Tafsir An-Nahl 110: Tuhan Mengharap Muslim Pro Ahok Bertobat

Tafsir An-Nahl 110: Tuhan Mengharap Muslim Pro Ahok Bertobat FOTO ILUSTRASI: Deklarasi ustadz kampung untuk mendukung Ahok-Djarot.

Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .   

Tsumma inna rabbaka lilladziina haajaruu min ba’di maa futinuu tsumma jaahaduu washabaruu inna rabbaka min ba’dihaa laghafuurun rahiimun (110).

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

Ayat studi ini dibuka dengan kata "tsumma", yang artinya "kemudian" atau "lalu" atau "selanjutnya". Tsumma, dalam bahasa arab disebut huruf "atahf" atau kata sambung. Ada varian terkait durasi waktu pada masing-masing huruf athaf. Gampangnya, kita pilah tiga: Fa, Tsumma dan Wa.

Jika pakai huruf "Fa", maka jarak waktu antara perbuatan, kejadian pertama dan kedua cukup dekat, bahkan berurutan dan langsung. Misalnya "Zarany Ahmad fa Ali", Ahmad nyambangi aku, (langsung) disusul Ali. Jarak dekat dan berurutan ini disebut faedah "Ta'qib Fawry". Jika menggunakan kata Tsumma, "Zarany Ahmad tsumma Ali", maka jarak kedatangan Ali agak lama setelah kedatangan Ahmad. Ini disebut "Ta'qib Tarakhy". Dan jika pakai Wa, "Zarany Ahmad wa Ali", maka keduanya terkesan datang bersamaan. Ini disebut faedah "jam'u", atau penggabungan.

Dari kata "tsumma" terbaca, bahwa pesan ayat kaji ini punya kaitan erat dengan ayat-ayat sebelumnya. Paling nyata adalah persoalan ikrah (intimidasi, pemaksaan) yang tertera pada ayat 106, di mana latar belakang historiknya menyangkut beberapa sahabat yang disiksa habis-habisan oleh orang-orang kafir pada awal Islam dilaunching. Mereka dipaksa meninggalkan Islam. Ada yang tegas menolak, meski nyawa melayang dan ada yang terpaksa menurut, tapi hanya lahiriahnya saja. Nah, mereka yang terpaksa menurut inilah yang menjadi persoalan, terkait pesan ayat studi.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

Pesan ayat studi ini semacam peringatan, bahwa barang siapa yang berhijrah setelah difitnah, ditindas dan disiksa, lalu berjihad di jalan Allah dan bersabar, maka sesungguhnya Tuhan itu maha pengampun dan penyayang. Oleh para ulama', ayat ini difahami demikian:

Pertama, ayat ini sebagai nasikhah, merevisi pesan ayat 106 yang isinya membenarkan seorang muslim melakukan tindakan kekufuran saat dipaksa dan diancam nyawanya jika melawan. Jelasnya, tidak boleh menuruti. Solusinya harus berhijrah, meninggalkan tempat tinggalnya demi mengamankan keimanan. Dari pemahaman ini, alasan terpaksa melakukan kekufuran tidak dibenarkan lagi. Tidak boleh dituruti meskipun hanya pura-pura, meskipun hati tetap beriman. Andai mati karena melawan, maka itu lebih disukai Tuhan, mati dalam keadaan membawa iman, husnul khatimah dan surga tempatnya.

Pertimbangan lain adalah, bahwa orang-orang kafir itu tidak bisa dipercaya, baik perkataan, apalagi janjinya. Jangankan janji kepada sesama manusia, kepada Tuhan saja tidak mengindahkan, bahkan mendurhakai. Mereka sudah terbiasa mengingkari Tuhan, sehingga sangat mungkin janjinya diingkari setelah muslim yang dipaksa menuruti. Artinya, sama sekali tidak ada jaminan keselamatan setelah melakukan kekufuran. Maka, wajib memilih yang pasti, yaitu janji Allah SWT yang memberi surga bagi siapa saja yang menjaga iman, apapun risikonya.

Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana

Kedua, ayat ini berbicara hijrah dan beda bahasan dengan ayat 106 sebelumnya, sehingga tidak menasikh dan tidak pula merevisi. Indikatornya adalah kata hijrah (hajaru) yang menunjukkan sudah adanya syari'at hijrah. Dengan syari'ah hijrah menunjukkan keadaan umat Islam di Makkah sudah lumayan kuat dan lumayan punya banyak pengikut.

Sedangkan kondisi umat Islam pada ayat 106 ini turun sungguh sangat lemah, sedikit dan tertindas, sehingga tidak ada yang bisa diperbuat untuk menghindar dari kekejaman orang-orang kafir. Andai dipaksa lari dan berhijrah, selain belum ada perintah hijrah dari Tuhan, pastilah mudah tertangkap, sehingga keadaan makin buruk. Jadinya, kedua ayat tersebut eksis dan tidak perlu ada naskh. Ayat 106 utuk keadaan terpaksa dan ayat studi ini untuk perilaku setelah hijrah.

Jika diaktualkan untuk menyorot fikih al-ikrah, teologi rudapaksa, maka bagi umat Islam diberi pilihan saat keadaan terpaksa dan nyawa ancamannya:

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok

Pertama, dianjurkan melawan dengan cara yang bijak dan pintar atau mencari jalan keluar sebisa-bisanya. Andai ada risiko kematian karena menempuh jalan ini, maka Allah SWT meridhai dan surga imbalannya. Dan kedua, menuruti paksaan itu dengan tetap tangguh beriman. Pada pilihan ini, hanya dia dan Tuhan yang mengerti.

Pandangan terakhir yang menunjuk nonnaskh ini didukung oleh riwayat Ibn Abbas terkait diri Ibn Abi Sarh. Dialah Abdullah ibn Sa'd ibn Abi Sarh, seorang muslin yang murtad, keluar dari Islam dan bergabung dengan orang-orang kafir. Ibn Abi Sarh juga pernah lari ke Mesir dan bermukim di sana beberapa waktu. Kesadaran timbul, lalu mengirim surat kepada Rasulullah SAW untuk kepentingan keimanan. Tapi sayang, karena rayuan teman-temannya, dia kembali lagi bergabung dengan orang-orang kafir dan tetap tidak menunjukkan sikap kebersamaan.

Pada peristiwa penaklukan kota Makkah (fath Makkah), Nabi menjatuhkan vonis mati baginya: "Bunuh dia". Dari ultimatum itu, kesadaran berislam timbul kembali, lalu menyerahkan diri kepada Utsman ibn Affan dan meminta perlindungan. Utsman menerima keislaman ibn Abi Sarh dengan penuh kewaspadaan. Lalu menyampaikan hal tersebut kepada Rasulullah SAW. Keputusan akhir, Rasul menerima pertobatan Ibn Abi Sarh. Ayat ini turun mengenai penerimaan Tuhan atas keislaman Ibn Abi Sarh.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Hikmah yang bisa dipetik adalah, bagi kaum muslimin yang saat ini masih punya pandangan bahwa muslim itu boleh-boleh saja mendukung pemimpin nonmuslim, boleh bergabung, boleh memilih Ahok mohon berpikir ulang dan merenungi apa yang diperbuat secara tenang, ikhlas, bersih tanpa pretensi apa-apa. Cobalah dihayati siratan kisah Ibn Abi Sarh ini. Apa sih manfaatnya mendukung nonmuslim bagi agama? Apa sih keuntungann bagi keimanan? Apa pula kemaslahatannya bagi ketaqwaan? Pertobatan politik berdasar hidayah masih terbuka luas di hadapan Tuhan. Kemudian ditunjukkan dengan langkah nyata sebagai bukti, yakni bergabung bersama umat Islam dan memilih pemimpin sesama muslim.

Kurang jahat apa Ibn Abi Sarh yang keluar dari barisan islam, lalu sadar dan bertobat. Nabi yang pernah menvovis mati-pun menerima pertobatannya dan Tuhan-pun mengampuni. Kini, di sono Allah SWT membuka tangan-Nya dan mengimbau orang-orang islam yang masih pro Ahok (nasrani) agar bertobat dan segera bergabung bersama umat Islam, umat yang mengimani Allah SWT sebagai Tuhan satu-satunya, bukan umat yang mendurhakai Allah dan menyekutukan-Nya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO