Yang Ilahi dan Yang Insani di Jalan Kramat

Yang Ilahi dan Yang Insani di Jalan Kramat Aguk Irawan MN. Foto: Instgram agukirawanmn.

Oleh: Aguk Irawan MN

Di sebuah ruang, atau mungkin di aula, di Jalan Kramat Raya sana, konon para ulama tengah bersitegang. Bukan soal tafsir, bukan soal ushul fiqh, bukan pula soal makna al-Ashlu dari sebuah teks klasik. Tapi soal kursi, soal posisi, soal—barangkali, meski tak terucap—siapa yang lebih berhak mendefinisikan arah.

Para ulama, dalam imajinasi kolektif kita, adalah “penyambung wahyu”. Bukan dalam arti mereka menerima wahyu baru, tentu saja, sebab kenabian telah usai. Tapi dalam arti mereka adalah transmisi, sebuah saluran yang darinya mengalir kearifan Ilahi, yang diterjemahkan ke dalam bahasa bumi, ke dalam etika hidup sehari-hari.

Mereka adalah pewaris para nabi (waratsatul anbiya'). Sebuah gelar yang jika direnungi, mestinya menggetarkan. Ia mengandaikan beban sejarah, beban moral, dan beban spiritual yang luar biasa.

Tapi di Jalan Kramat, beberapa hari ini beban itu seolah tereduksi menjadi beban logistik politik. Seakan menjadi hingar-bingar, tawar-menawar, dan menjelma friksi. Di sana, yang ilahiyah bergesekan keras dengan yang insaniyah—yang fana, yang penuh cacat, yang sarat kepentingan. Ruang itu, yang seharusnya hening oleh munajat, riuh oleh kalkulasi kekuatan yang satu dan kekuatan yang lainnya dengan atas nama alim-ulama.

Ulama memang tidak “ma'shum”, suci dan tanpa cela dan kekurangan, tetapi dalam maqom keulamaannya, secara ideal mungkin kita bisa berharap lebih, -dalam riwayat para ulama, tak seharusnya “perjuangan” dan “pembelaan”, sekadar soal kursi atau kuasa. Sebab, ada yang lebih bermartabat dari itu, yaitu: amanat untuk menyambung “wahyu”, atau setidaknya hikmah dari teks-teks suci yang tak pernah kering.

Teks yang bicara tentang keadilan, kerendahan hati, dan kasih sayang, bukan soal “pemakzulan” atau manuver politik serta kekuasaan semata. “Wahyu” tentu saja telah paripurna. Nabi terakhir telah tiada. Namun risalah—pesan moral, etika, dan spiritualitasnya—terus mengalir melalui mereka yang memilih jalan sunyi keilmuan dan keteladanan.

Ulama adalah penyambung riwayat itu, bukan penyambung lidah kepentingan sesaat. Kita, nahdliyin hari ini, wajar lalu teringat pada sosok-sosok yang bersahaja dan telah pergi. Mereka yang dalam ingatan kita mewarisi keheningan dan ketegasan sekaligus. Kebijaksanaan sekaligus kearifan.

Kita rindu pada sosok Almarhum Kiai Ilyas Ruhiyat. Seorang Rais Aam yang bersahaja, yang memimpin PBNU bersama Gus Dur, tanpa perlu banyak bicara soal kekuasaan, tapi kaya dalam sikap. Kiai Ilyas adalah gambaran ulama yang teduh, yang ilmunya mengakar, perilakunya meneduhkan, bukan memanaskan.

Kemudian ada Almarhum Mbah Sahal Mahfudh dari Kajen. Kiai dengan kealiman yang tak perlu branding, ketegasan yang tak perlu gebrak meja. Ketegasannya adalah pada prinsip, pada khittah, pada konsistensi. Kelembutannya adalah pada cara, pada senyum, pada penerimaan bahwa realitas tak selalu hitam-putih.

Allahyarham telah banyak mengajarkan fikih sosial, sebuah ijtihad yang melampaui sekat-sekat mazhab formalistik, merespons zaman tanpa kehilangan akar. Fikihnya lentur, tapi akidahnya kokoh. Di tangannya, wahyu terasa relevan, membumi, dan menyejukkan.

Lalu ada almarhum Kiai Hasyim Muzadi. Sosok yang fasih beretorika, tapi kata-katanya berisi substansi, bukan sekadar gema kosong. Ia bisa menjadi politikus ulung, tapi keulamaan-nya tak pernah luntur. Dalam setiap perbincangan politik, selalu ada sisipan nasihat tasawuf, selalu ada pengingat akan akhirat.

Ketegasan sikapnya dalam menghadapi ancaman terhadap keutuhan bangsa, misalnya, mengingatkan pada semangat Resolusi Jihad Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari. Tegas, tapi dengan kelembutan seorang bapak yang mengkhawatirkan anak-anaknya kebingungan.

Tentu saja ada Almarhum Gus Dur. Ia adalah anomali yang dirindukan. Seorang ulama yang juga seniman, pemikir, dan pembela kaum minoritas. Ia mentertawakan kekuasaan dan tak pernah sudi diikat oleh birokrasi kaku organisasi. Baginya, NU adalah jamaah, bukan sekadar jam'iyah. Ia mengajar kita bahwa menjadi ulama berarti berani mengambil risiko demi kemanusiaan, bahkan jika itu berarti harus berselisih dengan arus utama.

Almarhum keempatnya adalah sedikit saja dari contoh nyata tokoh nadliyin yang amat berlimpah dari periode ke periode, dengan keteladanan yang “syamil”, bahwa ulama adalah “penyambung wahyu” yang efektif. Mereka menjembatani yang sakral dengan yang profan, yang ideal dengan yang aktual. Mereka menunjukkan bahwa alim tidak berarti kaku, dan tegas tidak berarti kasar.

Kini, di tengah riuh rendah dinamika di Jalan Keramat, kerinduan itu muncul kembali. Kerinduan akan ulama yang tak hanya pandai mengutip kitab kuning, tapi juga pandai membaca kitab kehidupan masyarakatnya. Yang kehadirannya meredakan, bukan memanaskan.

Kepada mereka, panutan kita, yang sedang berdinamika lumayan ekstrim, mungkin perlu sesekali menepi. Membaca kembali lembar-lembar sejarah para pendahulu. Merenungkan kembali makna “penyambung wahyu”. Apakah wahyu yang disambungkan itu adalah ajaran tentang kekuasaan, atau ajaran tentang pengabdian? Tentang berebut pengaruh, atau berebut keberkahan?

Para kiai yang terhormat dan bersahaja di Jalan Keramat, --Maaf, barangkali perlu sejenak membaca kembali lembaran sejarah para pendahulu mereka. Di sana, mereka akan menemukan esensi sejati menjadi “pewaris nabi”: bukan dengan saling sikut demi posisi, tapi dengan meneladani keikhlasan dan keluasan pandangan. Tanpa itu, riwayat keteladanan ulama di NU akan terputus, menyisakan hanya gema kosong dari sebuah organisasi besar.

Kita hari ini darurat butuh kearifan Kiai Ilyas Ruhiyat dan Mbah Sahal, kita butuh ketegasan dan kelenturan Gus Dur dan Kiai Hasyim. Bukan untuk mengulang sejarah, tapi untuk belajar bahwa keulamaan sejati tak pernah lekang oleh hiruk-pikuk zaman.

Suluk keulamaan, apalagi yang ada di Pengurus Besar, semoga bisa tetap berdiri tegak, dan sesekali di pinggir, menepi dan mengingatkan kita pada yang hakiki. Sebab, pada akhirnya, yang tersisa bukanlah siapa yang menang dalam perebutan kursi dan posisi, tapi siapa yang warisannya terus mengalirkan ketenangan di hati umat. Itulah warisan wahyu yang sesungguhnya. Wallahu'alam bishawab.


*Nahdliyin Biasa.