BUSYRO Muqoddas, mantan pimpinan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) menuliskan status yang 'menggelitik' di WhatsApp-nya. Bodoh Rakus: Negara Gagal. Saat ditanyakan maksud statusnya itu, ia tertawa. "Status ini merupakan refleksi saya tentang negeri krisis kemanusiaan otentik ini," kata mantan Wakil Ketua KPK yang selesai masa tugasnya sejak 10 Desember 2014, tersebut.
Ternyata itu merupakan ungkapan keprihatinannya terhadap proses demokrasi di negeri ini, khususnya pilkada (pemilihan kepala daerah) serentak yang tahun ini diselenggarakan di 101 daerah. "Selama ini, pilkada lebih sebagai ajang oligarki, pemodal membeli jabatan publik," kata Busyro Muqoddas, Rabu (22/2) seperti dilansir Tempo.co.
Baca Juga: Viral Pernyataan Babe Haikal Terkait Sertifikasi Halal, Mahfud MD Beri Tanggapan Menohok
Salah seorang Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini pun melanjutkan, UU Pilkada tidak reformatif dan diperparah lagi dengan permisifikasi masif masyarakat. "Khususnya untuk didemoralisasi dengan money politic atau politik uang," katanya.
Juga kontrol civil society organization (CSO) atau organisasi masyarakat sipil yang dinilainya masih lemah. Jika terus dibiarkan situasi seperti ini, maka pilkada tidak akan menjadi praktek demokrasi kualitatif. "Melainkan proses degradasi kualitas demokrasi itu sendiri,” kata Busyro.
Sebelum ini, mantan pimpinan KPK tersebut mendukung penuh gerakan Jogja Independen, sebuah gerakan mengusung calon Wali Kota Yogyakarta dari jalur perseorangan pada pemilihan kepala daerah 2017.
Baca Juga: Siswa MTsN Kota Pasuruan Juara 1 MYRES Nasional, Mas Adi: Anak Muda yang Harumkan Daerah
"Kami bersungguh-sungguh untuk mewujudkan gerakan ini," ujar Busyro di sela menghadiri gerakan deklarasi Jogja Independen di pinggir Kali Code, Yogyakarta, Maret 2016, lalu.
Meskipun menolak dicalonkan sebagai salah satu kandidat, tapi Busyro menegaskan ia akan ambil bagian dalam gerakan itu dengan harapan Yogya mendapatkan calon wali kota yang benar-benar pro-rakyat, independen, dan tak dipengaruhi kepentingan partai.
"Dimulai dengan kampanye yang antisuap, antimahar, dan antipemodal-pemodal besar yang arahnya untuk mempengaruhi calon wali kota terpilih," ujarnya.
Baca Juga: Aura Kekuasaan Jokowi Meredup, Ini Dua Indikatornya
Busyro menuturkan, pihaknya berkomitmen mendukung gerakan tersebut bersama tokoh lain dalam deklarasi Jogja Independen itu, antara lain sineas Garin Nugroho, tokoh monolog Butet Kartaredjasa, serta sejumlah praktisi nonpartai dari Yogyakarta.
Sementara itu, Presiden RI Joko Widodo menilai, demokrasi di Indonesia sudah kebablasan. Dikutip dari Republika.co.id, dia menilai demokrasi kebablasan di Indonesia telah membuka peluang terjadinya praktik artikulasi politik yang ekstrem, seperti liberalisme, radikalisme, fundamentalisme, sektarianisme dan terorisme.
"Ada yang tanya ke saya, apakah demokrasi di Indoenesia sudah kebablasan, saya jawab, ya demokrasi kita sudah kebablasan," ujar Jokowi saat menghadiri acara Pengukuhan dan Pelantikan Ketua Umum beserta jajaran pengurus DPP Partai Hanura di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat, Rabu (22/2).
Baca Juga: Tanda-Tanda Kiamat: Cuek, Tak Punya Malu, Orang Tak Pantas Ditokohkan tapi Ditokohkan
Jokowi mengatakan, penyimpangan praktik demokrasi itu nyata. Seperti yang dapat dilihat saat ini, kata dia, banyak sekali ujaran kebencian, fitnah, saling memaki, dan menghujat.
"Seperti kita lihat saat ini, ada politisasi SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), ini harus kita ingatkan, hindari, Banyaknya kebencian, fitnah, saling memaki, menghujat yang kalau kita teruskan bisa menjurus pada pecah belah bangsa kita," kata Jokowi.
Tetapi, ia juga meyakini demokrasi kebablasan ini menjadi ujian yang bisa menguatkan kerekatan bangsa. Dengan catatan, ujian itu nantinya bisa dilalui dengan baik.
Baca Juga: Busyro Muqoddas Sebut KPK Lumpuh di Era Jokowi
"Kalau bisa kita lalui dengan baik akan menjadikan kita dewasa, semakin matang, tahan uji. Bukan justru melemahkan," ujarnya. (tempo.co/republika.co.id)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News