YOGYAKARTA, BANGSAONLINE.com - Semakin lama, kelakukan kaum LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) semakin aneh. Shinta Ratri, Ketua Pondok Pesantren (Ponpes) Waria al-Fatah yang terletak di Notoyudan, Pringgokusuman, Gedongtengen, Yogyakarta, mengaku akan menyusun kitab fiqih khusus waria.
Padahal, sebagaiman diketahui, syariat Islam sangat mengecam perilaku waria, karena jelas menyimpang.
Baca Juga: Keterlaluan! Dua Pria Gay Berbuat Mesum dalam Masjid, Ditangkap Massa
Mereka sendiri sebenarnya menyadari, bahwa kitab-kitab fiqih yang dipelajari di pesantren tidak akomodatif terhadap keberadaan mereka.
Shinta kemudian menyebut kitab Al-Hikam yang dirasa tidak membedakan gender. “Jadi kami mengkaji kitab Fikih yang tidak membedakan gender, misalnya kitab al-Hikam,” kata Shinta, Selasa (2/2/2016).
Padahal, kitab Al-Hikam bukanlah kitab fiqih, melainkan kitab tasawuf yang ditulis oleh Syaikh Ibnu Athailah As Sakandari.
Baca Juga: Incar Pria Berotot dan Berkumis di Medsos, Gay Agresif dan Memaksa
Sebagai satu-satunya pesantren waria, pesantren al-Fatah saat ini sedang mengumpulkan bahan untuk menyusun kitab Fikih yang nantinya bakal mereka namai kitab fiqih waria. “Semoga kitab fiqh waria itu bisa dipakai oleh waria muslim di seluruh dunia,” jelas Shinta.
Saat menyusun kitab Fikih waria, pihak pesantren mengaku akan meminta pertimbangan dari sejumlah ulama sepuh di Jawa. “Nanti ada sepuluh ulama yang akan kami mintai pendapat,” terangnya
Ditanya tentang pernikahan sesama laki-laki yang kini mulai banyak dilakukan oleh kaum homo Shinta menilai hanyalah mengundang sensasi masyarakat saja.
Baca Juga: Geger Video Gay, Direkam di Sawah, Pemainnya Siswa SMA, Dijual Rp 150 Ribu
"Diam-diam dinikmati hubungan itu, tak perlu heboh-heboh semua orang harus tahu. Kami sendiri tidak antusias untuk menikah, tidak getol untuk pelegalan bentuk pernikahan, sudah cukup menjalin hubungan rumah tangga dengan komitmen dengan disaksikan keluarga, suadara, dan penduduk sekitar, bukan dengan pelegalan yang membuat heboh," tutur Shinta.
Shinta mengatakan, stigma negatif masyarakat terhadap keberadaan kaum waria memang masih ada. Menurutnya, masyarakat Indonesia saat ini masih tak bisa menganggap waria sebagai suatu jenis gender.
Akibatnya, kaum waria merasa kesusahan dalam hidupnya. Baik dalam hal pekerjaan, beribadah maupun dalam hal hubungan.
Baca Juga: Jutawan Gay Rebut Pacar Putrinya, untuk Dikawin
"Saya memang sengaja tanya kepada teman-teman waria, hasilnya seperti itu, kami tidak butuh pelegalan secara hukum, sudah cukup bermain aman, dengan menjalin hubungan rumah tangga dengan diketahui tetangga, pemerintah desa setempat," tutur Shinta.
Saat ini terdapat kurang lebih 223 waria yang ada di DIY di bawah lembaga advokasi waria Ikatan Waria Yogya (Iwayo).
Upaya-upaya pun terus dilakukan oleh kaum waria untuk mengadvokasi keberadaan gender ini dengan kegiatan-kegiatan sosial yang bermanfaat bagi masyarakat melalui kelembagaan.
Baca Juga: Tanya-Jawab Islam: Saya Gay, Ingin Sembuh, Ingin Nikah, Gimana Caranya?
Ia mengatakan, pernikahan semacam itu mengandung banyak risiko, dengan banyaknya masyarakat yang akan menolak hubungan sama jenis tersebut.
Ia mengatakan, harusnya pasangan sesama jenis itu dapat berfikir lebih jauh, dampak yang terjadi usai pernikahan.
"Entah tujuannya untuk apa saya engga ngerti. Harusnya dia berfikir lebih jauh, bahwasanya Indonesia belum bisa menerima hal-hal seperti itu. Hal itu hanya akan mengundang sensasi dan menimbulkan protes di kalangan masyarakat saja," tutur Shinta, Senin (12/10/2015).
Baca Juga: Istri Cantik Dicekik, Berpindah Cinta ke Pasangan Gay
Mantan Ketua Ikatan Waria Yogyakarta (Iwayo) ini mengatakan, ia dan rekan-rekan sesama waria tidak merasa antusias untuk menikah atau melegalkan hubungan keduanya.
"Kami harap stigma negatif itu bisa hilang, sehingga kami bisa hidup layaknya manusia sebagai mana mestinya. Kami bisa bekerja, kami bisa beribadah dengan tenang," katanya.
Pesantren waria di Yogyakarta semula didirikan Maryani. Pesantren ini sempat mandeg ketika Maryani meninggal. Shinta kemudian berinisiatif mengaktifkan kembali pesantren berkat dukungan waria asuhannya.
Baca Juga: Kapolres Probolinggo Akui Oknum Polisi LGBT Viral di Medsos itu Anggotanya
"Saat itu kami mulai kembali ingin lanjutkan pesantren, karena itu setelah bu Maryani meninggal kita sempat vakum," kata Shinta saat ditemui di Celenan, Kotagede Yogyakarta, Sabtu (26/04).
Shinta mengatakan dirinya memindahkan pesantren yang semula di Notoyudan, Ngampilan menjadi di Celenan berdasarkan kesepakatan bersama. Rumah dengan model rumah tradisional Jawa itu adalah rumah Shinta, sekilas tidak terlihat seperti pesantren. Meski lokasinya cukup sulit ditemukan karena harus menyusuri gang-gang sempit, namun tidak membuat anggota pesantren patah semangat untuk datang setiap pekan ke sana.
"Teman-teman rumahnya menyebar, tidak di sini, tapi kita fokuskan kegiatan di sini. Sebelumnya di sini juga sanggar seni waria, jadi sudah banyak juga yang tahu," urai Shinta.
Baca Juga: Kasus Oknum Polres Probolinggo Penyuka Sesama Jenis Ditangani Polda Jatim
Di lokasi baru ini, pada 18 April lalu, Shinta dan teman-temannya meresmikan kembali pesantren waria. Sebagai langkah awal, Shinta merekrut 20 anggota baru pesantren waria.
"Kita mengawali ini dengan merekrut anggota baru. Ada 20 waria yang mau bergabung, kalau anggota sebelumnya ada 22 waria," jelas Shinta yang sehari-hari berprofesi sebagai pengrajin.
Dia berharap pembukaan kembali pesantren waria ini bisa menjadi wadah bagi waria untuk mendekatkan diri dengan Tuhan lewat kegiatan keagamaan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News