Tafsir Al-Nahl 90: Shalat Tanpa Tumakninah Tidak Sah

Tafsir Al-Nahl 90: Shalat Tanpa Tumakninah Tidak Sah ilustrasi

Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .   

BANGSAONLINE.com - "Inna allaaha ya'muru bial’adli waal-ihsaani wa-iitaa-i dzii alqurbaa wayanhaa ‘ani alfahsyaa-i waalmunkari waalbaghyi ya’izhukum la’allakum tadzakkaruuna".  

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

Masih soal shalat tarawih super cepat, sebagaimana ditayangkan di televisi dan berkeliaran di media sosial. Bisa dibayangkan, shalat tarawih 20 rakaat plus 3 witir hanya memakan waktu sekitar 7 menit sungguh gerakan apa itu. Jauh lebih lama merokoknya ketimbang tarawihnya. Pergantian gerak dari berdiri ke ruku', i'tidal, sujud, duduk, sujud, bangun dan berdiri cepat sekali, lebih cepat dari tarian Saman gadis-gadis agresif. Jangan ditanya soal bacaannya, apalagi bacaan dalam ruku', duduk dan sujud. Walhasil, gerakan itu brutal sekali dan sama sekali tidak mencerminkan shalatnya orang beriman. Sama sekali jauh dari tuntunan Nabi, sama sekali jauh dari apa yang dikehendaki al-Qur'an dan al-Hadis.

Penulis sangat kasihan kepada imam shalat itu, betapa sengsaranya nanti di akhirat ketika diminta pertanggungjawaban atas kelakuannya menjadi imam shalat tarawih super bejat. Shalat model itu sungguh merugikan para makmum dan kelak mereka pasti menuntut imamnya agar bertanggungjawab, karena ternyata buku amal kosong tanpa pahala tarawih. Itu pasti dan pasti. Penulis juga menyayangkan kawan-kawan yang komentarnya positif dan mengatakan shalat itu shah karena tidak ada yang dilanggar menurut syari'ah. Benarkah demikian?.

Alasan lain, kenapa tarawih brutal itu dilestarikan dan generasinya tidak mau mengubah menjadi tarawih berkualitas? Pengakuannya, hal itu karena sudah menjadi warisan dari kiainya dulu dan sudah berjalan bertahun-tahun. Berikut ini sebuah paparan terkait hal tersebut :

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

Pertama, soal tumakninah dalam shalat. Tumakninah adalah "sukun ba'd harakah". Kondisi diam tanpa gerakan, setelah melakukan gerakan. Jadi, setelah usai melakukan suatu gerakan -ruku' mislanya - , maka harus ada kondisi "off", diam beberapa detik, baru melakukan gerakan selanjutnya, yakni iktidal. Tumakninah itu berfungsi sebagai sela yang signifinkan antara dua gerakan. Begitu jidat atau dahi telah sempurna menyentuh tanah (tempat sujud), maka harus diam sejenak (tumakninah), baru bangun. Bukan langsung bangun setelah dahi menyentuh tanah.

Seberapa lama ukuran tumakninah itu?. Tuntunan populer seukuran membaca "subhan Rabbiy al-a'la wa bihamdih" untuk sujud atau "subhan Rabby al-adhim wa bihamdih" untuk ruku', minimal dibaca sekali, meski idealnya tiga kali. Ingat dan ingat, ini membahas ukuran lama, jeda waktu, maka yang dipakai adalah standar "MEMBACA", bukan membatin. Membaca adalah membunyikan huruf per huruf sesuai karakternya, sehingga melahirkan rentang waktu, bukan membatin atau dibatin pakai hati. Sebab dibatin tidak melahirkan rentang waktu. Karena hati bisa membatin sesuatu hanya dalam seper seribu detik.

Tumakninah itu lalu dipraktikkan oleh Nabi pada setiap kali beliau mengerjakan shalat. Tidak hanya itu, Nabi Muhammad SAW juga pernah mengontrol praktik shalat yang dilakukan oleh seorang sahabat, lalu mengoreksinya, menegur dan memberi tuntunan.

Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana

Dalil tumakninah adalah Hadis Shahih riwayat al-Bukhary (724) dan Muslim (397) dari Abu Hurairah R.A. dikatakan: Seorang sahabat shalat di masjid dan Nabi memperhatikan dari awal hingga selesai. Selesai shalat, Nabi menegur sahabat tersebut dengan teguran tegas sekali: "Irji' fa shalli, fa innak lam tushalli". Ulangi shalatmu, sesungguhnya kamu itu belumlah shalat. Lelaki itu menurut dan mengulangi lagi shalatnya, sementara Nabi terus mengawasi.

Usai salam, Nabi memarahi lagi dan mengatakan kata-kata yang sama: "Irji' fa shalli fa innak lam tushalli". Lelaki itu menurut dan shalat lagi, sementara Nabi terus mengawasi. Selesai shalat, Nabi memarahi lagi dan mememerintahkan mengulang shalat dengan bahasa yang sama: "Irji' fa shalli fa innak lam tushalli".

Karena sudah dilakukan tiga kali dan tetap disalahkan, dianggap tidak sah oleh Nabi, maka lelaki itu menyerah. Dengan wajah memelas dia berkata: "Ya Rasulallah, demi Dzat Allah yang mengutus engkau dengan membawa agama yang benar, sungguh saya tidak bisa shalat lebih baik dari ini. Sungguh saya tidak mengerti, maka mohon ajarilah aku".

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok

Nabi, lantas memberi tuntunan. "..... tsumma irka' hatta thatma'inn raki'a". (Lalu ruku'lah sampai kamu benar-benar tenang dalam kondisi ruku'). "Tsumm ifra' hatta ta'tadila qa'ima" (kemudian bangunlah dari ruku' sehingga kamu benar-benar tegak berdiri). "Tsumma usjud hatta tathma'inn sajida" (Kemudian sujudlah sehingga kamu benar-benar tenang dalam kondisi sujud). Tsumma irfa' hatta tathma'inn jalisa" (Kemudian bangunlah dari sujud sehingga kamu benar-benar tenang dalam kondisi duduk). "Tsumma usjud hatta tathma'inn sajida" (Kemudian sujudlah, sehingga kamu benar-benar tenang dalam kondisi sujud). Lakukanlah apa yang aku tuntunkan kepadamu ini pada setiap shalatmu.

Selanjutnya, para ulama ahli Hadis menjuduli Hadis ini dengan " Khabar al-Musy' Shalatah", Hadis tentang orang yang shalatnya jelek. Dari judul yang diberikan oleh ulama ahli Hadis saja sudah bisa dibaca soal kualitas shalat tersebut sebagai shalat yang sangat buruk dan gugur menurut pandangan Nabi. Berikut dipapar syarh al-Hadis, yakni :

Pertama, keputusan Nabi dengan mengatakan: "ulangi shalatmu, sesungguhnya kamu belum shalat" jelas sekali menunjuk shalat si lelaki tersebut tidak shah secara mutlak, batal dan tidak berefek apa-apa. Andai shalat tersebut dianggap sudah shah, maka tidak mungkin Nabi menyuruh mengulang, mengulang dan mengulang.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Bila anda menempuh ujian mendapatkan Surat Izin Mengemudi (SIM), lalu anda melakukan ujian praktik berkendara di arena Satlantas yang ditentukan, sementara pak polisi mengawasi dan melakukan penilaian, lalu memutuskan bahwa anda harus mengulang, maka apa artinya itu?. Sebodoh-bodoh orang pasti bisa berpikir, bahwa anda tidak lulus. Ada kesalahan yang anda lakukan dan tidak bisa ditolerir sehingga anda gagal mendapatkan SIM.

Kedua, Nabi tetap bersikukuh pada pendiriannya dan menyuruh lelaki itu mengulang lagi shalatnya meskipun sudah tiga kali dilakukan. Bagi Nabi, dalam merumus shah dan tidaknya shalat sungguh harus definitif dan pasti. Artinya, tidak shah, ya tidak shah dan tidak ada toleran. Hal ini sangat prinsip karena menyangkut ibadah shalat, ibadah paling menentukan, paling depan dihisab di hari akhir nanti.

Keempat, Hadis tersebut lebih pada praktik dan amali. Sunnah fi'liyah ini berimplikasikan keputusan hukum langsung oleh Nabi sendiri dan sifatnya mengikat dan mutlak. Bukan lagi berupa qauliah atau diorasikan yang mengandung makna bersayap dan multi syarah. Sesuatu yang sudah diputuskan Nabi adalah syari'ah final yang tidak bisa diaganggu gugat dan segala yang bersifat debatebel harus berakhir dan selesai.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Kelima, ketika lelaki itu menyerah dan meminta bimbingan demi menggapai shalat yang sesuai dengan harapan Rasulullah, terbacalah dalam matan al-Hadis tersebut menggunakan kata "TSUMMA" (kemudian, selanjutnya) pada setiap kali gerakan shalat: ruku', berdiri, sujud, duduk dan seterusnya. Dalam tradisi bahasa arab disiplin ilmu ma'any, kata "Tsumma" adalah huruf 'athaf (kata sambung) yang berimplikasikan jeda waktu. Antara al-ma'thuf dan al-ma'thuf 'alaih terdapat senggang waktu (ta'qib tarakhy/berurutan dan berjarak waktu). Tidak sama dengan huruf athaf "Fa'", yang berfungsi ta'qib fawry/berurutan dan langsung.

Jadi, jika dikatakan: "Zarany Muhammad tsumma Ali", maka artinya, Muhammad kunjung ke rumahku duluan, lalu beberapa saat, kemudian datanglah Ali menyusul. Tidak sama dengan terma: "Zarany Muhhamad fa Aly", maka jarak antara kunjungan Muhammad dan Ali berurutan dan hampir bersamaan.

Nah, dari falsafah makna "Tsumma" inilah ulama' memandang tumakninah itu harus ada pada setiap kali gerakan shalat. Ulama fikih memasukkan tumakninah sebagai rukun. Shalat tanpa tumakninah dihukumi tidak shah. Maka keheranan mengganggu Penulis, kok ada kawan yang berkomentar "shah" ketika menghukumi tarawih super cepat model "Blitaran". Apa mereka tidak mengerti ada Hadis ini atau punya pemahaman lain atau tidak menganggap tumakninah sebagai bukan rukun atau model super cepat itu dianggap sudah tumakninah, atau asal ngomong saja dan gaya-gayaan?. Semoga Allah selalu memberi hidayah kepada kita.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Keenam, ada beberapa ayat al-qur'an yang menunjuk "wajibnya" shalat berkualitas, khusyu' dan berefek kebajikan. Allah SWT mengawasi orang yang shalat, sejak mulai datang ke masjid, mengambil posisi dalam shaff, saat dia berdiri, sujud dan mengontrol pula kondisi hatinya. Seterusnya dan seterusnya. Namanya ibadah diawasi Allah, lalu kita lakukan ibadah model mana?. Hanya pekerja amoral yang tega bekerja acak-acakan dan amburadul meskipun ditunggui majikan di depannya.

Ketujuh, Nabi menemukan ketenangan jiwa saat shalat. Shalat itu dinikmati begitu mendalam dan meresap, lama dan lama sekali seperti orang bercumbu dengan kekasih dan tidak mau berpisah. Kaki bengkakpun tak terasa. Apakah ini bukan tuntunan?. Kita sadar, tidak bisa seperti Nabi. Tapi setidaknya ada sedikit usaha untuk bisa bermirip-mirip. Usaha menuju ke lebih baik sungguh mulia dalam pandangan Tuhan. Mokong dan bersikukuh pada keburukan adalah gaya jahiliah yang disukai Syetan.

Kedelapan, mungkin Nabi terlalu tinggi untuk dicontoh. Kita turunkan ke level kalangan sahabat, ke level Tabi'in, ke level Tabi'it Tabi'in, ke level ulama salaf, ulama khalaf, ke level kiai-kiai ternama negeri ini. Tidak ada yang mengimami shalat tarawih model itu. Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari yang ahli Hadis, punya sanad ke imam al-Bukhary dan imam Muslim, pendiri Nahdlatul Ulama shalat tarawih secara khusyu' dan lama. Memang beliau tidak hafal al-Qur'an, tapi shalat tarawih pakai mengkhatamkan al-qur'an dengan cara membaca mushaf. Mushaf dibuka, dibaca saat berdiri dan diletakkan saat ruku'.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani

Kesembilan, soal tarawih super cepat warisan dari kiai terdahulu dan berlangsung lama. Apakah kiai itu bodoh dan tidak mengerti praktik tumakninah? Mosok si mbah Yai salah? dan haruskah dilestarikan?. Komentar penulis, antar lain :

Pertama, tidak baik mengungkap keburukan orang yang sudah mati. Seharusnya kita mendoakan beliau semoga kesalahannya dimaaf oleh Allah SWT dan ditempatkan di surga. Beliau sudah berbuat dan kini tinggal di sono, semoga Tuhan memaklumi.

Kedua, selain Nabi, punya potensi melakukan kesalahan. Semua manusia punya keterbatasan, termasuk keterbatasan memahami Nash. Tidak ada yang punya ilmu sempurna. Punya ilmu, tapi terbatas dalam mengamalkan secara optimal. Untuk itu, dalam agama, ukuran kebenaran bukanlah merujuk perorangan dan warisan masa lalu, tetapi berdasar wahyu dan pandangan para ahli dan terpercaya. Di samping itu, pola pikir orang beriman harus memproduk nilai terbaik dan terus memburu yang terbaik dan tak boleh merasa kenyang, bukan mandeg pada tradisi dan warisan yang buruk.

Warisan kiai memang perlu dilestarikan asal baik. Tapi jika ada yang lebih baik, maka sebisa-bisanya harus diubah menjadi lebih baik, maka Tuhan rela, Nabi suka dan kiai yang sudah wafat bergembira karena mendapatkan yang terbaik dari apa yang dulu dilakukan. Janganlah melestarikan warisan buruk, itu haram hukumnya. Melestarikan warisan buruk sama saja dengan memeperpanjang keburukan bagi si mayit. Jika keburukan itu dosa dan berefek siksa, maka anda adalah orang tega, anak durhaka yang tega memepanjang siksaan atas pendahulu. Sewajibnya anda menghentikan. Itu baru anda pewaris yang cerdas sekaligus anak shalih yang berakhlaq mulia.

Ketiga, dalam al-qur'an, kalimat yang menunjuk warisan nenek moyang terdahulu lazim dibahasakan dengan "Ma wajadna 'alaih aba'ana". Semua kalimat ini berkonotasikan negatif, primordialistik dan buruk. Itu alasan klise yang dipakai orang-orang jahiliah zaman Nabi dulu. Mereka menolak kabaikan yang disampaikan Nabi dengan alasan memegangi tradisi nenek moyang.

Tuhan membisiki Nabi, bahwa teruslah berdakwah dan mengajak mereka ke jalan kebaikan dan jangan ragu, jangan gentar dengan cemooh pengecut. Sejatinya, mereka tidak menolak ajaran islam bukan karena konsep islam buruk, tapi lebih karena gengsinya. Mulutnya mengecam, sikapnya menolak, tangannya menjahati, langkahnya memusuhi, tapi sejatinya hatinya menerima dan mengakui kebaikan itu. "wajahadu biha wa istaiqanatha anfusuhum dhulma wa 'uluwwa".      

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO