasi istitha'ah.
“Dua dari banyak spesifikasinya antara lain punya bekal (living cost) dari berangkat hingga pulang "mu'nah al-safar", dan adanya kepastian keamanan perjalanan (travel security) dari segala marabahaya "amnu al-thariq". Secara ushul, wasilah memiliki hukum seperti ghayahnya (للوسائل حكم المقاصد). Atau, perkara yang menjadi klausul terlaksananya suatu yang wajib, juga dihukumi wajib. (ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب),” tulis Anang lagi.
Maka, tegas Anang, jika melek baca menjadi wasilah dalam meraih amannya living cost dan travel security, sedangkan keduanya menjadi syarat istitha'ah, maka melek baca mutlak menjadi bagian dari syarat istitha'ah. Wallahu A'lam