
Oleh: I Gede Alfian Septamiarsa
Di tengah hiruk-pikuk dunia digital, ketika TikTok, Instagram, dan YouTube Shorts berlomba merebut perhatian dalam detik-detik pertama, ada sebuah tren kontra-arus muncul dari generasi yang justru tumbuh bersama teknologi.
Apakah tren yqng dimaksud? Sebagian Gen Z kini mulai beralih menggunakan handphone (HP) Blackberry (BB) atau fitur lawas. Yang mana HP ini mendapatkan popularitasnya di era tahun 2000-an.
Ketika jaman masih banyak pengguna BB, terdengar familiar YahooMessenger, Pin BB, dan beberapa fitur yang cukup dikenal saat itu.
Fenomena ini sedang marak di platform media sosial TikTok. Salah satunya maraknya penggunaan hashtag blackberry (#blackberry) yang telah dipakai lebih dari 126 ribu kali. Hal ini muncul sebagai respons terhadap kejenuhan terhadap stimulasi yang berlebihan dari media sosial. Sebagai contohnya, terlalu banyak notifikasi, opini, informasi, dan eksistensi yang terasa memaksa.
Salah satu unggahan viral di X (Twitter) awal tahun 2024 menunjukkan komunitas muda di Jakarta dan Bandung yang secara sadar “digital detox” dengan menggunakan perangkat non-smartphone.
Mengutip dari The New York Post, pencarian di platform TikTok melalui kata kunci "Blackberry" bisa menemukan ribuan video Gen Z yang membeli ponsel Blackberry bekas dari platform e-Commerce. Selain itu juga menampilkan HP lawas milik orang tua mereka untuk dihias, kemudian memamerkan keyboard yang berderit dan cocok untuk ASMR.
Di sisi lain, bagi kebanyakan orang, gerakan anti-smartphone yang semakin berkembang juga merupakan cara untuk benar-benar merangkul dunia offline dan lebih sadar dalam mengonsumsi konten.
Melihat kondisi ini saya tergelitik untuk melihat bagimana dampaknya, terutama oleh para humas baik di instansi pemerintah maupun lainnya. Mengapa Gen Z lebih memilih keluar dari arus utama digitalisasi? Jawabannya terletak pada satu kata yaitu kebisingan, kegaduhan, hingga kejenuhan yang mereka rasakan terhadap media sosial.
Bagi orang yang mempopulerkan gerakan anti-smartphone, penggunaan smartphone itu dulunya menyenangkan.
Namun saat ini smartphone membuat orang menjadi kecanduan. Sehingga mereka ingin kembali ke masa-masa yang lebih sederhana. Salah satunya dengan menggunakan perangkat yang lebih sederhana bukan lagi smartphone.
Media sosial yang dulu juga diharapkan dapat menjadi ruang diskusi dan demokratis, kini berubah menjadi arus tak terkendali.
Banyak hoaks yang bermunculan, hingga ada framing yang seringkali tidak sesuai fakta namun menambah popularitas.
Begitu juga algoritma memfilter bukan berdasarkan urgensi publik, melainkan daya tarik atensi. Viralitas telah menjadi tolok ukur kebenaran.
Dalam konteks ini, humas pemerintah seringkali mengalami kesulitan dalam menyampaikan pesan yang bermakna. Sehingga pesan tersebut dapat tersampaikan kepada masyarakat. Karena kebanyakan mereka tenggelam di antara meme, hoaks, dan konten receh yang lebih “menggoda” algoritma.
Kita hidup di era information surplus but meaning deficit. Setiap hari publik disuguhi konten, namun jarang diberikan waktu apalagi ruang untuk memahami maknanya. Di sinilah kebisingan digital terbentuk, ketika komunikasi berlangsung masif tapi kehilangan arah. Bahkan banyak yang ikut-ikutan dalam euforia memproduksi konten viral tanpa narasi, mengejar eksistensi alih-alih membangun kepercayaan.
Dalam rangka melihat realitas yang ada, humas saat ini tidak bisa hanya sekadar menjadi juru bicara formal yang selalu menyampaikan data. Ia harus menjadi narator yang mampu menyusun cerita mulai dari angka, wajah dari kebijakan, dan empati dari birokrasi. Komunikasi harus dibangun bukan untuk memukau, tetapi lebih dapat menyentuh masyarakat dan memanusiakan peran institusi kepada masyarakat.
Belajar dari Generasi Digital
Kembalinya Gen Z ke Blackberry, atau setidaknya ke perangkat yang tidak mengedepankan notifikasi kini menjadi cermin. Mereka mendambakan komunikasi yang lebih dalam dan lebih manusiawi. Mereka memilih slow media bukan karena anti-teknologi, melainkan karena ingin merestorasi makna hidupnya.
Dalam konteks ini, humas pemerintah perlu mengevaluasi ulang panggung komunikasi yang dibangunnya: apakah kita terus berteriak di tengah keramaian? Atau mulai memilih untuk berbicara dengan jeda, dan mendengar dengan lebih seksama?
Panggung kehumasan ke depan harus dibangun dengan prinsip kejelasan, kedalaman, dan kepercayaan. Narasi harus lebih bermakna, pesan harus dikontekstualisasikan, dan komunikasi harus dibangun sebagai hubungan timbal balik. Jadi bukan sekadar tayangan satu arah.
Sebagai humas di tengah kebisingan terjadi saat ini, komunikasi sudah seharusnya terjalin dalam dua arah tanpa harus terus memborbadir dengan banyak konten di media sosial.
Apakah penetrasi informasi dapat tersampaikan begitu Gen-Z sudah mulai tidak lagi tertarik untuk menggunakan Smartphone?
Keheningan yang Bermakna
Jika generasi digital saat ini mulai merindukan ketenangan, maka sudah saatnya kita sebagai komunikator publik meninjau ulang orientasi kita. Kehumasan masa depan bukan tentang siapa yang paling nyaring, tetapi siapa yang paling bermakna.
Dan seperti Gen Z yang memilih Blackberry, mungkin kita pun perlu kembali bukan ke masa lalu, tetapi lebih memanfaatkan esensi komunikasi untuk mendengar lebih banyak, berbicara lebih bijak, dan menyampaikan pesan dengan hati. (*)
Penulis adalah seorang Pranata Humas Ahli Muda Biro Administrasi Pimpinan Setda Prov. Jatim.