
SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di Indonesia identik dengan Nahdlatul Ulama (NU). Maklum, warga NU inilah yang secara massif dan gegap gempita serta istiqamah merayakan peringatan Maulid Nabi Muhammad sesuai keragaman kultural dan kearifan lokal berbagai daerahnya.
Lalu bagaimana dengan Muhammaiyah? Pandangan Muhammadiyah terhadap Maulid Nabi Muhammad SAW hampir sama dengan NU. Memang dulu sempat ada pengurus Muhammadiyah yang melarang atau membid’ahkan Maulid Nabi. Tapi kemudian Pimpinan Pusat Muhammadiyah justru menganjurkan untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.
Bahkan pada tahun 1976, Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengeluarkan instruksi agar Pimpinan Muhammadiyah, terutama Pimpinan Muhammadiyah Daerah dan Pimpinan Muhammadiyah Cabang mengadakan peringatan maulid nabi Muhammad. Berita tentang instruksi tertanggal 8 Muharram 1936/10 Januari 1976 ini dapat dibaca di Suara Muhammadiyah nomor 4 tahun 1976.
Seperti ditulis Isngadi, Direktur Pusat Data Suara Muhammadiyah, PP Muhammadiyah tidak cukup sekedar instruksi. Ketua PP Muhammadiyah kala itu, KH AR Fachruddin (Ketua PP Muhammadiyah 1968-1990) juga menulis di Suara Muhammadiyah nomor 5 tahun 1976 yang pada intinya mengingatkan ulang arti penting peringatan maulid nabi bagi dakwah Islam dan syiar Muhammadiyah. Di tulisan ini Pak AR juga mengingatkan bahwa dalam memperingati maulid nabi, warga tidak terikat ketat oleh tanggal dua belas Rabiul Awwal dan tidak pula terikat dengan ritual upacaranya.
Ini persis dengan realitas NU. Warga NU tidak hanya menggelar peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal tapi juga sebulan penuh Rabi’ul Awwal. Bahkan ada juga yang menggelar peringatan Maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Akhir atau Bakda Maulud.
Sikap Ustadz Skripturalis
Lalu siapa yang masih menganggap peringatan Maulid Nabi Muhammad bid’ah? Dan mengharamkan peringatan Maulid Nabi? Inilah yang menarik. Tampaknya mereka adalah ustadz-ustadz impor yang sama sekali tak berkeringat dalam perjuangan Islam di Indonesia.
Mereka adalah ustadz formalis atau ustadz tekstualis yang oleh para akademisi disebut sebagai kelompok skripturalis. Mereka inilah yang selalu melakukan provokasi dan mempersoalkan peringatan Maulid Nabi dengan alasan tak ada dalilnya.
Ironisnya, mereka tak pernah mempertanyakan dalil naqli ketika mengagung-agungkan rajanya di Arab Saudi.
Ustadz skripturalis itu ada kalanya perorangan alias tak punya jemaah, namun ada pula yang tergabung dalam organisasi Islam kecil yang jumlahnya tentu tak banyak. Artinya, tak sebesar NU dan Muhammadiyah.
Para emak-emak juga ikut memperingati Maulid Nabi SAW.
Mereka umumnya memanfaatkan media sosial, terutamanYouTube dan lainnya. Diantaranya Ustadz Khalid Basalamah yang belum lama ini sempat heboh karena dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kenapa ustadz skripturalis itu mempersoalkan peringatan Maulid Nabi yang sejatinya merupakan ekspresi kecintaan rakyat Indonesia terhadap Rasulullah SAW.
Kita harus memahami bakcground keilmuan ustdadz skripturalis itu. Mereka umumnya adalah ustadz produk impor. Paling tidak, ilmunya dapat dari ulama Arab. Khususnya Wahabi. Otomatis gak paham realitas sosial dan kearifan lokal. Karena mereka memang gak pernah berjuang, apalagi berjasa untuk mengembangkan Islam di Indonesia. Sehingga tak paham tradisi dan budaya bangsa Indonesia. Ia datang ke Indonesia setelah Islam menempati posisi mayoritas.
Celakanya, mereka merasa paling Islam, sok berjasa, merasa sebagai pejuang Islam. Padahal hanya bikin resah umat Islam.
Ilmunya juga tak punya sanad dengan ilmu ulama-ulama nusantara. Otomatis ustadz impor itu secara geneologi keilmuan tak nyambung dengan para ulama Indonesia. Padahal ulama nusantara atau para Wali Songo itulah yang secara fakta historis berjuang dan berdakwah di Indonesia. Sampai Islam menjadi mayoritas di negeri tercinta ini.
Ustadz produk impor umumnya saklek. Hanya mau memakai dalil naqli. Dalil tekstual Al Quran atau Hadits. Pemahaman keagamaannya pun hitam putih. Formalistik. Tekstual. Dan - maaf - sering tidak tolerans. Karena itu disebut kelompok skripturalis.
Ironisnya, mereka merasa paling benar. Menganggap ulama lain salah dan sesat. Ya, mereka memonopoli kebenaran. Di alam pikirnya hanya ada kebenaran tunggal: pemikirannya sendiri. Mereka mengabaikan Hadits Nabi: Ikhtilafu ummati rahmatun. Perbedaan diantara umatku adalah rahmat atau kasih sayang.
Para ustadz formalis dan tekstualis itu lebih suka bertengkar atau merendahkan sesama muslim ketimbang menghargai perbedaan. Mereka mengabaikan akhlak. Padahal akhlak sejatinya berada di atas ilmu. Itulah kenapa Hadratussyaikh Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari menulis kitab آداب العالم والمتعلم (Adabul ‘Alim Wal Muta’allim). Yang intinya menekankan pentingnya akhlak atau etika bagi orang yang berilmu dan orang yang mencari ilmu.
Rasulullah SAW sendiri mengatakan: إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَکَارِمَ الْأَخْلَاق. Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak. Allah SWT dalam ayat Al-Qur'an Surah Al-Anbiya ayat 107 juga berfirman: وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ. Yang artinya: Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhamamd), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. Jadi untuk menebar kasih sayang, bukan untuk menyalahkan orang lain. Apalagi sesama muslimnya.
Warga Madura saat menggelar Maulid Nabi Muhammad SAW. Foto: Twitter
Tapi para ustadz formalis dan tekstualis itu mengabaikan berbagai etika atau akhlak. Padahal sumber akhlak itu jelas-jelas dalil naqli. Tak aneh, jika mereka selalu ribut dengan bid’ah. Menghantam kelompok Islam yang tak sealiran. Termasuk selalu mempersoalkan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Mereka bahkan menghukumi Maulid Nabi bid’ah. Mereka merasa tak menemukan dalil tekstual Al Quran dan Hadits.
Beda sekali dengan ulama atau kiai asli Indonesia. Para kiai asli Indonesia selalu memahami Islam secara substansial. Sehingga mereka sangat arif dan bijak.
Maklum, mereka paham tentang realitas sosial dan budaya. Sehingga mereka memahami kearifan lokal.
Pedoman utama mereka surat An-Nahl ayat 125. أُدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ. Serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah. Artinya, berdakwah dengan cara bijak sehingga tidak hanya menyentuh otak tapi juga hati.
Lalu َوَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَة. Memberi nasihat yang baik. Dakwah lemah lembut dan menyejukkan hati.
Kalau toh harus berdebat, maka harus dengan cara yang baik. Yaitu َجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ. Artinya, berdebat dalam kerangka akhlaqul karimah. Tidak emosional dan merasa paling benar.
Tiga Poin Penting dalam Maulid Nabi SAW
Kembali ke peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Kita lihat apa sebenarnya isi peringatan Maulid Nabi Muhammad yang tiap bulan Rabi’ul Awwal selalu digelar secara gegap gempita dan massif oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Terutama warga NU.
Seperti diberitakan BANGSAONLINE, Jumat (5/9/2025), para ulama menyampaikan, setidaknya ada tiga poin penting dalam peringatan Maulid Nabi SAW yang tiap tahun dirayakan secara massif dan gegap gempita oleh umat Islam Indonesia.
Pertama, peringatan Maulid Nabi itu adalah ekspresi rasa cinta rakyat Indonesia, terutama umat Islam, terhadap Nabi Muhammad SAW. Karena itu, baik mereka yang kaya maupun yang miskin, menggelar peringatan Maulid Nabi, baik di rumahnya masing-masing maupun secara bersama-sama di langgar, mushalla atau masjid.
Yang harus diingat, acara utama peringatan Maulid Nabi itu adalah baca shalawat secara bersama-sama.
Pertanyaannya, apakah baca shalawat itu bid’ah dan dilarang oleh ajaran Islam? Bukankan baca shalawat itu dianjurkan di mana saja dan kapan saja, termasuk dalam acara peringatan Maulid Nabi Muhammad?
Dalil naqli baca shalawat itu jelas dan gamblang dalam Surat Al Ahzab ayat 56.
. اِنَّ اللّٰهَ وَمَلٰۤىِٕكَتَهٗ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّۗ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا Artinya, "Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya dengan sungguh-sungguh."
Logikanya, kalau Allah SWT saja baca shalawat kepada junjungan kita Nabi Muhammmad, kenapa ustadz-ustadz formalis dan tekstualis itu mempersoalkan peringatan kelahiran Nabi Muhammad yang acara utamanya baca shalawat?
Kedua, peringatan Maulid Nabi SAW itu berisi ceramah atau nasehat yang mengungkap keteladanan Nabi Muhammad. Terutama, sejarah hidup Rasulullah, sejak lahir hingga wafat, wabilkhusus akhlaknya yang mulia. Karena itu kadang dibaca Barzanji.
Apa salah menghidup-hidupkan keteladanan akhlak Raasulullah SAW dalam era modern yang semakin krisis moral, akhlak dan budi pekerti seperti sekarang?
Apa sebenarnya yang membelenggu pikiran para ustadz formalis dan tekstualis sehingga mengharamkan peringatan Maulid Rasulullah SAW?
Ketiga, peringatan Maulid Nabi itu berisi sedekah. Sekali lagi sedekah!
Nah, sedekah itu sesuai dengan adat istiadat setempat. Di Madura, umumnya memprioritaskan sedekah buah-buahan dan uang. Juga ada sedekah nasi dan sembako plus uang.
Sekarang di mana-mana orang yang mengelar Maulid Nabi berlomba-lomba sedekah paket sembako dan uang. Maklum, Indonesia sekarang mengalami krisis ekonomi. Sehingga rakyat Indonesia lebih suka mendapat sembako dan uang.
Nah, orang-orang yang menggelar peringatan Maulid Nabi SAW – terutama mereka yang kaya – menyajikan berkat atau sedekah unik dengan paket jumbo dan banyak. Misalnya berkat berupa beras 3 kg sampai 5 kg. Itu pun masih ditambah gula, minyak goreng dan sebagainya.
Bahkan di beberapa tempat ada juga berupa berkat sekeranjang durian dan buah-buahan yang lain.
Juga plus uang. Mulai dari Rp 5.000 per orang sampai Rp50 ribu dan bahkan Rp100 ribu per orang.
Apa yang salah dengan sedekah atau berkat? Bukankah sedekah itu kapan pun diperbolehkan? Apalagi saat acara Maulid Nabi yang rangkaian acaranya untuk menghormati kelahiran Rasulullah SAW.
Seorang bapak di Aceh membawa pulang berkat dari acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Foto: Antara
Para ustadz formalis dan tekstualis – terutama ustadz Wahabi – seharusnya bersyukur dan berterima kasih kepada masyarakat Indonesia yang menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW karena mereka punya kesadaran besar untuk membagikan kelebihan rezekinya di tengah rakyat Indonesia kesulitan ekonomi. Bukan malah membid’ahkan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang nyata-nyata penuh barakah dan membahagiakan sebagian besar rakyat Indonesia.
Apalagi jika para ustadz formalis dan tekstualis itu tak bisa bersedekah sendiri. Mari ustadz fastabiqul khairat, berlomba dalam kebaikan, saling memperbanyak sedekah kepada rakyat Indonesia. Jangan justru menghalangi orang atau masyarakat yang sudah gemar bersedekah. Apalagi sedekah itu dibagikan karena rasa cinta kepada Rasulullah SAW.
Ingat ustadz, memotivasi orang untuk bersedekah dan peduli pada nasib orang lain itu sangat sulit. Karena itu masyarakat yang secara sukarela sudah gemar bersedekah jangan dihalangi dengan isu provokatif bid'ah yang tak jelas.
Wallahua’lam bisshawab