JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fahri Hamzah mengatakan bahwa pemerintah lah yang menginginkan adanya revisi dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Menurut dia, DPR hanya dalam posisi menunggu dan mengawasi pembahasan revisi UU tersebut.
"Kok DPR terus yang disalahin? Revisi UU KPK itu kami ini udah agak diem. Yang mengungkit kan pemerintah. Pemerintah yang pingin. Jangan lempar bola ke DPR," ujar Fahri di Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa, 2 Februari 2016.
Baca Juga: Cak Imin Akui Lily Wahid Tak Punya Rasa Takut, Tapi Dipecat dari DPR
Fahri mengatakan, apabila pemerintah memang ingin merevisi UU KPK, pemerintah harus mantap dengan keyakinannya bahwa revisi itu memang penting untuk dilakukan. "Jokowi dan kawan-kawan jangan seperti memegang bara panas. Karena korupsi masalah besar, begini caranya, kita rumuskan bersama-sama. Harus ada yang mimpin," ujarnya.
Fahri pun menyarankan agar pemerintah mengelaborasi keinginan seluruh stakeholder yang terkait dengan revisi UU KPK. Menurut dia, seluruh lembaga yang terkait dengan revisi UU tersebut harus sepakat terlebih dahulu. "Enggak bisa yang sepakat cuma satu atau dua lembaga. Seluruh lembaga harus sepakat. Kalau tidak ya omong kosong," tuturnya.
Pada 1 Februari 2016, Badan Legislasi mendengarkan pemaparan naskah revisi UU KPK oleh para pengusul yang diwakili oleh Risa Mariska dan Ichsan Soelistio dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Pekan lalu, rapat paripurna DPR telah menyetujui perubahan beleid ini masuk daftar Program Legislasi Nasional 2016.
Baca Juga: Parpol Dikelola Keluarga, Rakyat Melemah, Oligarki Menguat, Pemilu 2024 Hadapi Ancaman Serius
Dalam draf revisi, para pengusul menyodorkan pembentukan Dewan Pengawas untuk memonitor kinerja KPK. Dewan Pengawas tersebut berisi lima orang yang dipilih dan diangkat oleh Presiden untuk masa jabatan empat tahun dan dapat diperpanjang satu kali periode.
Dalam salah satu pasal, Dewan Pengawas memiliki kewenangan untuk memberikan izin perihal penyadapan KPK. Selain itu, Dewan Pengawas juga bertugas mengevaluasi pemimpin KPK sedikitnya setahun sekali. Struktur baru ini juga dapat menampung, menindaklanjuti, dan menyidangkan pengaduan dugaan pelanggaran kode etik pemimpin KPK.
Revisi Undang-Undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan segera dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Rencana ini kembali menuai pro kontra lantaran dinilai sebagai upaya pelemahan terhadap lembaga antirasuah. Pemerintah tidak mau disalahkan atas masuknya revisi UU KPK dalam prolegnas 2016.
Baca Juga: Usul Garuda Indonesia Dijual, Fahri Hamzah: Dulu Beli Garuda Sumbangan Rakyat Aceh
Sekretaris kabinet Pramono Anung menegaskan, revisi undang-undang KPK merupakan inisiatif DPR. "Yang jelas bahwa komitmen pemerintah untuk KPK tetap pada posisi yang kuat, itu sudah menjadi komitmen pemerintah," tegas Pramono di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa (2/2).
Sebelumnya, diberitakan bahwa Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang ngotot mau merevisi UU KPK. Karena itu Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat berencana mengundang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pekan ini untuk membahas revisi Undang-Undang KPK. Undangan ini dilayangkan karena pengusul revisi, fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, mengajukan draf baru yang belum diketahui KPK.
"Kami akan RDPU (rapat dengar pendapat umum) dengan pimpinan KPK sebagai lembaga yang undang-undangnya akan dilakukan revisi," kata Ketua Badan Legislasi Supratman Andi Agtas, Senin, 1 Februari 2016.
Baca Juga: Pemkot Kediri Ikuti Rapat Koordinasi Pemberantasan Korupsi Terintegrasi
Supratman mengatakan penundaan diputuskan setelah ada perdebatan antaranggota badan legislasi (Baleg). Draf revisi UU KPK per 1 Februari itu dipresentasikan di depan rapat Baleg oleh Risa Marisa dan Ichsan Soelistio dari Fraksi PDIP.
Dalam draf tersebut, ada empat poin utama yang diubah, yaitu terkait dengan penyadapan, yang diatur dalam Pasal 12A sampai dengan Pasal 12F; Dewan Pengawas, yang diatur dalam Pasal 37A sampai dengan 37F; penyelidik dan penyidik yang diatur dalam Pasal 43, Pasal 43A, Pasal 43B, Pasal 45, Pasal 45A, dan Pasal 45B; serta wewenang KPK untuk mengajukan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
Draf ini menimbulkan perdebatan antaranggota Baleg. "Makna mendesak di poin penyadapan harus jelas kondisi mendesaknya seperti apa karena antara waktu dengan izin ada celah. Apakah izin tak mengacaukan sistem penyadapan? Ini harus didalami kembali," kata Dossy Iskandar dari Fraksi Hanura.
Baca Juga: Fahri Hamzah Resmikan Gapura Makam Syekh Umar Sumbawa dan K.H. Hasbullah
Arsul Sani dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan mengatakan revisi ini bisa menjadi pisau bermata dua, bisa melemahkan sekaligus menguatkan KPK.
Karena itu, Supratman, yang juga menolak adanya revisi ini, mengatakan akan menunda pembahasan mengenai pembentukan panitia kerja (Panja), yang seharusnya dibahas Senin, 1 Februari 2016. Baleg akan mengundang KPK terlebih dulu. Ia menjamin masukan dari KPK akan dipertimbangkan oleh Baleg.
"Sepanjang itu menyangkut kewenangan yang seharusnya melekat di KPK, saya kira wajib Panja untuk mendengarkan itu," kata anggota Komisi III tersebut.
Baca Juga: Soal Bintang Jasa Fadli Zon-Fahri Hamzah, Mahfud MD: Di UU Ada Pintunya
Pemerintah hanya menunggu draf revisi UU KPK yang disiapkan DPR. Jika nanti revisi tersebut sudah rampung dan diserahkan secara kelembagaan, pemerintah akan melihat secara detail daftar isian yang terangkum dalam draf tersebut.
"Maka dengan demikian ya sekarang ini pemerintah menunggu secara formal, secara resmi bagaimana dan apa yang menjadi usulan dari teman-teman di DPR," ujarnya.
Walaupun sekarang indeks korupsi di Indonesia mengalami perbaikan, jelas Pramono, pemerintah melihat peran KPK masih sangat dibutuhkan. "Karena bagaimana pun yang namanya korupsi ini dengan lembaga penegak hukum yang ada ternyata juga masih ada," tutupnya.
Baca Juga: Dialog NU Belanda: Politik Balik Modal Dorong Pelumpuhan KPK, Polisi Mirip Dwi Fungsi TNI
Sebelumnya, Ketua DPR Ade Komaruddin mengatakan, ada empat poin yang masih menjadi pembahasan panjang di DPR terkait revisi UU KPK. Empat poin yang menjadi prioritas antara lain terkait Dewan Pengawas, pemberian kewenangan SP3, prosedur penyadapan, dan penyidik independen. Dia berdalih, revisi ini untuk menguatkan KPK, bukan sebaliknya.
"Pokoknya soal mekanismenya, soal SOP-nya. Cuma empat hal itu. Tujuan kita untuk menguatkan KPK," ujar Ade komaruddin di Kompleks Kepresidenan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News