Al-Nahl 113-114: Hak Takmir Masjid Tidak Menshalati Jenazah Munafik

Al-Nahl 113-114: Hak Takmir Masjid Tidak Menshalati Jenazah Munafik

Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .   

Walaqad jaa-ahum rasuulun minhum fakadzdzabuuhu fa-akhadzahumu al’adzaabu wahum zhaalimuuna (113). Fakuluu mimmaa razaqakumu allaahu halaalan thayyiban wausykuruu ni’mata allaahi in kuntum iyyaahu ta’buduuna (114).

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

Dua ayat studi ini punya latar belakang historis yang cukup kompleks. Dari orang-orang kafir yang memusuhi Nabi, orang-orang munafik yang bermuka dua yang sangat merepotkan Nabi dan umat islam. Lalu mereka diazab karena kezaliman yang mereka lakukan.

Terhadap ayat 114, Abu Abdillah al-Qurthuby menurunkan paparan kisah terkait sasaran ayat ini. Bisa kepada orang beriman atau umum. Lebih jauh al-Qurthuby menjelaskan, bahwa ketika orang-orang kafir keterlaluan menjahati Nabi, rupanya tidak ada lagi upaya lahiriah yang bisa menghentikan kejahatan mereka itu kecuali doa dan kutukan. Nabi Muhammad SAW berdoa agar mereka ditimpa kelaparan berat.

Spontan doa dikabulkan dan singkat cerita, kekeringan, krisis melanda seantero Makkah selama tujuh tahun. Diriwayatkan, mereka hingga makan tulang dan bangkai.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

Setelah tahu rasa dan sadar, para pembesar kota Makkah pimpinan Abu Sufyan tunuk-tunuk sowan kehadirat Nabi dan memohon:

"Hai Muhammad, engkau datang membawa ajaran silatur-rahim dan memaaf. Engkau sudah menyaksikan sendiri bahwa kaum-mu sungguh sengsara dan banyak yang mati kelaparan. Ya, kami sadar, ini adalah adzab atas kaum lelaki yang memusuhi kamu. Tapi bagaimana dengan para wanita dan anak-anak. Tolong berdoalah kepada Tuhanmu untuk kebaikan mereka". "Fa ud'u Allah lahum".

Lalu, Nabi berkenan mendoakan untuk mereka dan keadaan berubah, membaik dan kembali seperti semula. Nabi pun mengirim banyak makanan untuk mereka. So, apakah mereka, lantas mau memeluk islam?. Komentar al-Qurthuby di ujung kisahnya "wa hum ba'd, musyrikun". Setelah keadaan normal, mereka tetap musyrik seperti sedia kala.

Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana

Komentar pakar begini: Pertama, bahwa Nabi sama sekali tidak kecewa soal kemusyrikan mereka meskipun sudah dikutuk, diazab dan ditolong. Kedua, bahwa nabi sudah berbuat, sudah melakukan yang terbaik. Sudah berupaya dengan banyak cara, termasuk mengajak secara baik, merangkul, menyayangi, menyantuni, bahkan dengan cara yang sangat menyengsarakan. Ketiga, semua itu cara yang dibenarkan dalam dakwah islamiah dan Tuhan mengizinkan, termasuk perang. Hanya saja dibutuhkan kearifan dalam memilih kebijakan mana yang paling tepat. Keempat, kewajiban kita hanyalah berbuat yang terbaik, bukan pada hasil. Sebab hidayah mutlak hak prerogatif Tuhan.

Beranikah kalian berkata-kata buruk kepada Nabi, bahwa Nabi tidak manusiawi, tega, intoleransi, jahat, tidak rahmatan li al-alamin?

Pernah ada jenazah dihadapkan ke baginda Nabi, mohon untuk dishalati. Nabi bertanya: "adakah mayit ini punya utang?". Para sahabat menjawab: "Ya". Nabi bersabda: "Shalatilah sendiri temanmu itu".

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok

Nabi tidak mau menshalati dan baru berkenan setelah ada sahabat yang bertanggungjawab melunasi. Apakah kalian menuding Nabi sebagai pempimpin yang intoleran, provokatif, tidak menyayangi sahabat sendiri yang muslim?

Apa yang dilakukan Nabi bukanlah sebuah perbuatan provokasi, intoleransi, tidak rahmatan lil alamin, tapi sebagai pelajaran, pendidikan, peringatan sekaligus sanksi moral kepada umat, bahwa jangan main-main dengan utang, jangan mudah utang, karena pertanggungjawabannya di akhirat sangat berat. Itulah yang dibidik oleh Nabi.

Utang sangat berkaitan dengan amal ibadah. Utang yang tidak terbayar besok di akhirat harus dibayar dengan amal baik. Jika tidak mungkin, maka keburukan si piutang dibebankan kepada yang ngutang. Bisa jadi defisit, lalu masuk neraka. Itulah yang diwanti-wanti Nabi. Itulah hakekat nasihatnya. Di sini, Nabi tidak mau terlibat dengan utang seseorang kelak di akhirat nanti.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Betapa hebatnya syariat islam menorehkan hukum tajhiz al-mayit, mengurus, memandikan, mengkafani, mensalati, mengubur janazah sebagai fardhu kifayah. Fardhu kifayah artinya kewajiban universal yang mengizinkan dikerjakan oleh perwakilan. Salah satu hikmahnya adalah bisa dipakai untuk media dakwah. Dan sadarlah, Nabi memakai itu.

Jadi, boleh saja, bahkan bagus ada aturan daerah, kebijakan Takmir Masjid tidak mengizinkan masjid yang menjadi kekuasaannya dipakai menshalati mayit yang tidak shalat, meski dia islam. Itu hak mereka dan agama membolehkan. Itu juga salah satu strategi dakwah yang pernah dilakukan Nabi meski tidak persis. Sanksi itu cukup fair dan adil. Ketika dia hidup dan sehat wal afiat saja tidak mau shalat, tidak mau ke masjid, kok enak saja ketika sudah mati minta dishalati orang banyak di masjid.

Hal demikian tidak berarti melarang menshalati mayit muslim, tapi tetap wajib dishalati oleh sebagian orang terdekat saja, seperti keluarga, pak mudin, agar fardhu tetap ditunaikan dan umat tidak berdosa. Andai semua orang islam, kiai, ustadz, tokoh agama memahami dakwah di balik fardhu kifayah ini, penulis yakin islam lebih punya martabat dan tidak disepelekan. Ada gereget dakwah yang efektif selain tetap menebar "Rahmatan Lil'alamin" secara tepat dan proporsional.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Di daerah, di sebagian desa ada komitmen macam ini dan nyatanya bisa memacu umat islam lebih aktif shalat. Berdalih "rahmatan lil alamin" tanpa ada tindakan kebajikan yang nyata, hanya kemunafikan belaka.

Kini persoalannya ada pada kriteria mayit yang bagaimana yang layak ditolak untuk dishalati oleh umat umat di masjid. Jika ijtihad pengurus takmir masjid sepakat bahwa pendukung pemimpin kafir itu sebagai munafik dengan dasar nash al-qur'an dan al-Hadis, lalu apa salahnya? Toh itu ijtihad yang berdasar dan dibenarkan. Soal anda tidak setuju dan punya pemikiran lain, itu hak anda dan pendapat anda sesama sekali tidak bisa menafikan pendapat mereka.

Soal sarat kepentingan politik, itu sangat relatif. Bukankah syariat islam wajib dijadikan dasar bagi setiap muslim yang bertindak, beribadah, berbisnis, termasuk berpolitik? Hanya penguasa kafir saja yang melarang orang islam melarang mendasari tindakannya dengan syariat islam. Itu muslim beneran. "Ulaika hum al-mukminun haqqa".

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Atau kita balik, apakah pendapat anda yang mengecam kebijakan takmir tersebut juga bersih dari kepentingan politik? Anda lari dari politik muslim pro-muslim, terjerumus masuk ke politik muslim pro-nonmuslim. Allah SWT tidak pernah menyuruh umat islam mengangkat pemimpin nonmuslim, tapi nash yang melarang, yang mengutuk, yang memvonis sama dengan dengan mereka sangatlah banyak.

Lepas dari dasar Nash dan murni berdasar rasa, nurani, natural, bahwa seorang muslim memilih pemimpin muslim itu alami, sama dengan orang nasrani memilih pemimpin nasrani, sama dengan rakyat Papua memilih pemimpin putra asli Papua. Tidak ada yang dilanggar, baik demokrasi, agama, maupun undang-undang. Tapi kalau muslim memilih pemimpin nonmuslim, di samping tidak alami, rasanya ada nafsu mengintervensi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO