
JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Pimpinan KPK tidak hadir rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk membahas revisi UU KPK dan hanya mengutus deputi. Ketidakhadiran itu sebagai bentuk dari penolakan revisi UU KPK.
"Memang tidak dihadiri pimpinan KPK dengan beberapa pertimbangan. Kami membawakan surat kepada pimpinan Baleg dan menyatakan menolak revisi UU KPK," kata Plh Kabiro Humas KPK, Yuyuk Andriati di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (4/2/2016).
Dalam surat itu, Ketua KPK Agus Raharjo menyatakan bahwa UU 30/2002 saat ini sudah mendukung operasional KPK sehingga tidak perlu diubah. KPK lebih mendorong DPR merevisi UU Tipikor, menyusun RUU Perampasan Aset, serta menyelesaikan revisi UU KUHP dan KUHAP.
Soal diskusi terkait penolakan tersebut, Yayuk mengatakan bahwa hal itu sudah masuk ke materi revisi. Menurutnya, penolakan revisi UU KPK sudah terjelaskan dalam surat.
"Kalau mengenai itu, kalau sudah menyangkut materi revisi. Sikap kami adalah menolak. Jadi pimpinan menyampaikan itu melalui surat," ujarnya.
Saat ditanya, Yuyuk menegaskan bahwa ketidakhadiran pimpinan ini adalah bentuk tegas penolakan. "Ketidakhadiran dan surat menyatakan penolakan," imbuhnya.
Agus Raharjo dan 4 pimpinan lainnya sebelumnya sudah mengatakan bahwa tidak akan hadir di rapat hari ini. Alasannya, ada agenda lain. "Memang sudah ada jadwal lain. Undangan ini bukan tidak penting tapi ada kegiatan yang tidak bisa ditunda," ucap Yayuk.
Akhirnya Baleg DPR membatalkan rapat ini karena pimpinan KPK tidak hadir. KPK hanya diwakili oleh Deputi Informasi dan Data Hary Budiarto, Kepala Biro Hukum Setiadi, tim biro hukum yaitu Nur Chusniah dan Anatomi, serta Plh Kabiro Humas Yuyuk Andriati.
Bagaimana respon Baleg DPR? Baleg DPR menyesalkan ketidakhadiran lima pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam rapat dengar pendapat membahas revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Wakil Ketua Baleg DPR Firman Soebagyo mengatakan hari ini pihaknya tidak mendapatkan penjelasan dari para pemimpin KPK mengenai revisi undang-undang tersebut.
Dia mengatakan, para pemimpin KPK seharusnya hadir dalam rapat tadi jika menganggap ada yang penting dibahas mengenai revisi UU KPK itu.
"Yang kita undang ini komisionernya, DPR ini lembaga negara lho, jangan disepelekan. Kalau memang mereka merasa punya kepentingan, hadir. Dibuka di mana pelemahannya, di mana kekurangannya, ini ada pertanyaan dari masyarakat yang harus kita jawab," ungkap Firman di ruang Baleg, Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (4/2/2016).
Menurut dia, hak KPK untuk menolak revisi UU tersebut. Namun, kata dia, perlu diketahui DPR dan pemerintah memiliki wewenang dalam membuat UU.
"Kami-kami juga punya urusan yang lebih penting, tapi karena ini kami anggap penting yang namanya terkait masalah pemberantasan korupsi, dan kemudian masyarakat juga sudah merespons bahwa harus ada keterbukaan, sudah kita lakukan, tapi enggak datang," tuturnya.
Sebelumnya diberitakan bahwa Ketua KPK Agus Rahardjo keberatan dengan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Apalagi, setelah mengetahui isi draf yang dinilainya melemahkan fungsi lembaga tersebut.
"Kalau drafnya seperti yang beredar sekarang ini, KPK usul lebih baik dibatalkan," kata Agus melalui pesan singkat, Rabu (3/2).
Sebelumnya, terdapat empat poin perubahan draf revisi UU KPK yang digulirkan DPR. Usulan tersebut, di antaranya, pertama, pembentukan dewan pengawas untuk mengawasi kinerja KPK. Kedua, penyadapan yang dilakukan KPK harus seizin dewan pengawas.
Ketiga, KPK tak diperbolehkan mengangkat penyidik dan penyelidik sendiri. Terakhir, KPK diberi wewenang untuk menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
Hal senada juga diungkapkan oleh Koordinator Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Hendri. ICW, kata Febri, menolak revisi UU KPK. Menurut dia, revisi UU KPK dinilai belum mendesak dan tidak relevan dengan kebutuhan KPK saat ini.
"Kami menolak revisi UU KPK karena belum mendesak dan tidak relevan dengan kebutuhan KPK saat ini," kata Febri saat dihubungi secara terpisah.
ICW pun mempertanyakan maksud dibentuknya Dewan Pengawas KPK. Menurut Febri, KPK cukup diawasi oleh Komisi III DPR. Terkait SP3, kata dia, hal tersebut tidak dibutuhkan. Pasalnya, ketika KPK sudah menetapkan status kasus masuk tahap penyidikan, berarti kasus tersebut telah memiliki minimal dua alat bukti. "Jadi, standarnya sudah tinggi," ujar Febri.
ICW pun mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan pemerintah menarik diri dari pembahasan revisi UU KPK.