Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .
BANGSAONLINE.com - "Waallaahu fadhdhala ba’dhakum ‘alaa ba’dhin fii alrrizqi famaa alladziina fudhdhiluu biraaddii rizqihim ‘alaa maa malakat aymaanuhum fahum fiihi sawaaun afabini’mati allaahi yajhaduuna".
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Pada ayat studi ini menegaskan, bahwa ada manusia yang diberi kelebihan rejeki dan ada yang tidak. Ada yang kaya dan ada yang miskin, ada yang dapuk menjadi majikan dan ada yang menjadi budak. Dengan kelebihan yang dimiliki tersebut, maka status mereka tidak sama. Tesis ini perlu dikunci dulu agar tidak nggelambyar, bahwa yang dimaksud ketidaksamaan derajat tersebut hanyalah menurut pandangan duniawi atau status sosial, bukan pandangan agama atau kehidupan akhirat. Sebab di sana ada skoring tersendiri, yakni ketaqwaan. Siapapun dia, yang dinilai Tuhan adalah prestasi taqwanya.
Persoalannya kini mengapa Tuhan menggunakan perspektif sosial dalam mengukur derajat manusia?
Hal itu karena nyata ada dan berlaku pada kehidupan nyata. Tuhan tidak menutup mata terhadap apa yang telah diciptakan-Nya sendiri. Sesungguhnya banyak sisi bisa disorot terkait soal ini, tapi yang utama adalah, - selanjutnya - ayat ini untuk tamsilan teologis. Ikutilah alur pemikiran Tuhan berikut ini.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Ada dua pilahan pembahasan pada ayat studi ini. Pertama, terkait keimanan dan kedua terkait etika.
Terkait keimanan, Abdullah ibn Abbas mendudukkan ayat ini sebagai jawaban atas persepsi teologis yang dilontarkan kawanan pendeta nasrani dari daerah Najran yang dengan bangganya menganggap Yesus adalah anak Tuhan. Kemudian Allah SWT tersinggung dan menjawab dengan tamsilan deferensiatif seperti pada ayat studi ini. Bahwa tidaklah sama antara majikan (al-ladzin fuddilu birizqihim) dan budak (ma malakat aimanuhum). Majikan punya kekayaan berlimpah dan budak justru defisit. Penyamaan baru benar jika antar sesama majikan (fahum fih sawa').
Maka tidak masuk akal Yesus yang manusia menjadi Tuhan. Atau, si majikan mau memerdekaan budaknya, lalu memberikan kekayaan yang dimiliki kepada si mantan budak tersebut. Nah, bila seperti itu, barulah bisa disebut sama. (fahum fih sawa'). Tamsilan ini sangat fantastis dan tidak terjadi di kalangan majikan zaman perbudakan dulu. Jadinya, ya tidak terjadi si Yesus menjadi Tuhan.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Andai dipaksakan itu terjadi, tetap saja tidak sama derajatnya. Meski sama-sama merdeka, tapi si Majikan yang telah berbuat baik tersebut tetap lebih mulia - dalam pandangan siapapun - dibanding mantan budaknya. Si mantan budak pasti merunduk dan berterima kasih atas kebaikan mantan majikannya, tidak sebaliknya. Walhasil, keyakinan pendeta Nasrani itu salah besar, titik. Kira-kira begitu arah ayat studi ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News