JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Chief Executive Officer Freeport-McMoran, Richard Adkerson, menyatakan perusahannya memberikan waktu 120 hari kepada Indonesia untuk mempertimbangkan perbedaan yang terjadi antara Pemerintah Presiden Joko Widodo dan Freeport. Waktu 120 hari tersebut terhitung dari pertemuan terakhir kedua belah pihak pada Senin, 13 Februari 2017.
"Dalam surat itu ada waktu 120 hari di mana pemerintah Indonesia dan Freeport bisa menyelesaikan perbedaan-perbedaan yang ada. Kalau tidak selesai, Freeport punya hak untuk melakukan arbitrase," kata Adkerson.
Baca Juga: Pascakebakaran, Presdir PTFI Inspeksi Lokasi Common Gas Cleaning Plant di Smelter Gresik
Dikutip dari Tempo.co, Adkerson menyatakan, pihaknya bersiap membawa permasalahan antara Freeport dan pemerintah ke lembaga arbitrase internasional, jika selama jangka waktu itu permintaan Freeport tak dipenuhi oleh pemerintah.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bambang Gatot, mengatakan pemerintah hanya menjalankan peraturan. Apapun yang akan dilakukan PT Freeport Indonesia diserahkan kepada mereka.
"Terserah merekalah, kami kan menjalankan peraturan perundang-undangan," kata Bambang saat ditemui di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta Pusat, Senin 20 Februari 2017.
Baca Juga: Tuntut Tenaga Kerja, Warga Mengare Komplek Gresik Demo Smelter PT Freeport Indonesia
Bambang mengaku tidak mengerti kenapa Freeport Indonesia, unit usaha perusahaan tambang asal Amerika Serikat, Freeport-McMoRan Inc, menolak ajakan pemerintah untuk mengubah statusnya dari sebelumnya kontrak karya menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Dia menjamin pemerintah akan tetap berkomitmen pada aturan yang ada.
Menurut Bambang, pemerintah tetap menjalankan rapat-rapat seperti biasa dalam menghadapi tuntutan Freeport. Dia merasa saat ini banyak masyarakat mendukung apa yang dilakukan oleh pemerintah saat ini.
Sementara Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan justru menyikapi tekanan dari perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) itu dengan santai. Sekaligus siap meladeni Freeport-McMoran dan PTFI bila serius melenggang ke arbitrase untuk menyelesaikan hal ini.
Baca Juga: Freeport Indonesia Raih 4 Penghargaan Good Mining Practice Award 2024
Bahkan, mantan Menteri Perhubungan itu menyebutkan bahwa tidak hanya Freeport-McMoran dan PTFI yang memiliki hak untuk membawa ketidaksepahaman ini ke arbitrase. Namun pemerintah Indonesia juga bisa melaporkan lebih dulu masalah ini.
"Saya kira Freeport itu badan usaha. Jadi, maunya berbisnis. Kalau berbisnis pasti ini dirundingkan. Mudah-mudahan mencapai titik temu," ujar Jonan dikutip dari cnnindonesia.com, Senin (20/2).
"Kalau tidak mencapai titik temu, memang itu hak masing-masing untuk membawa ke arbitrase. Bukan hanya Freeport yang bisa membawa ke arbitrase, pemerintah juga bisa," imbuhnya.
Baca Juga: Tim Melek Industri Bedanten Gresik Gelar Giat Religi
Jonan mengatakan, sikap tegasnya ini lantaran pemerintah telah berupaya sedemikian rupa untuk memberi kemudahan bagi PTFI untuk menjalankan bisnisnya di Indonesia.
Sedangkan di satu sisi, pemerintah juga tetap teguh menciptakan aturan yang tak melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
Di sisi lain, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Satya Yudha, mengatakan pemerintah harus kuat jika memang harus menyelesaikan kasus izin pertambangan PT Freeport Indonesia, unit usaha perusahaan tambang asal Amerika Serikat, Freeport-McMoRan Inc ke arbitrase internasional. Menurut dia, tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan karena Indonesia telah memiliki pengalaman sebelumnya.
Baca Juga: Smelter Freeport di Gresik Resmi Beroperasi, Telan Anggaran hingga Rp58 Triliun
"Kita pernah menang waktu Newmont menggugat ke arbitrase, negara harus berdaulat, harus berani dibanding," kata Satya saat di gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat.
Satya menuturkan dirinya setuju dengan ucapan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Ignasius Jonan yang mengatakan Freeport jangan menggunakan karyawannya untuk dibenturkan pemerintah. Dia melihat itu harusnya dihindari.
“Kami inginkan situasi suasana investasi yang kondusif,” ungkapnya.
Baca Juga: Bikin Macet, Warga Hadang dan Sweeping Bus Pekerja Smelter Freeport di Gresik
Mengenai peluang untuk menang di lembaga arbitrase, Satya merasa hal itu sebaiknya ditanyakan kepada pemerintah. Posisi DPR hanya memberikan dukungan, karena hal terkait izin ekspor harus mengacu kepada produk undang-undang. "Itu asas legalitas kita bersama," ucap Satya.
Satya menyatakan pemerintah memiliki pijakan yaitu Undang-Undang tentang Mineral dan Batu Bara dan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 dalam bernegosiasi dengan Freeport. Dalam rangka menerapkan UU Minerba maka hilirisasi tak boleh terlambat. "Tentu kami inginkan sambutan positif Freeport."
Sementara Anggota Komisi Energi DPR dari Partai Nasional Demokrat, Kurtubi, mengusulkan sebaiknya penyelesaian masalah perizinan Freeport tak perlu sampai ke arbitrase. Dia melihat masih ada peluang bagi pemerintah dan Freeport untuk membicarakan masalah ini baik-baik.
Baca Juga: Pemerintah Perpanjang Kontrak hingga 2061, Menteri ESDM: Cadangan Freeport Bisa Sampai 100 Tahun
Kurtubi menyarankan kepada Freeport agar mempelajari matang-matang bentuk izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Sebab dalam bentuk IUPK pun Freeport masih akan untung, sehingga kekhawatiran Freeport sebenarnya berlebihan.
Kurtubi menjelaskan jika sampai diselesaikan di arbitrase, maka dikhawatirkan terjadi pemberhentian tenaga kerja di Freeport. Hal itu akan ditambah dengan penerimaan negara yang menurun, belum lagi ekonomi lokal di Kabupaten Mimika juga akan berpengaruh.
Karena itu, kata Kurtubi, jika opsi penyelesaian di arbitrase yang dipilih maka pemerintah harus menyiapkan BUMN sektor tambang, untuk melakukan take over pekerjaan Freeport. "Pemerintah harus sosialisasi ke masyarakat, sepanjang tak melanggar konstitusi."
Baca Juga: Wakil Menteri BUMN Optimis Smelter di Gresik Beroperasi Sesuai Rencana
Diketahui Freeport Indonesia menolak perubahan dari kontrak karya ke IUPK. Padahal jika pemegang kontrak karya belum membangun smelter sesuai dengan amanat UU Minerba, maka pemerintah menawarkan berubah status menjadi IUPK agar tetap bisa melakukan ekspor konsentrat. (tempo.co/cnnindonesia.com)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News