Masjid Jami' Nurul Huda, Masjid Tertua di Bojonegoro Peninggalan Ki Ageng Wiroyudo

Masjid Jami

BOJONEGORO, BANGSAONLINE.com - Kabupaten ternyata memiliki peninggalan bersejarah berupa sebuah masjid. Adalah masjid Jami' Nurul Huda yang terletak di Desa Cangaan, Kecamatan Kanor, . Masjid itu adalah salah satu peninggalan yang merekam jejak perkembangan Islam di wilayah timur .

Pada kusen pintu ruang utama masjid tertulis bacaan angka tahun “Assahri Muharrom 1262” artinya “pada bulan Muharrom 1262 (Hijriyah)”. 1262 Hijriyah jika dikonversi ke tahun Masehi maka jatuh sekitar tahun 1847. Namun, di tahun itulah merupakan renovasi pertama yang dilakukan oleh seorang setelah ki Ageng Wiroyudo.

Baca Juga: Deklarasi Relasi Jamur, Ketua Dekopinwil: Jangan Sampai Jatim Dipimpin Selain Khofifah

Sejatinya, masjid ini dibangun pada tahun 1775 Masehi sehingga diperkirakan usianya kini sudah mencapai 276 tahun. Bahkan masjid Jami' Nurul Huda kini sudah terdaftar dalam BPCB Jawa Timur dengan nomor 5/BJG/2000 dengan koordinat UTM 49M 609071E 9210610N.

"Menurut penuturan nenek moyang kami, masjid ini dahulu dibangun oleh Ki Ageng Wiroyudo, kalau nama arabnya Abdul Hamid. Beliau adalah seorang patih dari kerajaan Solo," jelas salah satu pengurus masjid Jami Nurul Huda, Abdul Hakim, Senin (29/5/17).

Menurutnya, Ki Ageng Wiroyudo bisa sampai ke Desa Cangaan menggunakan perahu. Sebab, Desa Cangaan letaknya persis di pinggir Bengawan Solo.

Baca Juga: Peletakan Batu Pertama Masjid Darussalam Trucuk Bojonegoro, Khofifah Bahas soal Perdamaian Gaza

"Dahulu ceritanya beliau melarikan diri dari kejaran Belanda, kemudian berhenti di Desa Cangaan dan menetep hingga membangun sebuah masjid untuk menyebarkan agama islam di sini," paparnya.

Kekunoan yang tertinggal masjid itu adalah lantai dan kusen pintu, selebihnya hasil renovasi beberapa tahap pengembangan masjid Jami’ Nurul Huda. Lantai tegel dan ukiran pada tinggalan kuno masih menunjukkan masa gaya abad ke 18-19 M. Selain itu, benda-benda kuno seperti peti kayu, keris, tombak juga masih ada.

Baca Juga: Berangkatkan Jalan Sehat Hari Koperasi di Bojonegoro, Khofifah: Penggerak Ekonomi Kerakyatan

"Masjid ini juga mempunyai keistimewaan lain, yaitu karpet merah peninggalan presiden Indonesia pertama yakni Ir Soekarno. Saat itu beliau sedang berkunjung ke sini. Tapi karpet merahnya sudah tidak kita gunakan," ungkapnya.

Karpet berbahan sutera itu kini disimpan di peti kayu yang juga peninggalan Ki Ageng Wiroyudo.

Kata dia, banyak sekali warga luar desa maupun kecamatan yang berkunjung ke masjid Nurul Huda, baik untuk sekedar melihat bangunan kuno maupun melakukan ibadah.

Baca Juga: Baru Sebulan Musim Kemarau, Satu Desa di Bojonegoro Sudah Terdampak Kekeringan

"Dulu sebelum dipugar, masjid tersebut atapnya terbuat dari alang-alang dan daun jati," jelasnya.

"Awal berdirinya masjid itu dulu berukuran 10 x 11 meter, dengan tinggi 7,5 meter, terdiri dari rangka kayu jati yang diambilkan dari hutan di sebelah selatan Desa Sumberrejo. Atap masjid terbuat dari daun-daun ilalang kering yang disusun rapi. Kondisi seperti ini berjalan kira-kira hingga 50 tahun," tutupnya.

Mengenal Ki Wiroyudo

Baca Juga: Ratusan Jemaah MCA Bojonegoro Gelar Salat Iduladha dan Sembelih Hewan Kurban Hari ini

Ki Wiroyudo dikenal juga dengan nama Kyai Rowudo dan Kyai Suluk. Namanya berubah menjadi Abdul Hamid setelah ia menunaikan ibadah haji. Ia lahir pada tahun 1681 Jawa atau 1740 Masehi. Ia adalah prajurit dari Solo yang melarikan diri dari kejaran tentara Belanda, ia mengarungi arus sungai Bengawan Solo dengan perahu getek hingga sampai di desa Cangaan. Perjalanan Ki Wiroyudo menyusuri arus Sungai Bengawan Solo tidak dilakukan sendirian, tetapi bersama keluarga dan teman-temannya, di antara dari mereka adalah Daulat, Sibah, Ki Martoyudo dan Seco.

Tidak semuanya memilih Cangaan sebagai tempat tinggal, hanya Ki Wiroyudo dan Ki Martoyudo. Ada yang memilih tinggal di Desa Kedung Bondo, Desa Glagah Sari, dan Desa Kenongo Sari. Ki Wiroyudo menikah dengan Karimah atau dikenal juga dengan nama Biyung Budri, anak dari Kyai Tibah yang juga merupakan pamannya sendiri.

Dari Kyai Tibah juga, Ki Wiroyudo belajar tentang ilmu agama. Dari pernikahan dengan Karimah, Ki Wiroyudo dianugerahi sembilan anak, yaitu Nyai Budri, Kafidin Wirodiwiryo, Kariman Cokroyudo, Samidin Bendul Noto Menggolo, Nyai Setroyudo, Kabirah, Khatijah, Kartinah, dan Cawek.

Baca Juga: Pasar Desa Pungpungan Bojonegoro Dihebohkan Penemuan Mortir, Ternyata...

Kehadiran Ki Wiroyudo menambah semangat atas tersebarnya syiar Islam di Desa Cangaan sekaligus meringankan beban Kyai Tibah dan Kyai Setro Sukun. Ki Wiroyudo, atas dorongan Kyai Tibah, adalah pemrakarsa pembangunan masjid di Cangaan. Ia juga mampu menghimpun masyarakat desa untuk bergotong royong membangun masjid yang kelak akan menjadi masjid tertua di Kabupaten .

Ki Wiroyudo hidup hingga usia 116 tahun dan makamnya terletak di Kramat Mojo. Namun hingga kini tidak diketahui di mana letak makam Kramat Mojo. (nur/rev)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Lihat juga video 'Perahu Penyeberangan Tenggelam di Bengawan Solo, Belasan Warga Dilaporkan Hilang':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO