UU Nomor 14 Tahun 2025 Disahkan, Fajar Yulianto: Pemerintah Wajib Jamin Umrah Mandiri Aman

UU Nomor 14 Tahun 2025 Disahkan, Fajar Yulianto: Pemerintah Wajib Jamin Umrah Mandiri Aman Direktur YLBH Fajar Trilaksana (FT), Andi Fajar Yulianto.

GRESIK, BANGSAONLINE.com - Direktur YLBH Fajar Trilaksana (FT), Andi Fajar Yulianto, merespons pengesahan Undang-Undang (UU) Nomor 14 tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.

Menurutnya, undang-undang ini merupakan perbaikan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 yang mengatur tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah di Indonesia.

“Perbaikan undang-undang pada dasarnya dapat dibenarkan secara teori bahwa sebuah upaya pemerintah memperbaiki tata kelola penyelenggaraan haji dan umroh lebih tertip, transparan, dan akuntabel, serta diharapkan dapat mendukung ekosistem ekonomi keagamaan,” ujar Fajar kepada BANGSAONLINE, Sabtu (25/10/2025).

Ia menyebut, pada Pasal 86, pokok intinya perjalanan ibadah umrah dapat dilakukan dengan tiga cara. Pertama, melalui Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU). Kedua, umrah secara mandiri. Ketiga, melalui kementerian yang khusus terkait penyelenggaraan.

Sedangkan pada pasal 87 A, lanjut Fajar, yang mengatur persyaratan bagi pelaksanaan umroh mandiri di antaranya, yang pertama adalah beragama Islam. Kedua, memiliki paspor yang masih berlaku paling singkat 6 bulan sejak tanggal keberangkatan. Ketiga, memiliki tiket pesawat tujuan Arab Saudi dengan tanggal keberangkatan dan kepulangan yang jelas. Keempat, memiliki surat keterangan sehat dari dokter. Kelima, memiliki visa dan tanda bukti pembelian paket layanan dari penyedia layanan yang tercatat dalam sistem informasi kementerian.

“Dari isi Pasal 86 dan 87 A tersebut, jelas dan tegas pelaksanaan umrah telah dibuka jalan alternatif opsi mandiri. Hal ini sebenarnya pemerintah akan jauh lebih repot dan tambahan beban tersendiri terkait sistem pengawasannya, karena tidak mudah adaptasi atau penyesuaian diberlakukan regulasi ini, justru ini dapat menimbulkan lemahnya kepastian hukum,” paparnya.

Lebih jauh Fajar menyampaikan, dilegalkannya umrah mandiri oleh undang-undang, maka risiko operasional seakan terlihat melegitimasi pelaksanan umrah mandiri dimaknai sebagai kemajuan kebebasan secara mandiiri, untuk mengelola dan mengatur perjalanan umroh sendiri.

Namun pandangan ini, tegas Fajar, lain jika dinilai dari sisi pelaku industri travel perjalanan umrah dan haji. Mereka akan khawatir terjandinya kekacauan terhadap cara konseptual operasional, walaupun Arab Saudi telah membuka peluang untuk umroh mandiri.

“Praktik operasional umrah mandiri tidak semudah yang dibayangkan. Artinya, hal ini akan menjadi sebuah potensi tata kelola mandiri tanpa pengawasan yang melekat dari pihak pemerintah. Sehingga risiko yang paling terdampak adalah para pelaku industri umrah secara umum,” bebernya.

Ia menambahkan, dengan dilegalkannya umrah mandiri, potensi akan menjamurnya para pengepul umrah pribadi yang akan mengelola umroh tanpa legalitas. Umroh dijalankan lazimnya mengkoordinir pribadi atau acara keluarga yang sangat potensi adanya peluang-peluang perbuatan pemanfaatan keadaan dengan aksi penipuan berkedok perantara atau para pengepul liar.

Karena itu, untuk mencegah kejadian yang tidak diiginkan, tambah Fajar, harusnya Pemerintah mampu memitigasi kondisi risiko atau dampak yang akan muncul kemudian, karena jelas di sinilah kompleksitas pengawasan dan partisipasi publik sangat dibutuhkan.

“Lalu apakah perlu review Undang-Undang No. 14 tahun 2025? Ketika aturan akses kebebasan terbuka namun ternyata kepastian hukum justru menjadi lemah, maka menjadi keniscayaan untuk dilakukan review,” pungkas Fajar. (hud/msn)