TRIPOLI, BANGSAONLINE.com - Pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang Jawa Timur dan Depok Jawa Barat KHA Hasyim Muzadi diundang ceramah dalam beberapa kegiatan ilmiah di Tripoli Lebanon, 21 hingga 23 Juli 2016. Anggoa Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) itu didaulat bicara tentang nasionalisme di beberapa lembaga Islam, antara lain di Darul Fatwa, Universitas Tripoli, Institut Darul Da'wah, dan perkumpulan masyarakat Indonesia di Lebanon. Bahkan Kiai Hasyim Muzadi juga didaulat sebagai imam dan khhotib untuk salah Jumat di masjid Universitas Tripoli Libanon.
Kiai Hasyim Muzadi yang dalam “safari ilmiah” ini bersama Menteri Agama RI Lukman Hakim Saifuddin Zuhri ditemui para mufti dan cendekiawan muslim Libanon, antara lain: Syaikh Abdul latif Deriyan (mufti Libanon), Syaikh Abdul Naser Jabry (ulama dan cendekiawan muslim Institut Darul Dakwah Libanon) dan ulama besar lainnya.
Baca Juga: Kesemek Glowing asal Kota Batu, Mulai Diminati Masyarakat Indonesia Hingga Mancanegara
”Lebanon adalah contoh nyata dari sebuah negara yang masyarakatnya lebih mementingkan ta'asub golongan (ego sektoral) daripada keselamatan negara secara utuh. Sudah dua tahun ini Lebanon berjalan tanpa Presiden. Disebabkan karena parlemen yang merupakan jatahnya Kelompok Syiah tidak mampu memilih Presiden karena ada dua calon Presiden dari Kelompok Maronit yang belum bisa diselesaikan,” kata Kiai Hasyim Muzadi.
Menurut dia, fenomena tersebut hendaknya menjadi pelajaran untuk Indonesia betapa pentingnya nasionalisme dan Bhinneka Tunggal Ika.
“Oleh karenanya Mufti Lebanon yang relatif netral menyelenggarakan seminar tentang Islam dan nasionalisme, yang sesungguhnya sudah sangat terlambat,” tegas mantan ketua umum PBNU dua periode tersebut.
Baca Juga: Ratusan Wisudawan Universitas Harvard Walk Out, Protes 13 Mahasiswa Tak Lulus karena Bela Palestina
Keterlambatan tersebut – menurut dia - karena orientasi kelompok-kelompok kepentingan yang lebih percaya kepada kendali luar negeri daripada bersatu diantara bangsanya sendiri.
“Kalau mereka mengundang Indonesia artinya menganggap bahwa Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya kepentingan nasional Indonesia tetapi bermakna universal,” kata Kiai Hasyim Muzadi.
Menurut dia, Universitas Tripoli sangat menghargai bahkan mengagumi persatuan Indonesia yang berangkat dari manhaj Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja, Imam Syafi'i) yang mampu meletakkan pemikiran Islam tetap pada keasliannya sekaligus dikembangkan dalam bingkai nasionalisme.
Baca Juga: 15 Ucapan Kreatif Peringatan HUT RI ke-78 Agustus 2023 Cocok untuk WA, Instagram dan Tiktok
“Pemikiran ilmiah Ahlussunnah Wal Jamaah bukanlah embrio perpecahan terhadap sektoral mazhab yang lain tapi justru mengakomodasinya dalam lintas agama, bingkai nasionalisme, dan pergaulan internasional,” tambahnya.
Menurut dia, pertemuan dengan Darul Da'wah (Sheikh Abdul Naser Jabry) cukup menarik karena beliau berpikir secara proporsional dan meletakkan Islam di atas golongan-golongan di dalam Islam itu sendiri. Namun meski pemikiran Sheikh Abdul Naser Jaabry itu proporsional tapi untuk dilaksanakan di Lebanon bukanlah sesuatu yang mudah karena keadaan negeri sudah terlanjur berkeping-keping di dalam keta'asubannya.
Sementara saat pertemuan dengan masyarakat Indonesia, Kiai Hasyim Muzadi menyampaikan beberapa pokok problem kemasyarakatan dan kenegaraan, antara lain masalah narkoba, terorisme, terlantarnya TKI hampir di seluruh dunia, korupsi, dan demoralisasi baik di kalangan masyarakat maupun sebagian dari penyelenggara negara.
Baca Juga: 10 Lagu yang Cocok Diputar pada Acara dan Tirakatan 17 Agustus 2023 Selain Wajib Nasional
Menurut dia, Kementerian Agama dan Wantimpres selalu berupaya untuk mengatasi masalah tersebut. Karena itu perlu bersama-sama dengan seluruh masyarakat bangsa agar tetap dapat mempertahankan dan mengembangkan Islamisme dan nasionalisme Indonesia.
Sebelum terbang ke Libanon, Kiai Hasyim Muzadi jadi panelis di Singapura yaitu pada Workshop6th Session of The Istanbul Process “Across-Regional Perspectiveon Best Practices Policies for Promoting Religious Tolerance and Strengthening Resilience” yang digelar Kementerian Luar Negeri Singapura pada 20 Juli 2016. (ma)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News