SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Mohammad Angga, warga Wisma Tirto Agung di Kelurahan Gunung Anyar Tambak yang masuk wilayah konservasi, mengaku menyesal dengan opsi solusi pemkot atas 99 persil rumah di kawasan Pamurbaya. Menurutnya, solusi itu merugikan warga.
Hal itu ia sampaikan dalam hearing di Komisi A, DPRD Kota Surabaya Rabu (8/3). Dikatakan Angga, ia dan pemilik bangunan di Wisma Tirto Agung ingin tetap ingin bisa tinggal di rumah mereka masing-masing.
Baca Juga: Warga Pamurbaya Ngeluruk DPRD Jatim, Tuntut Keadilan
“Kami ingin bisa tetap tinggal di sini, kami ingin tetap jadi warga Surabaya. Kalau pemkot akan mengganti rugi lahan dan bangunan kami, apa yakin kami bisa membeli rumah lagi, terlebih harga rumah di Surabaya saat ini sudah melonjak tinggi,” ucap Angga yang sudah empat tahun tinggal di kapling Wisma Tirto Agung.
Menurut Angga, sejarahnya seluruh warga di sana adalah mereka ingin punya rumah di Surabaya yang layak huni. Jika mereka akhirnya harus digusur meski diberi ganti rugi, tidak menjamin mereka akan mendapatkan hunian baru yang layak.
“Yang membuat kami bertanya-tanya, kami sudah menempati rumah kaplingan di sini empat hingga lima tahun. Kenapa baru sekarang kami diusik. Kenapa baru sekarang saat kami sudah terlanjur cinta dengan hunian kami,” ucap Angga.
Baca Juga: Lahan di Tepi Pamurbaya Marak Diperjualbelikan, Dewan Minta Batas Tegas Konservasi
Lebih lanjut, ia menyebutkan, jika lahan di sana akan dipakai untuk hutan konservasi, maka tidak memungkinkan. Tanah di sana sudah diuruk dengan material yang bermcam-macam. Ia pesimis akan bisa dikembalikan menjadi tanah layak tanam.
“Saya saja lahan 10 kali 20 meter saja butuh nguruk 60 dumb truck. Tanahnya gambut, jadi ambles terus. Kalau ditanami bakau ya harus sangat dalam,” kata Angga.
Ia meminta pemkot agar lebih bijak. Alasan yang tidak diterima warga dalam penertiban kawasan pamurbaya adalah tidak adanya batas.
Disampaikan Angga, saat ada Dinas Pengolaan Bangunan dan Tanah melakukan survei di perumahan kavling, mereka mengaku bahwa batas fisik di sana hilang.
“Pemkot berkilah menentukan batas konservasi dari titik koordinat konservasi, saat kita tanya ternyata patoknya hilang. Apa itu lalu bisa jadi acuan kita penggusuran kami, padahal bukti otentiknya belum ketemu,” ucap Angga.
Wakil Ketua Komisi A DPRD Surabaya, Adi Sutarwijono mengatakan, untuk mengurai persoalan bangunan di Kawasan Lindung, pemerintah kota akan menelusuri ihwal jual beli tanah.
Pasalnya, pihaknya menerima dua dokumen yang berbeda. Salah satu dokumen yang dikeluarkan pengembang memiliki keterangan membolehkan untuk rumah tinggal, sementara dokumen lain yang berasal dari kelurahan, tak ada keterangan tersebut.
“Makanya kita gelar pertemuan lagi, siapa yang menambahkan keterangan boleh untuk tempat tinggal itu,” kata pria yang akrab disapa Awi.
Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Surabaya Eri Cahyadi mengatakan penetapan batas itu dilakukan oleh Bappeko. Mengapa pemkot menggunakan titik koordinat, itu dilakukan karena pengalaman banyaknya oloran patok.
“Kita pernah pakai patok ternyata malah banyak terjadi oloran. Kalau pakai koordinat maka sudah nggak bisa diolor lagi,” kata Eri. (lan/ros)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News