Gen-Z dan Hoaks: Cepat Mengakses, Lambat Memverifikasi

Gen-Z dan Hoaks: Cepat Mengakses, Lambat Memverifikasi Ilustrasi

Oleh: Eka Nurfita Wulandari*

Saat ini Generasi Z hidup di zaman yang sangat serba cepat. Informasi datang bertubi-tubi setiap hari melalui layar ponsel. Bangun tidur buka media sosial, tidur pun masih sempat scrolling.

Sayangnya, kecepatan ini sering kali tidak diiimbangi oleh generasi muda, khususnya Gen-Z, untuk terbiasa berpikir kritis. Akibatnya, berita hoaks justru mudah menyelinap dan dipercayai begitu saja tanpa melihat berita itu benar atau hoaks.

Banyak dari kita, terutama Gen-Z, merasa sudah “melek digital” hanya karena terbiasa menggunakan teknologi. Padahal, melek digital seharusnya juga mampu menyaring informasi dengan baik.

Faktanya, tidak sedikit Gen-Z yang masih mudah terpancing oleh judul provokatif, potongan video, atau unggahan viral tanpa benar-benar tahu konteksnya. Hanya karena ramai dibicarakan, informasi itu langsung dianggap valid/benar.

Masalahnya, hoaks tidak selalu tampil dalam bentuk yang jelas salah. Sering kali berita hoaks justru dikemas rapi, emosional, dan seolah-olah narasinya masuk akal. Inilah yang membuat Gen-Z rentan untuk mempercayai berita-berita yang belum tentu benar.

Kebiasaan membaca cepat, malas membuka sumber, terlalu mempercayai opini yang disampaikan influencer tanpa mencari informasi lebih lanjut terhadap berita tersebut, membuat Gen-Z malas berpikir kritis. Bagi mereka, yang penting adalah update dan terus mengikuti arus.

Ironisnya, banyak hoaks justru tersebar bukan karena niat jahat, tetapi karena sikap sembrono. Tombol “bagikan” ditekan tanpa berpikir panjang. Mereka hanya berpijak pada kalimat, “siapa tahu benar” atau “biar orang lain yang menilai”. Pola pikir mereka juga hanya mengutamakan, dibandingkan kebenaran. Padahal, sekali hoaks tersebar, dampaknya tidak bisa ditarik kembali.

Mengantisipasi berita hoaks, seharusnya menjadi kesadaran bersama, terutama bagi Gen-Z.  Langkah pertama yang paling sederhana adalah berhenti sejenak sebelum percaya. Karena tidak semua yang viral itu fakta.

Tidak semua yang ramai dibicarakan itu valid/benar. Membaca isi berita secara utuh, mengecek sumber, dan membandingkan dengan media lain seharusnya menjadi kebiasaan, bukan pengecualian.

Gen Z perlu lebih berani bersikap atau berpikir kritis, termasuk terhadap figur publik dan content creator. Popularitas tidak selalu sejalan dengan kebenaran. Banyak opini pribadi yang dikemas seolah-olah terlihat fakta. jika hal ini diterima mentah-mentah, maka hoaks akan terus menemukan ruang untuk berkembang.

Di sinilah logika dan nalar pada semua orang, terutama Gen-Z, harus lebih diutamakan daripada emosi dan rasa takut ketinggalan informasi.

Literasi digital juga tidak boleh dimaknai sebatas kemampuan untuk menggunakan teknologi saja. Literasi digital berarti memahami dampak dari informasi yang kita konsumsi, dan kita sebarluaskan.

Setiap unggahan memiliki konsekuensi, setiap berita yang yang dibagikan ikut membentuk cara pandang orang lain. Jadi Gen-Z perlu menyadari bahwa menjadi pengguna media sosial juga berarti memikul tanggung jawab sosial.

Pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk sikap ini. Namun, pada akhirnya keputusan tetap berada pada tangan individu. Tidak ada algoritma yang bisa sepenuhnya melindungi kita dari berita hoaks, jika kita tidak sendiri enggan berpikir kritis dan berpikir secara logika.

Mengantisipasi hoaks bukan soal menjadi paling pintar, tetapi soal mau berhenti sejenak dan bertanya, “apakah ini benar?”

Generasi Z disebut sebagai generasi masa depan. Namun masa depan ini tidak akan dibangun dari informasi yang keliru. Jika ingin menjadi generasi yang membawa perubahan, Gen-Z harus mulai dari yang paling mendasar, berpikir sebelum percaya dan berpikir sebelum membagikan. Di tengah derasnya arus informasi, kemampuan untuk berhenti dan berpikir justru menjadi bentuk kecerdasan yang paling penting.

*Penulis adalah Mahasiswi Universitas 17 Agustus 1945