Gerakan Khilafah HTI Makar dan Fiktif

Gerakan Khilafah HTI Makar dan Fiktif

Oleh: Prof. Dr. Nadirsyah Hosen

PENGANTAR REDAKSI

Baca Juga: Salam Lintas Agama Dihukumi Haram Tak Terkait Intoleran

Redaksi bangsaonline.com dan HARIAN BANGSA mendapat kiriman pidato pendukung  Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ia menghukumi nenek moyang kita, mbah kita, orang tua kita, saudara kita, guru-guru kita, bahkan para kiai dan pahlawan kita yang telah berjuang memerdekaan Republik Indonesia adalah musyrik dan kafir karena masih mengakui sistem thoghut (demokrasi, Pancasila dan NKRI).

"Walaupun mereka salat, walaupun mereka puasa, walaupun mereka sedekah, walau pun mereka baca al-Quran siang malam," katanya.

Sejak 1945, kata dia, sudah puluhan juta rakyat Indonesia musyrik dan kafir. Bagi dia hanya sistem khilafah yang Islami. Ia juga tak lupa menyindir kiai dan santri di pesantren yang menurut dia, ngaji mereka berkutat pada bab thaharah (bersuci), belum sampai bab khilafah.

Baca Juga: Pengkhianat, Waktumu Sudah Habis

Prof Dr Nardirsyah Hosen, Rais Syuriah PCNU Australia dan New Zaeland yang kini dosen di Fakultas Hukum, Universitas Wollongong (NSW, Australia) langsung menghukumi HTI makar karena ingin mengganti Pancasila dengan khilafah. Gus Nadir - panggilan akrabnya - bahkan mengungkap bahwa hadits yang dijadikan hujjah HTI lemah. Berikut ini redaksi bangsaonline.com menurunkan tulisan Gus Nadir atas seizin beliau. Selamat mengikuti: 

Ternyata banyak kalangan yang belum "peduli" terhadap kemakaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). HTI itu cabang atau bagian dari HT, kelompok politik yang didirikan di Al-Quds, waktu itu bagian dari Yordania, pada tahun 1953, bertujuan untuk mendirikan Khilafah Islamiyah. Khilafah yang dimaksud adalah kepemimpinan umat dalam suatu Daulah Islam yang universal di muka bumi ini, dengan dipimpin seorang pemimpin tunggal (khalifah) yang dibaiā€™at oleh umat.

Jadi, gerakan politik HTI itu gerakan makar: akan mengubah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila menjadi "negara" bagian dari kekhalifahan dunia yang dipimpin oleh seorang raja (khalifah).

Baca Juga: Hanan Attaki Ceramah pada Kajian Jumat, Mahathir Beberkan Alasan Penolakannya Dahulu

Khilafah Islamiyah itu bagian dari ajaran Islam? Meskipun menggunakan nama Islam, kepemimpinan tunggal ini bukan bagian dari ajaran Islam. Silakan simak tulisan berbentuk tanya-jawab berikut ini :

KHILAFAH ISLAM, FIKTIF! 

1. Wajibkah mendirikan khilafah? 

Baca Juga: Kejam dan Rakus, Pengusaha Sarang Burung Walet Rampok Rumah Pasangan Mau Kawin

Tidak wajib! Yang wajib itu adalah memiliki pemimpin, yang dahulu disebut khalifah, kini bebas saja mau disebut ketua RT, kepala suku, presiden, perdana menteri, etc. Ada pemelintiran seakan-akan para ulama mewajibkan mendirikan khilafah, padahal arti kata "khilafah" dalam teks klasik tidak otomatis bermakna sistem pemerintahan Islam (SPI) yang dipercayai oleh para pejuang pro-khilafah. 

Masalah kepemimpinan ini simple saja: "Nabi mengatakan kalau kita pergi bertiga, maka salah satunya harus ditunjuk jadi pemimpin". Tidak ada nash yang qat'i di al-Qur'an dan Hadis yang mewajibkan mendirikan SPI (baca: khilafah ataupun negara Islam). Yang disebut "khilafah" sebagai SPI itu sebenarnya hanyalah kepemimpinan yang penuh dengan keragaman dinamika dan format. Tidak ada format kepemimpinan yang baku. 

2. Bukankah ada Hadis yang mengatakan khilafah itu akan berdiri lagi di akhir zaman? 

Baca Juga: Angka Vaksinasi: Jakarta 120 Persen, Surabaya 89,24 Persen, Jatim Kalahkan Jateng dan Jabar

Para pejuang berdirinya khilafah percaya bahwa Nabi telah menjanjikan akan datangnya kembali khilafah di akhir jaman nanti. Mereka menyebutnya dengan khilafah 'ala minhajin nubuwwah. Ini dalil pegangan mereka: 

"Adalah masa Kenabian itu ada di tengah-tengah kamu sekalian, adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Khilafah yang menempuh jejak kenabian (Khilafah 'ala minhajin nubuwwah), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya (menghentikannya) apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Kerajaan yang menggigit (Mulkan 'Adldlon), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Kerajaan yang menyombong (Mulkan Jabariyah), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya, apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Khilafah yang menempuh jejak Kenabian (Khilafah 'ala minhajin nubuwwah). Kemudian beliau (Nabi) diam." (Musnad Ahmad: IV/273). 

Cukup dengan berpegang pada dalil di atas, para pejuang khilafah menolak semua argumentasi rasional mengenai absurd-nya sistem khilafah. Mereka menganggap kedatangan kembali sistem khilafah adalah sebuah keniscayaan. Ada baiknya kita bahas saja dalil di atas. Salah satu rawi Hadis di atas bernama Habib bin Salim. Menurut Imam Bukhari, "fihi nazhar". 

Baca Juga: Tiga Tipe Ulama Era Jokowi: Oposan, Pragmatis, dan Idealis

Inilah sebabnya imam Bukhari tidak pernah menerima hadis yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim tersebut. Di samping itu, dari 9 kitab utama (kutubut tis'ah) hanya Musnad Ahmad yang meriwayatkan hadis tersebut. Sehingga "kelemahan" sanad hadis tersebut tidak bisa ditolong.

Rupanya Habib bin salim itu memang cukup "bermasalah." Dia membaca hadis tersebut di depan khalifah 'Umar bin Abdul Aziz untuk menjustifikasi bahwa kekhilafahan 'Umar bin Abdul Aziz merupakan khilafah 'ala minhajin nubuwwah. Saya menduga kuat bahwa Habib mencari muka di depan khalifah karena sebelumnya ada sejumlah hadis yang mengatakan: "Setelah kenabian akan ada khilafah 'ala minhajin nubuwwah, lalu akan muncul para raja." 

Hadis ini misalnya diriwayatkan oleh Thabrani (dan dari penelaahan saya ternyata sanadnya majhul). Saya duga hadis Thabrani ini muncul pada masa Mu'awiyah atau Yazid sebagai akibat pertentangan politik saat itu.

Baca Juga: Buzzer, Radikalis Kristen vs Radikalis Islam

"Khilafah 'ala minhajin nubuwwah" di teks Thabrani ini mengacu kepada khulafa al-rasyidin, lalu "raja" mengacu kepada Mu'awiyah dan kawan-kawan. Tapi tiba-tiba muncul Umar bin Abdul Azis -dari dinasti Umayyah - yang baik dan adil. Apakah beliau termasuk "raja" yang ngawur dalam hadis tersebut? 

Maka muncullah Habib bin Salim yang bicara di depan khalifah Umar bin Abdul Azis bahwa hadis yang beredar selama ini tidak lengkap. Menurut versi Habib, setelah periode para raja, akan muncul lagi khilafah 'ala minhajin nubuwwah-dan ini mengacu kepada Umar bin Abdul Azis. Jadi nuansa politik hadis ini sangat kuat. 

Repotnya, istilah khilafah 'ala minhajin nubuwwah yang dimaksud oleh Habib (yaitu Umar bin Abdul Azis) sekarang dipahami oleh Hizbut Tahrir (dan kelompok sejenis) sebagai jaminan akan datangnya khilafah lagi di kemudian hari. Mereka pasti repot menempatkan 'Umar bin Abdul Aziz dalam urutan di atas tadi: kenabian, khilafah 'ala mihajin nubuwwah periode pertama (yaitu khulafa al-rasyidin), lalu para raja, dan khilafah 'ala minhajin nubuwwah lagi. Kalau khilafah 'ala minhajin nubuwwah periode yang kedua baru muncul di akhir jaman maka Umar bin Abdul Azis termasuk golongan para raja yang ngawur. 

Baca Juga: Pemerintah Bernyali Besar, Syukur Tak Hanya Berani melawan HTI-FPI, Revolusi Energi (2)

Saya kira kita memang harus bersikap kritis terhadap hadis-hadis berbau politik. Sayangnya sikap kritis ini yang sukar ditumbuhkan di kalangan para pejuang khilafah. 

3. Bukankah khilafah adalah solusi dari masalah ummat? Selama ummat Islam mengadopsi sistem kafir (demokrasi) maka ummat Islam tidak akan pernah jaya?

Di sinilah letak perbedaannya: sistem khilafah itu dianggap sempurna, sedangkan sistem lainnya (demokrasi, kapitalis, sosialis, dan lain-lain) adalah buatan manusia. Kalau kita menemukan contoh "jelek" dalam sejarah Islam, maka kita buru-buru bilang, "yang salah itu manusianya, bukan sistem Islamnya!". Tapi kalau kita melihat contoh "jelek" dalam sistem lain, kita cenderung untuk bilang, "demokrasi hanya menghasilkan kekacauan!" Jadi, yang disalahkan adalah demokrasinya. Ini namanya kita sudah menerapkan standard ganda. 

Biar adil, marilah kita melihat bahwa yang disebut sistem khilafah itu sebenarnya merupakan sistem yang juga tidak sempurna, karena ia merupakan produk sejarah, dimana beraneka ragam pemikiran dan praktek telah berlangsung. Sayangnya, karena dianggap sudah "sempurna" maka sistem khilafah itu seolah-olah tidak bisa direformasi. Padahal banyak sekali yang harus direformasi. 

Contoh: dalam sistem khilafah pemimpin itu tidak dibatasi periode jabatannya (tenure). Asalkan dia tidak melanggar syariah, dia bisa berkuasa seumur hidup. Dalam sistem demokrasi, hal ini tidak bisa diterima. Meskipun seorang pemimpin tidak punya cacat moral, tapi kekuasaannya dibatasi sampai periode tertentu. 

Saya maklum kenapa sistem khilafah tidak membatasi jabatan khalifah. Soalnya pada tahun 1924 khilafah sudah bubar, padahal pada tahun 1933 (the 22nd Amendment) Amerika baru mulai membatasi jabatan presiden selama dua periode saja. Sayangnya, buku tentang khilafah yang ditulis setelah tahun 1933 masih saja tidak membatasi periode jabatan khalifah. Itulah sebabnya kita menyaksikan bahwa dalam sepanjang sejarah Islam, khalifah itu naik-turun karena wafat, dibunuh, atau dikudeta. Tidak ada khalifah yang turun karena masa jabatannya sudah habis. 

Contoh lainnya, sistem khilafah selalu mengulang-ulang mengenai konsep baiat (al-bay`ah) dan syura. Tapi sayang berhenti saja sampai di situ [soalnya sudah dianggap sempurna]. Dalam tradisi Barat, electoral systems itu diperdebatkan dan terus "disempurnakan" dalam berbagai bentuknya. Dari mulai sistem proporsional, distrik sampai gabungan keduanya. 

Begitu juga dengan sistem parlemen. Dari mulai unicameral sampai bicameral system dibahas habis-habisan, dan perdebatan terus berlangsung untuk menentukan sistem mana yang lebih bisa merepresentasikan suara rakyat dan lebih bisa menjamin tegaknya mekanisme check and balance. 

Tapi kalau kita mau "melihat" ke teori Barat, nanti kita dituduh terpengaruh orientalis atau terjebak pada sistem kafir. Akhirnya kita terus menerus memelihara teori yang sudah ketinggalan kereta. 

4. Kalau khilafah berdiri, maka ummat Islam akan bersatu. Lantas kenapa harus ditolak? Bukankah kita menginginkan persatuan ummat? 

Sejumlah dalil mengenai persatuan ummat Islam dan kaitannya dengan khilafah banyak dikutip oleh "pejuang khilafah" belakangan ini: Rasulullah SAW bersabda: "Jika dibai'at dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya." (HR. Muslim) 

Bagaimana "rekaman" sejarah soal ini? Ini daftar tahun berkuasanya khilafah yang sempat saya catat: 

Ummayyah (661-750) 

Abbasiyah (750-1258) 

Umayyah II (780-1031) 

Buyids (945-1055) 

Fatimiyah (909-1171) 

Saljuk (1055-1194) 

Ayyubid (1169-1260) 

Mamluks (1250-1517) 

Ottoman (1280-1922) 

Safavid (1501-1722) 

Mughal (1526-1857) 

Dari daftar di atas kita ketahui bahwa selepas masa Khulafa al-Rasyidin, ternyata hanya pada masa Umayyah dan awal masa Abbasiyah saja terdapat satu khalifah untuk semua ummat Islam. Sejak tahun 909 (dimana Abbasiyah masih berkuasa) telah berdiri juga kepemimpinan ummat di Egypt oleh Fatimiyyah (bahkan pada periode Fatimiyah inilah Universitas al-Azhar Cairo dibangun). 

Di masa Abbasiyah, Cordova (Andalusia) juga memisahkan diri dan punya kekhalifahan sendiri (Umayyah II). Di Andalusia inilah sejarah Islam dicatat dengan tinta emas, namun pada saat yang sama terjadi kepemimpinan ganda di tubuh ummat, toh tetap dianggap sukses juga.

Pada masa Fatimiyyah di Mesir (909-1171), juga berdiri kekuasaan lainnya: Buyids di Iran-Iraq (945-1055). Buyids hilang, lalu muncul Saljuk (1055-1194), sementara Fatimiyah masih berkuasa di Mesir sampai 1171. Ayubid meneruskan Fatimiyyah dengan kekuasaan meliputi Mesir dan Syria (1169-1260). Dan seterusnya, ... silahkan diteruskan sendiri.

Jadi, sejarah menunjukkan bahwa khilafah itu tidak satu; ternyata bisa ada dua atau tiga khalifah pada saat yang bersamaan. Siapa yang dipenggal lehernya dan siapa yang memenggal? Mana yang sah dan mana yang harus dibunuh?

Kita harus kritis membaca Hadis-Hadis "politik" di atas. Saya menduga kuat Hadis semacam itu baru dimunculkan ketika terjadi pertentangan di kalangan ummat Islam sepeninggal rasul. Alih-alih bermusyawarah, seperti yang diperintahkan Qur'an, para elit Islam tempo doeloe malah melegitimasi pertempuran berdarah dengan Hadis-Hadis semacam itu.

Sejumlah Ulama yang datang belakangan kemudian berusaha "mentakwil" makna Hadis di atas. Mereka menyadari bahwa situasi sudah berubah, dan Islam sudah meluas sampai ke pelosok kampung. Pernyataan Nabi di atas tidak bisa dilepaskan dari konteks traditional-state di Madinah, dimana resources, jumlah penduduk, dan luas wilayah masih sangat terbatas. Cocok-kah Hadis itu diterapkan pada saat ini?

Berpegang teguh pada makna lahiriah Hadis di atas akan membuat darah tumpah di mana-mana. Contoh saja, karena tidak ada aturan yang jelas, maka para ulama berdebat, seperti direkam dengan baik oleh al-Mawardi, M. Abu faris dan Wahbah al-Zuhayli: berapa orang yang dibutuhkan untuk membai'at seorang khalifah? Ada yang bilang lima [karena Abu Bakr dipilih oleh 5 orang], tiga [dianalogikan dengan aqad nikah dimana ada 1 wali dan 2 saksi], bahkan satu saja cukup [Ali diba'iat oleh Abbas saja]. Jadi, cukup 5 orang saja untuk membai'at khalifah. Aturan itu cocok untuk kondisi Madinah jaman dulu, namun terhitung "menggelikan" untuk jaman sekarang.

Di samping itu, urusan "memenggal kepala" itu tidak lagi cocok dengan situasi sekarang. Contoh: ribut-ribut jumlah suara antara Al Gore dengan Bush 4 tahun lalu diselesaikan bukan dengan putusnya leher salah satu di antara mereka.

Begitu juga Gus Dur tidak bisa meminta kepala Mega dipenggal ketika Mega "merebut" kekuasaannya tempo hari. Mekanisme konstitusi yang menyelesaikan semua itu. Nah, mekanisme itu yang di jaman dulu kagak ada. Apa kita mau balik ke jaman itu lagi?

Akhirnya, dengan adanya catatan sejarah yang menunjukkan bahwa terdapat beberapa khalifah dalam masa yang sama, di wilayah yang berbeda. Hadis politik di atas sudah tidak cocok lagi diterapkan.

5. Jawaban anda sebelumnya seolah-olah hendak mengatakan bahwa berdirinya khilafah justru akan menimbulkan pertumpahan darah sesama ummat islam, bukan menghadirkan persatuan seperti yang didengungkan para pejuang khilafah saat ini. Betulkah demikian? Benarkah sejarah khilafah menunjukkan pertumpahan darah tersebut?

Ketika Bani Abbasiyah merebut khilafah, darah tertumpah di mana-mana.

Pasukan tentara Bani Abbas menaklukkan kota Damsyik, ibukota Bani Umayyah, dan mereka "memainkan" pedangnya di kalangan penduduk, sehingga membunuh kurang lebih lima puluh ribu orang. Masjid Jami' milik Bani Umayyah, mereka jadikan kandang kuda-kuda mereka selama tujuh puluh hari, dan mereka menggali kembali kuburan Mu'awiyah serta Bani Umayyah lainnya. Dan ketika mendapati jasad Hisyam bin Abdul Malik masih utuh, mereka lalu menderanya dengan cambuk-cambuk dan menggantungkannya di hadapan pandangan orang banyak selama beberapa hari, kemudian membakarnya dan menaburkan abunya.

Demikian pula yang mereka lakukan terhadap Bani Umayyah di Makkah dan Madinah.

Kemudian timbul pemberontakan di kota Musil melawan as-Saffah yang segera mengutus saudaranya, Yahya, untuk menumpas dan memadamkannya. Yahya mengumumkan di kalangan rakyat: "Barangsiapa memasuki masjid Jami', maka ia dijamin keamanannya." Beribu-ribu orang secara berduyun-duyun memasuki masjid, kemudian Yahya menugaskan pengawal-pengawalnya menutup pintu-pintu Masjid dan menghabisi nyawa orang-orang yang berlindung mencari keselamatan itu. Sebanyak sebelas ribu orang meninggal pada peristiwa itu.

Pada malam harinya, Yahya mendengar tangis dan ratapan kaum wanita yang suami-suaminya terbunuh di hari itu, lalu ia pun memerintahkan pembunuhan atas kaum wanita dan anak-anak, sehingga selama tiga hari di kota Musil digenangi oleh darah-darah penduduknya dan berlangsunglah selama itu penangkapan dan penyembelihan yang tidak sedikit pun memiliki belas kasihan terhadap anak kecil, orang tua atau membiarkan seorang laki-laki atau melalaikan seorang wanita.

Seorang ahli fiqh terkenal di Khurasn bernama Ibrahim bin Maimum percaya kepada kaum Abbasiyin yang telah berjanji "akan menegakkan hukum-hukum Allah sesuai dengan al-Qur'an dan Sunnah". Atas dasar itu ia menunjukkan semangat yang berkobar-kobar dalam mendukung mereka, dan selama pemberontakan itu berlangsung, ia adalah tangan kanan Abu Muslim al-Khurasani. Namun setelah gerakan kaum Abbasiyin itu berhasil ia menuntut kepada Abu Muslim agar menegakkan hukum-hukum Allah dan melarang tindakan-tindakan yang melanggar kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, segera ia dihukum mati oleh Abu Muslim.

Cerita di atas bukan karangan orientalis tapi bisa dibaca di Ibn Atsir, jilid 4, h. 333-340, al-Bidayah, jilid 10, h. 345; Ibn Khaldun, jilid 3, h. 132-133; al-Bidayah, jilid 10, h. 68; al-Thabari, jilid 6, h. 107-109. Buku-buku ini yang menjadi rujukan Abul A'la al-Maududi ketika menceritakan ulang kisah di atas dalam al-Khilafah wa al-Mulk.

Note:

Yang jelas sejarah "buruk" kekhilafahan bukan hanya milik khalifah Abbasiyah, tapi juga terjadi di masa Umayyah (sebelum Abbasiyah) dan sesudah Abbasiyah. Misalnya, menurut al-Maududi, dalam periode khilafah pasca khulafatur rasyidin telah terjadi: perubahan aturan pengangkatan khalifah seperti yang dipraktikkan sebelumnya, perubahan cara hidup para khalifah, perubahan kondisi baitul mal, hilangnya kemerdekaan mengeluarkan pendapat, hilangnya kebebasan peradilan, berakhirnya pemerintah berdasarkan syura, munculnya kefanatikan kesukuan, dan hilangnya kekuasaan hukum.

Sejarah itu seperti cermin: ada yang baik dan ada yang buruk. Kita harus menyikapinya secara proporsional; jangan "buruk muka, cermin dibelah. Sengaja saya tampilkan sisi buruknya agar kita tidak hidup dalam angan-angan atau nostalgia masa lalu saja, tanpa mengetahui sisi buruk masa lalu itu.

Ada kesan bahwa dengan menjadikan "khilafah is the (only) solution" maka kita melupakan bahwa sebenarnya banyak kisah kelam (sebagaimana juga banyak kisah "keemasan") dalam masa kekhilafahan itu. Jadi, mendirikan kembali khilafah tidak berarti semua problem akan hilang dan lenyap; mungkin kehidupan tanpa problem itu hanya ada di surga saja.

Dari daftar di atas kita ketahui bahwa selepas masa Khulafa al-Rasyidin, ternyata hanya pada masa Umayyah dan awal masa Abbasiyah saja terdapat satu khalifah untuk semua ummat Islam. Sejak tahun 909 (dimana Abbasiyah masih berkuasa) telah berdiri juga kepemimpinan ummat di Egypt oleh Fatimiyyah (bahkan pada periode Fatimiyah inilah Universitas al-Azhar Cairo dibangun). 

Di masa Abbasiyah, Cordova (Andalusia) juga memisahkan diri dan punya kekhalifahan sendiri (Umayyah II). Di Andalusia inilah sejarah Islam dicatat dengan tinta emas, namun pada saat yang sama terjadi kepemimpinan ganda di tubuh ummat, toh tetap dianggap sukses juga.

Pada masa Fatimiyyah di Mesir (909-1171), juga berdiri kekuasaan lainnya: Buyids di Iran-Iraq (945-1055). Buyids hilang, lalu muncul Saljuk (1055-1194), sementara Fatimiyah masih berkuasa di Mesir sampai 1171. Ayubid meneruskan Fatimiyyah dengan kekuasaan meliputi Mesir dan Syria (1169-1260). Dan seterusnya, ... silahkan diteruskan sendiri.

Jadi, sejarah menunjukkan bahwa khilafah itu tidak satu; ternyata bisa ada dua atau tiga khalifah pada saat yang bersamaan. Siapa yang dipenggal lehernya dan siapa yang memenggal? Mana yang sah dan mana yang harus dibunuh?

Kita harus kritis membaca Hadis-Hadis "politik" di atas. Saya menduga kuat Hadis semacam itu baru dimunculkan ketika terjadi pertentangan di kalangan ummat Islam sepeninggal rasul. Alih-alih bermusyawarah, seperti yang diperintahkan Qur'an, para elit Islam tempo doeloe malah melegitimasi pertempuran berdarah dengan Hadis-Hadis semacam itu.

Sejumlah Ulama yang datang belakangan kemudian berusaha "mentakwil" makna Hadis di atas. Mereka menyadari bahwa situasi sudah berubah, dan Islam sudah meluas sampai ke pelosok kampung. Pernyataan Nabi di atas tidak bisa dilepaskan dari konteks traditional-state di Madinah, dimana resources, jumlah penduduk, dan luas wilayah masih sangat terbatas. Cocok-kah Hadis itu diterapkan pada saat ini?

Berpegang teguh pada makna lahiriah Hadis di atas akan membuat darah tumpah di mana-mana. Contoh saja, karena tidak ada aturan yang jelas, maka para ulama berdebat, seperti direkam dengan baik oleh al-Mawardi, M. Abu faris dan Wahbah al-Zuhayli: berapa orang yang dibutuhkan untuk membai'at seorang khalifah? Ada yang bilang lima [karena Abu Bakr dipilih oleh 5 orang], tiga [dianalogikan dengan aqad nikah dimana ada 1 wali dan 2 saksi], bahkan satu saja cukup [Ali diba'iat oleh Abbas saja]. Jadi, cukup 5 orang saja untuk membai'at khalifah. Aturan itu cocok untuk kondisi Madinah jaman dulu, namun terhitung "menggelikan" untuk jaman sekarang.

Di samping itu, urusan "memenggal kepala" itu tidak lagi cocok dengan situasi sekarang. Contoh: ribut-ribut jumlah suara antara Al Gore dengan Bush 4 tahun lalu diselesaikan bukan dengan putusnya leher salah satu di antara mereka.

Begitu juga Gus Dur tidak bisa meminta kepala Mega dipenggal ketika Mega "merebut" kekuasaannya tempo hari. Mekanisme konstitusi yang menyelesaikan semua itu. Nah, mekanisme itu yang di jaman dulu kagak ada. Apa kita mau balik ke jaman itu lagi?

Akhirnya, dengan adanya catatan sejarah yang menunjukkan bahwa terdapat beberapa khalifah dalam masa yang sama, di wilayah yang berbeda. Hadis politik di atas sudah tidak cocok lagi diterapkan.

5. Jawaban anda sebelumnya seolah-olah hendak mengatakan bahwa berdirinya khilafah justru akan menimbulkan pertumpahan darah sesama ummat islam, bukan menghadirkan persatuan seperti yang didengungkan para pejuang khilafah saat ini. Betulkah demikian? Benarkah sejarah khilafah menunjukkan pertumpahan darah tersebut?

Ketika Bani Abbasiyah merebut khilafah, darah tertumpah di mana-mana.

Pasukan tentara Bani Abbas menaklukkan kota Damsyik, ibukota Bani Umayyah, dan mereka "memainkan" pedangnya di kalangan penduduk, sehingga membunuh kurang lebih lima puluh ribu orang. Masjid Jami' milik Bani Umayyah, mereka jadikan kandang kuda-kuda mereka selama tujuh puluh hari, dan mereka menggali kembali kuburan Mu'awiyah serta Bani Umayyah lainnya. Dan ketika mendapati jasad Hisyam bin Abdul Malik masih utuh, mereka lalu menderanya dengan cambuk-cambuk dan menggantungkannya di hadapan pandangan orang banyak selama beberapa hari, kemudian membakarnya dan menaburkan abunya.

Demikian pula yang mereka lakukan terhadap Bani Umayyah di Makkah dan Madinah.

Kemudian timbul pemberontakan di kota Musil melawan as-Saffah yang segera mengutus saudaranya, Yahya, untuk menumpas dan memadamkannya. Yahya mengumumkan di kalangan rakyat: "Barangsiapa memasuki masjid Jami', maka ia dijamin keamanannya." Beribu-ribu orang secara berduyun-duyun memasuki masjid, kemudian Yahya menugaskan pengawal-pengawalnya menutup pintu-pintu Masjid dan menghabisi nyawa orang-orang yang berlindung mencari keselamatan itu. Sebanyak sebelas ribu orang meninggal pada peristiwa itu.

Pada malam harinya, Yahya mendengar tangis dan ratapan kaum wanita yang suami-suaminya terbunuh di hari itu, lalu ia pun memerintahkan pembunuhan atas kaum wanita dan anak-anak, sehingga selama tiga hari di kota Musil digenangi oleh darah-darah penduduknya dan berlangsunglah selama itu penangkapan dan penyembelihan yang tidak sedikit pun memiliki belas kasihan terhadap anak kecil, orang tua atau membiarkan seorang laki-laki atau melalaikan seorang wanita.

Seorang ahli fiqh terkenal di Khurasn bernama Ibrahim bin Maimum percaya kepada kaum Abbasiyin yang telah berjanji "akan menegakkan hukum-hukum Allah sesuai dengan al-Qur'an dan Sunnah". Atas dasar itu ia menunjukkan semangat yang berkobar-kobar dalam mendukung mereka, dan selama pemberontakan itu berlangsung, ia adalah tangan kanan Abu Muslim al-Khurasani. Namun setelah gerakan kaum Abbasiyin itu berhasil ia menuntut kepada Abu Muslim agar menegakkan hukum-hukum Allah dan melarang tindakan-tindakan yang melanggar kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, segera ia dihukum mati oleh Abu Muslim.

Cerita di atas bukan karangan orientalis tapi bisa dibaca di Ibn Atsir, jilid 4, h. 333-340, al-Bidayah, jilid 10, h. 345; Ibn Khaldun, jilid 3, h. 132-133; al-Bidayah, jilid 10, h. 68; al-Thabari, jilid 6, h. 107-109. Buku-buku ini yang menjadi rujukan Abul A'la al-Maududi ketika menceritakan ulang kisah di atas dalam al-Khilafah wa al-Mulk.

Note:

Yang jelas sejarah "buruk" kekhilafahan bukan hanya milik khalifah Abbasiyah, tapi juga terjadi di masa Umayyah (sebelum Abbasiyah) dan sesudah Abbasiyah. Misalnya, menurut al-Maududi, dalam periode khilafah pasca khulafatur rasyidin telah terjadi: perubahan aturan pengangkatan khalifah seperti yang dipraktikkan sebelumnya, perubahan cara hidup para khalifah, perubahan kondisi baitul mal, hilangnya kemerdekaan mengeluarkan pendapat, hilangnya kebebasan peradilan, berakhirnya pemerintah berdasarkan syura, munculnya kefanatikan kesukuan, dan hilangnya kekuasaan hukum.

Sejarah itu seperti cermin: ada yang baik dan ada yang buruk. Kita harus menyikapinya secara proporsional; jangan "buruk muka, cermin dibelah. Sengaja saya tampilkan sisi buruknya agar kita tidak hidup dalam angan-angan atau nostalgia masa lalu saja, tanpa mengetahui sisi buruk masa lalu itu.

Ada kesan bahwa dengan menjadikan "khilafah is the (only) solution" maka kita melupakan bahwa sebenarnya banyak kisah kelam (sebagaimana juga banyak kisah "keemasan") dalam masa kekhilafahan itu. Jadi, mendirikan kembali khilafah tidak berarti semua problem akan hilang dan lenyap; mungkin kehidupan tanpa problem itu hanya ada di surga saja.

6. Ada sejumlah kewajiban yang pelaksanaannya tidak terletak di tangan individu rakyat. Di antaranya adalah pelaksanaan hudƻd, jihad fi sabilillah untuk meninggikan kalimat Allah, mengumpulkan zakat dan mendistribusikannya, dan seterusnya. Sejumlah kewajiban syariat ini bergantung pada pengangkatan Khalifah. Bukankah di sinilah letak urgensinya kita mendirikan khilafah?

Cara berpikir anda itu masih menganggap khilafah itu sama dengan sebuah sistem pemerintahan Islam [SPI], padahal hadis-hadis yang menyinggung soal khilafah itu hanya bicara mengenai pentingnya mengangkat pemimpin (dan sekarang semua negara punya pemimpin kan?).

Kalau pertanyaannya saya tulis ulang: bukankah sebagian pelaksanaan syariat Islam membutuhkan campur tangan pemimpin? Jawabannya benar, dan itulah yang sudah dilakukan di sejumlah negara: misalnya memungut zakat, memberangkatkan jamaah pergi haji, membuat peradilan Islam (mahkamah syariah), menentukan 1 Ramadan dan 1 Syawal, dan seterusnya. Jadi, syariat Islam sudah bisa berjalan saat ini tanpa harus ada khilafah.

Lha wong kita sholat, puasa, sekolah, makan, bekerja, menikah, dan seterusnya adalah bagian dari syariat Islam dan kita bisa menjalaninya meski tidak ada khilafah dalam arti SPI. Kita menjalaninya karena pemimpin kita membebaskan kita melakukan itu semua. Kita tidak dilarang menjalankannya. 

Di Saudi Arabia, tanpa ada khilafah sekalipun hukuman potongan tangan (hudud) sudah diberlakukan. Bukan berarti saya setuju dengan penerapan hudud ini. Saya hanya ingin menunjukkan tanpa khilafah (baca: SPI) maka syariat Islam juga bisa diterapkan.

7. Apalagi letak keberatan anda terhadap ide mendirikan khilafah?

Kalau khilafah berdiri maka dunia ini tidak akan damai. Perang terus menerus. Para pejuang khilafah menerima saja mentah-mentah Hadis yang mengungkapkan 3 langkah dalam berurusan dengan non-muslim:

Ajak mereka masuk Islam

Kalau mereka enggan, suruh mereka bayar jizyah

Kalau enggan masuk Islam dan enggan bayar jizyah, maka perangilah mereka.

Kalau Indonesia sekarang berubah menjadi khilafah, maka Singapora, Thailand, Philipina dan Australia akan diajak masuk Islam, atau bayar jizyah, atau diperangi. Masya Allah!

Simak cerita Dr. Jeffrey Lang di bawah ini (yang diceritakan ulang oleh Dr Jalaluddin Rakhmat):

Kira-kira dua bulan setelah saya masuk Islam, mahasiswa-mahasiswa Islam di universitas tempat saya mengajar mulai mengadakan pengajian setiap Jum'at malam di masjid universitas. Ceramah kedua disampaikan oleh Hisyam, seorang mahasiswa kedokteran yang sangat cerdas yang telah belajar di Amerika selama hampir sepuluh tahun. Saya sangat menyukai dan menghormati Hisyam. Dia berbadan agak bulat dan periang, dan mukanya tampak sangat ramah. Dia juga mahasiswa Islam yang sangat bersemangat.

Malam itu Hisyam berbicara tentang tugas dan tanggungjawab seorang Muslim. Dia berbicara panjang lebar tentang ibadah dan kewajiban etika orang yang beriman. Ceramahnya sangat menyentuh dan telah berjalan kira-kira satu jam ketika dia menutupnya dengan ucapan yang tidakdisangka- sangka berikut ini.

"Akhirnya, kita tidak dapat lupa --dan ini benar-benar penting-- bahwa sebagai orang Muslim, kita wajib untuk merindukan, dan ketika mungkin berpartisipasi di dalamnya, yakni menggulingkan pemerintah yang tidak Islami --di mana pun di dunia ini-- dan menggantinya dengan pemerintahan Islam."

"Hisyam!" Saya mencela. "Apakah anda bermaksud mengatakan bahwa warga negara Muslim Amerika harus melibatkan diri dalam penghancuran pemerintah Amerika? Sehingga mereka harus menjadi pasukan kelima di Amerika; suatu gerakan revolusioner bawah tanah yang berusaha untuk menggulingkan pemerintah? Apakah yang kamu maksudkan adalah jika seorang Amerika masuk Islam, dia harus melibatkan diri dalam pengkhianatan politik?"

Saya berfikir begitu dengan maksud memberikan Hisyam suatu skenario yang sangat ekstrem, sehingga dapat memaksanya untuk melunakkan atau mengubah pernyataannya. Dia menundukkan pandangannya ke lantai sementara dia merenungi pertanyaan saya sebentar. Kemudian dia menatap saya dengan suatu ekspresi yang mengingatkan saya terhadap seorang doktor yang hendak menyampaikan kabar kepada pesakitnya bahwa tumornya adalah tumor berbahaya. "Ya," dia berkata, "Ya, itu benar."

Dr. Jeffrey Lang, muslim Amerika yang juga profesor matematik di Universitas Kansas, menceritakan pengalaman di atas untuk menunjukkan betapa "absurdnya" gagasan mendirikan negara Islam bagi orang Islam di Amerika. "Bagi mereka, ide bahwa kaum Muslim --menurut agama mereka-- berkewajiban untuk menyerang negara-negara yang tidak agresif seperti Swiss, Brazil, Ekuador atau jika mereka tidak mau tunduk kepada Islam sangat tidak masuk akal," kata Dr. Lang selanjutnya.

Anehnya, di mana saja Dr. Lang menemukan wacana negara Islam ini dikemukakan, baik di meja diskusi ilmiah maupun di medan perang.

Sekian kutipan dari Dr Jeffrey Lang.

Kalau kita sekarang nggak suka dengan doktrin pre-emptive strikenya Bush, maka sebenarnya kalau sekarang khilafah berdiri, maka khilafah itu juga memiliki doktrin yang sama. Sungguh mengerikan.

Hadis di atas telah diplintir maknanya sedemikian rupa sehingga khilafah akan menjadi monster yang memaksa negara sekitarnya untuk memeluk Islam dengan cara diperangi. Inilah salah satu keberatan saya dengan ide mendirikan kembali khilafah.

8. Saya heran dengan anda. CIA saja sudah bisa memprediksi bahwa khilafah akan berdiri pada tahun 2020. Kalau musuh-musuh Islam saja percaya dengan hal ini, bagaimana mungkin anda sebagai Muslim malah tidak mendukung berdirinya khilafah?

Biar nggak Ge-Er, kawan-kawan yang pro-khilafah coba baca baik-baik laporan lengkapnya di sini: http://www.foia.cia.gov/2020/2020.pdf. Intinya, CIA membuat 4 skenario FIKTIF sebagai gambaran situasi tahun 2020. Khilafah itu hanya satu dari empat skenario fiktif tersebut. Jadi jangan diplintir seolah-olah CIA mengatakan khilafah akan berdiri tahun 2020. Khilafah Islam, Fiktif!

Penulis, Prof. Dr. Nadirsyah Hosen, pengajar di Monash Law School, Australia dan Rais Syuriyah (=ketua dewan permusyawaratan) Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama Australia-Selandia Baru. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Lihat juga video 'Khilafah Proyek Politik Inggris? Ini Alasan Hizbut Tahrir Bolehkan Cium Cewek Bukan Muhrim':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO