Paradoks Bantuan CSR Bencana di Tengah Pertarungan Citra: Publikasi Melesat, Logistik Tersendat

Paradoks Bantuan CSR Bencana di Tengah Pertarungan Citra: Publikasi Melesat, Logistik Tersendat Ilustrasi. Foto: Freepik

Oleh: Muhammad Hanif Salafuddin*

Letak geografis membuat Indonesia menjadi negara yang sangat rawan terhadap bencana, baik hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor, hingga vulkanologi seperti gunung meletus. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), ada 2.891 bencana alam yang terjadi mulai awal Januari hingga 1 Desember 2025.

Fenomena ini bukan hal baru, namun respons publik hari ini semakin menarik perhatian. Begitu bencana diumumkan, unggahan solidaritas dan janji bantuan mendadak membanjiri media sosial, termasuk dari entitas bisnis atau perusahaan. Para badan usaha ramai-ramai mempublikasikan aksi sosial mereka melalui program Corporate Social Responsibility (CSR).

Di sinilah paradoks muncul, publikasi di media sosial naik lebih cepat daripada bantuan fisik tiba di tangan korban. Pertanyaan pun tak bisa dihindari, apakah CSR bantuan bencana saat ini benar-benar dimaksudkan untuk menolong, atau sekadar membangun citra yang terlihat peduli?

CSR Sebagai Skema Pendanaan Penanganan Bencana

CSR pada dasarnya merupakan komitmen perusahaan untuk berkontribusi bagi masyarakat serta menjaga keberlanjutan lingkungan. Di Indonesia, kewajiban ini berlaku terutama bagi perusahaan yang bergerak di sektor sumber daya alam, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Regulasi tersebut menegaskan bahwa perusahaan memiliki kewajiban sosial yang melekat dan tidak dapat diabaikan dalam hubungan mereka dengan publik dan lingkungan sekitar.

BNPB menegaskan bahwa CSR juga dapat menjadi salah satu sumber pendanaan bagi penanggulangan bencana. Pemanfaatan ini tidak hanya bertumpu pada UU Perseroan Terbatas, namun juga diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang mewajibkan pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan. Kewajiban ini bahkan dilengkapi dengan konsekuensi hukum sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana. Dengan landasan hukum tersebut, CSR dapat berperan dan sering kali digunakan sebagai skema pendanaan alternatif untuk kegiatan penanganan bencana di Indonesia, baik pada tahap mitigasi, tanggap darurat, hingga pemulihan pascabencana.

Dari Empati Menjadi Medan Pertarungan Citra

Pada titik tertentu, CSR bantuan bencana tidak lagi sekadar tentang aksi sosial, namun cara perusahaan membangun citra agar tetap terlihat baik di mata masyarakat. Sebuah teori klasik tentang legitimasi oleh Dowling & Pfeffer menyebutkan bahwa perusahaan akan diterima jika tindakannya sesuai dengan nilai yang dipercaya publik. Jika tidak sejalan, maka kepercayaan publik bisa melemah. Dalam konteks CSR, membantu saja tidak cukup, perusahaan juga perlu untuk “terlihat” membantu.

Di sinilah empati perlahan bergeser menjadi citra. Banyak perusahaan berlomba membangun citranya lewat program CSR saat bencana terjadi. Logo yang tampak jelas dalam konten bantuan di media sosial, nominal yang sering ditonjolkan, dan publikasi dibuat secepat mungkin agar kesan peduli dapat terbentuk di platform digital. Ini bukan berarti tidak ada bantuan nyata, namun sorotan sering mengarah pada bagaimana aksi tersebut ditampilkan, bukan bagaimana bantuan benar-benar menjangkau korban secepat publikasinya.

Beberapa penelitian empiris menunjukkan bahwa CSR memiliki pengaruh signifikan terhadap citra perusahaan. Semakin sering aktivitas CSR dipublikasikan, semakin positif persepsi publik terhadap perusahaan tersebut.

Pada titik ini, muncullah arena pertarungan citra. Perusahaan yang cepat mempublikasikan bantuannya akan lebih mudah mendapat apresiasi, sementara perusahaan yang tidak terlihat aktif justru rentan dianggap tidak peduli. Pada akhirnya, yang melaju lebih cepat bukan selalu logistik, namun kesan baik perusahaan di beranda media sosial.

Ketika Bencana Menjadi Konten Visual

Setelah citra menjadi bagian penting dalam penerimaan publik, perusahaan masih perlu menampilkan kepeduliannya. Karena publik lebih mudah menilai dari apa yang terlihat, dokumentasi penyaluran bantuan kemudian menjadi aspek yang hampir selalu menyertai kegiatan CSR. Kamera hadir untuk merekam proses pengiriman bantuan, spanduk dan logo perusahaan tampil dalam bingkai, dan cuplikan video singkat dibagikan ke media sosial agar publik dapat mengetahui peran perusahaan.

Kondisi ini menunjukkan bahwa bencana tidak hanya dipahami sebagai keadaan darurat, tapi juga sebagai peristiwa yang membutuhkan dokumentasi sebagai bukti kepedulian. Di sinilah muncul bentuk komodifikasi dalam skala ringan, yaitu ketika visualisasi bencana dan penyaluran bantuan memiliki nilai komunikasi tersendiri bagi perusahaan.

Bukan berarti bantuan tidak tulus, namun visual sering menjadi medium utama yang mempertemukan niat baik dengan persepsi publik. Dalam ruang digital yang serba cepat, informasi yang tampil menarik dan mudah dibagikan sering mendapat perhatian lebih besar dibandingkan proses distribusi bantuan yang berlangsung di lapangan.

Nominal Sebagai Sorotan Utama

Dalam praktik CSR bencana, satu hal yang sering terlihat mencolok adalah penekanan pada nominal bantuan. Informasi tentang jumlah dana yang akan disalurkan, banyaknya sembako atau paket logistik yang dibagikan, hingga total nilai kontribusi perusahaan, sering menjadi headline utama dalam publikasi. Besarnya angka kemudian dipersepsikan sebagai ukuran kepedulian, seolah nilai donasi berbanding lurus dengan ketulusan aksi.

Penonjolan angka tentu tidak selalu salah, transparansi justru bisa membantu masyarakat menilai skala kontribusi. Namun fokus pada nominal sering membuat perhatian bergeser dari pertanyaan yang lebih penting, misalnya apakah bantuan tersebut benar-benar sampai ke tangan korban? Dalam beberapa kasus, publikasi tentang nilai donasi muncul lebih dulu di media sosial, sementara proses distribusi masih dalam perjalanan dan membutuhkan waktu karena akses lapangan yang tidak selalu mudah. Bahkan dalam bencana banjir bandang di Sumatera akhir tahun ini, ada banyak daerah yang belum tersentuh bantuan lebih dari satu pekan setelah kejadian.

Publikasi perihal nominal bantuan juga patut dikritisi, karena sudah ada banyak kasus penyelewengan dan penggelapan dana bantuan, sehingga apa yang diterima oleh korban bencana tak sesuai dengan angka-angka yang digaungkan.

Di sinilah muncul paradoks kecil dalam komunikasi CSR. Publik cepat mengetahui berapa miliar dana yang disalurkan perusahaan, namun belum tentu mengetahui bagaimana bantuan itu diterima oleh para korban bencana. Informasi tentang alur distribusi dan dampaknya tidak selalu mendapatkan porsi yang sama besar dengan angka donasi. Akibatnya, kepedulian yang seharusnya diukur dari ketepatan penyaluran justru lebih sering dinilai dari angka yang tampak di layar.

Refleksi Bersama

Fenomena CSR bantuan bencana di era digital memperlihatkan sebuah paradoks yang tidak bisa diabaikan. Masyarakat sering lebih cepat mengetahui nilai bantuan dibanding korban yang menerimanya. Visual bantuan bergerak halus di linimasa, namun penyaluran logistik masih harus melewati medan panjang. Simbol kepedulian datang lebih dulu dibanding pertolongan yang benar-benar menyentuh tangan korban bencana. Ketika publikasi menjadi ukuran kepedulian, maka bantuan berisiko berubah menjadi strategi citra.

Paradoks itu tampak jelas, perusahaan bisa terlihat peduli bahkan sebelum bantuan memberikan dampak nyata di lapangan. CSR yang idealnya menjadi wujud solidaritas kemanusiaan, kadang beralih fungsi menjadi konten visual yang memperkuat citra dan reputasi. Bukan berarti perusahaan tidak membantu, namun publikasi yang mendahului distribusi membuat kepedulian tampak lebih penting untuk diperlihatkan daripada diwujudkan.

Pada akhirnya, pertanyaan yang paling relevan bukan hanya seberapa cepat publikasi dan berapa besar nominal yang disumbangkan, namun seberapa cepat bantuan itu mengurangi beban mereka yang terdampak. Jika yang melaju paling cepat hanyalah citra, maka kita perlu bertanya ulang: CSR ini berorientasi pada kemanusiaan, atau pada citra perusahaan yang ingin terlihat peduli?

*Penulis merupakan mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi di Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya.