NGANJUK, BANGSAONLINE.com - Tragis, demikian nasib yang dialami Ribut Mahendra (38 tahun) seorang guru honorer di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya, Ribut terpaksa melakukan kerja sampingan sebagai tukang pemecah batu.
Kondisi tersebut jauh dari hingar bingar peringatan Hari Guru Nasional yang diperingati setiap tanggal 25 November. Lantaran banyak guru yang masih berstatus miskin, banyak dari mereka yang menjalani pekerjaan sampingan yang kurang pantas dilakukan sebagai seorang pendidik.
Baca Juga: Awali Tahun Ajaran 2024/2025, SMPN 6 Nganjuk Gelar MPLS 2024
Namun, apa boleh dikata, karena terdorong keadaan akhirnya seberat apapun pekerjaan tambahan itu tetap dilakoni. Yang terbesit dibenak mereka hanya satu yaitu bagaimana bisa menghidupi keluarganya mulai dari mencukupi kebutuhan belanja istri termasuk bisa memberikan uang saku sekolah kepada anak – anaknya.
Kewajiban utama seperti itulah yang menurut Ribut Mahendra,-salah satu dari sekian ribu guru honorer di Kabupaten Nganjuk yang memiliki nasib sama,- mengganggap lebih penting daripada harus menjaga gengsi dan image tetapi harus mengorbankan hak hidup keluarga.
Ribut Mahendra adalah salah satu potret pejuang keluarga dan patut menjadi cermin kehidupan. Betapa tidak, selain memiliki tanggung jawab mulia untuk mencerdaskan dan mendidik anak bangsa, bapak dua anak ini harus rela bergelut dengan kerasnya batu sungai atau lazim disebut oleh masyarakat di tempat kelahiranya di Desa Salamrojo Kecamatan Berbek, Nganjuk sebagai pekerja pecah batu .
Baca Juga: Pj Bupati Sri Handoko Titip Masa Depan Anak Papua di Nganjuk
Profesi itu dilakoninya sudah berjalan hampir 10 tahun lebih. Sementara untuk tugasnya menjadi guru honorer dikatakan dia hanya terpaut dua tahun persisnya sudah 12 tahun menjadi guru honorer di SDN Salamrojo.
Dia menuturkan, nekat menjadi seorang pemecah batu karena honornya menjadi guru tidak tetap sangat kecil yaitu hanya menerima Rp 530 ribu per bulan. Dari nominal itu belum dipotong pajak penghasilan dari pemerintah sebesar 10%. Jadi setiap bulannya dia hanya menerima bersih sekitar Rp 477 ribu per bulan. Dengan fakta seperti itu akhirnya dia terdorong untuk mencari sumber penghasilan lain tentunya agar dapur tetap ngepul.
Ditanya wartawan besaran upah setiap harinya sebagai pemecah batu dia mengaku karena pekerjaan itu dilakukan lebih dari satu orang, maka hasilnya pun harus dibagi bersama sama.
Baca Juga: Plt. Bupati Nganjuk Pantau Pelaksanaan PTM SD dan SMP: Mereka Senang
Menurut dia, setiap satu rit batu koral dihargai Rp 600 ribu. Jadi setiap orangnya menerima uang borongan sekitar Rp 120 ribu . Itu biasanya dikerjakan memakan waktu selama dua hari bahkan bisa lebih.
“Kalau musim penghujan seperti ini maka akan sulit mencapai satu rit,’’ paparnya Rabu (25/11) saat ditemui di lokasi di mana dia bekerja bersama sejumlah wartawan.
Dengan himpitan ekonomi seperti yang dialaminya itu, dia berharap kepada pemerintahan Presiden Jokowi untuk bisa memperhatikan nasib para guru honorer di Kabupaten Nganjuk yang sampai saat ini nasibnya masih terkatung katung karena belum diangkat menjadi PNS. ‘’Kami atas nama kelompok guru tidak tetap berharap kepada presiden untuk sudinya memberikan harapan yang pasti akan nasib kami,’’ pintanya.
Baca Juga: Kenalkan Hukum ke Pelajar, Kejari Nganjuk Gelar Jaksa Masuk Sekolah
Sementara di tempat terpisah Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah raga Kabupaten Nganjuk, Dra.Widiasti, M.S.i menegaskan bahwa wacana tahun 2016 nantinya honor GTT –PTT akan naik menjadi Rp 1 juta per bulan.
“Kalau selama ini hanya Rp 530 ribu, maka pada tahun 2016 akan dinaikkan menjadi Rp 1 juta per bulan. Mudah-mudahan wacana ini akan segera terealisasi dan sebagai bentuk perhatian pemerintah daerah terkait persoalan kejahteraan guru honorer,’’ katanya. (dit/sta/rev)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News