
BOJONEGORO, BANGSAONLINE.com - Awalnya hanya coba-coba, namun kini menggambar sudah menjadi rutinitas Ahmad Latif Basya. Belajar secara autodidak, ia tekun berusaha. Hasilnya, kini karya Ahmad Latif sudah lebih dari 300.
Bagi Basya, melukis bukan sekadar aktivitas menuang warna di atas kanvas. Lebih dari itu, ada perjalanan batin, ketenangan, hingga bahasa spiritual yang tak selalu bisa dijelaskan.
Basya mulai menekuni dunia seni rupa sejak duduk di bangku SMA. Berawal dari menggambar karakter kartun dengan pensil, Basya makin sadar pentingnya proporsi dan ukuran bidang dalam sebuah objek. Sejak itu, kanvas dan kuas menjadi teman karibnya.
Ketika kuas mulai bergerak di atas kanvas, ia merasa, layaknya terdapat masalah besar, namun dapat bercerita dengan orang yang tepat. Menjadi solusi penenang yang melegakan sekaligus mencerahkan.
"Ketika lukisan jadi, seperti kita berhasil menaklukan masalah. Naik tingkat di hadapan Tuhan, rasanya seperti bangga, puas, dan kuasa," katanya, Minggu (7/9/2025).
Meski terbilang belajar melukis secara autodidak, Basya mengaku mendapatkan pelajaran berharga dalam perjalanannya menyelami dunia lukis. Suatu ketika, Basya sempat melukis dengan semangat yang salah, didorong rasa sok bijak dan sombong.
Dalam lukisan itu, ia menuliskan kutipan filosofis yang dianggap keren, didapatkan dari buku yang dibaca. Tak disangka, tak lama kemudian ia mengalami kecelakaan dan koma selama tiga hari. Ingatannya hilang selama 10 hari.
Berdasar diagnosa dokter kala itu, kecil kemungkinan bagi Basya bisa selamat. 95 persen meninggal dunia dan hanya 5 persen kemungkinan hidup, tapi amnesia. Namun, takdir Tuhan berkata lain. Ia pulih total dengan ingatan kembali seperti semula.
"Awalnya sok keren, eh dikasih pelajaran langsung sama Tuhan. Kalau jodoh, pati, urip iku neng tangane Pangeran," lanjutnya.
Kini, Basya dikenal sebagai pelukis realis-imajinatif yang menggabungkan riset dan intuisi. Ia pernah berpameran bersama komunitas seni seperti Line Art Bojonegoro, Sangrupa, dan New Citra Rupa.
Sebanyak 300 karyanya berbentuk lukisan maupun sketsa wajah. Dalam sehari, ia mampu menggambar tiga hingga empat sketsa wajah. "Bahkan, bisa lebih tergantung tingkat kesulitannya," katanya.
Pemuda asal Desa Ngantru, Kecamatan Ngasem, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, ini mengatakan, satu bentuk sketsa wajah ia banderol sekitar Rp200 ribu, tergantung ukuran kertasnya. Namun, berbeda dengan lukisan yang harganya lebih mahal karena berukuran besar dan peralatannya juga mahal.
"Saya pernah melukis Harimau Jawa dan terjual hingga Rp1,5 juta. Hingga kini lukisan itu yang paling mahal," kata lelaki Fakultas Tarbiyah IAI Sunan Giri Bojonegoro (Unugiri) itu.
Basya berharap, setiap lukisan hasil karyanya dapat dipelajari kemudian hari oleh generasi mendatang. Demikian pula, ia memulai dari diri sendiri. Maka, tidak boleh berakhir pada dirinya sendiri.
"Maka saya tularkan bakat saya untuk membimbing anak-anak berkebutuhan khusus di SLB Muhammadiyah Padangan," terangnya. (jku/rev)