JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengatakan, lembaganya masih terus menyelidiki kasus dugaan pemufakatan jahat dalam lobi perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia yang dilakukan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto. Dia mengatakan sedang memburu orang yang berpotensi sebagai tersangka setelah melakukan beberapa pemeriksaan terhadap saksi.
"Kalau proses hukum ada bukti tentu ada tersangkanya dong, tentu kita cari yang berpotensi menjadi tersangka siapa," kata Prasetyo, di Kompleks Istana Kepresidenan, Jumat (4/12) dilansir detikcom.
Baca Juga: Hadiri Raker dan RDP Bersama Komisi II DPR RI, Pj Wali Kota Batu: Jelang Pilkada Terpantau Kondusif
"Menangani perkara korupsi ini tak semudah membalikkan telapak tangan. Kami akan tangani secara obyektif," kata Prasetyo.
Prasetyo mengatakan, bukti berupa rekaman percakapan yang diserahkan oleh Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin secara substansi sudah sangat cukup untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka. Namun, kata dia, Kejaksaan masih harus mendalaminya lagi untuk menguatkan penetapan tersangka kepada pihak yang hingga kini masih dirahasiakannya itu.
"Jadi bukan ilegal. Saya melihat substansinya saja, dan itu diakui oleh yang melakukan rekaman itu. Kami akan kroscek dan verifikasi tim penyelidik sudah komunikasi dengan ahli dari ITB biar semua clear," katanya.
Baca Juga: Terima Baleg DPR RI untuk Prolegnas, Pj Gubernur Jatim Sampaikan Pelbagai Aspirasi
"Kebenaran harus kita ungkapkan, korupsi tak harus nunggu transaksi," imbuhnya.
Prasetyo mengatakan, rekaman percakapan yang durasinya 1 jam 27 menit itu bukanlah suatu laporan biasa. Apalagi, di dalamnya banyak pihak pemangku kepentingan di pemerintahan. Ditambah adanya unsur dugaan korupsi dengan dasar pemufakatan jahat dengan mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden.
"Penegakan hukum harus berdasarkan fakta dan bukti. Nanti kami lihat semua, ungkap kebenarannya," ujarnya.
Baca Juga: Gali Data Primer Keimigrasian Secara Faktual, Komisi XIII DPR RI Kunker Spesifik ke Jawa Timur
"Ada yang lebih penting dibanding masalah pencatutan nama (Presiden Joko Widodo), yaitu unsur korupsinya. Sekarang lagi kami pelajari," ujar Prasetyo.
Menurut Prasetyo, jika pemufakatan jahat itu terjadi, negara akan rugi besar. Apalagi Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sampai dilangkahi.
Delik pemufakatan jahat itu diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun1999 tentang Pemberantasan Korupsi. Berikut aturan itu beserta pasal lain yang relevan.
Baca Juga: Paparkan Program 100 Hari Kerja saat Raker, Nusron: 119 Juta Bidang Tanah Sudah Terdaftar
Pasal 15:
Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, sampai dengan Pasal 14.
Pasal 3:
Baca Juga: Komisi II DPR RI Dukung Program 100 Hari Kerja Menteri Nusron
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dia memastikan bahwa penetapan salah seorang pihak menjadi tersangka tidak harus menunggu proses sidang di Mahkamah Kehormatan Dewan selesai. Bahkan, kata dia, bisa jadi dalam pekan depan setelah semua saksi dan pihak terkait sudah dimintai keterangan, Kejaksaan akan mengumumkan tersangka.
Sementara Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Badrodin Haiti mengatakan sudah mendengarkan rekaman percakapan Ketua DPR Setya Novanto, Maroef Sjamsoedin, dan pengusaha Riza Chalid. Badrodin pun angkat suara perihal rekaman “Papa Minta Saham” tersebut.
Baca Juga: Koalisi CBD Kirim Hasil Analisis Ganja Medis ke DPR dan Presiden
“Kalau menang benar demikian, bisa dikatakan ada pemufakatan jahat,” ujar Badrodin di Markas Besar Kepolisian Indonesia, Jumat (4/12) dilansir merdeka.
Badordin menambahkan, bila memang pemufakatan jahat, kasus ini masuk ke dalam kategori pidana khusus. Dengan begitu, kata Badrodin, hal itu bukanlah ranah Polri. Namun ia mengatakan polisi siap membantu jika memang diminta. “Karena kalau itu masuk korupsi akan ditangani Kejaksaan Agung,” ucapnya.
Kapolri juga mengatakan pihaknya tidak bisa memanggil pengusaha M. Riza Chalid sehubungan mangkirnya dia pada sidang pencatutan nama Presiden Joko Widodo. Polisi pun tak bisa mengambil tindakan hukum sebab kasus dugaan pemufakatan jahat di Kejaksaan Agung masih dalam tahap penyelidikan.
Baca Juga: Pascakebakaran, Presdir PTFI Inspeksi Lokasi Common Gas Cleaning Plant di Smelter Gresik
“Kami tidak bisa (melakukan) apa-apa karena statusnya memang belum masuk penyidikan, kecuali jaksa sudah menetapkan Riza sebagai tersangka. Oleh sebab itu, pencekalan terhadap Riza pun sulit dilakukan,” ujar Badrodin.
Badrodin menyatakan siap membantu Kejaksaan Agung mengusut kasus yang dituduhkan kepada Ketua DPR Setya Novanto tersebut.
Badrodin menolak bila pihaknya disebut tidak berani dan tidak siap memanggil. Badrodin berdalih, pemanggilan paksa bisa dilakukan Polri bila memang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) meminta demikian kepada Polri.
Baca Juga: Tuntut Tenaga Kerja, Warga Mengare Komplek Gresik Demo Smelter PT Freeport Indonesia
“Perintah hukum bukan masalah siap atau tidak siap. Kami belum diminta melakukan pemanggilan. Dalam undang-undang, MKD memang memiliki otoritas untuk meminta bantuan Polri dalam pemanggilan paksa,” kata Badrodin.
MKD juga mengancam akan memanggil paksa pengusaha M. Riza Chalid. Langkah itu ditempuh jika undangan untuk menghadiri sidang kasus dugaan pencatutan nama Presiden Joko Widodo yang dilakukan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto kembali ia abaikan.
"Kami punya kewenangan untuk memanggil paksa," ujar Wakil Ketua MKD Junimart Girsang.
Jadwal sidang MKD atas kasus Setya Novanto pada Kamis lalu tak berjalan sesuai rencana. Undangan yang diserahkan MKD kepada Riza untuk memberikan kesaksian tak direspons sama sekali. Padahal keterangan Riza diperlukan untuk menguji laporan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said terkait dengan pencatutan nama Presiden Jokowi oleh Setya Novanto untuk meminta jatah saham PT Freeport.
Jika Riza kembali mengabaikan pemanggilan tersebut, MKD dapat meminta bantuan polisi untuk menyeret paksa Riza ke ruang sidang. "Itu diatur dalam tata acara persidangan MKD," katanya.(tic/mer/rev)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News