SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Fenomena tindakan main hakim sendiri (eigenrechting/lynching) belakangan ini sangat memprihatinkan. Terlebih tindakan main hakim sendiri yang kerap menyasar kelompok minoritas maupun individu-individu yang dituduh sebagai pelaku tindak kriminalitas.
Oleh sebab itu, tindakan main hakim sendiri tersebut hendaknya tidak dilihat semata-mata pelanggaran hukum sebagaimana pada umumnya. "Tingginya frekuensi tindakan main hakim sendiri yang kerap terjadi belakangan ini merupakan ancaman serius terhadap sistem hukum itu sendiri. Hal ini akan menggerogoti wibawa hukum dan aparat penegak hukum," ujar Anggota Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor M Alfarisi Fadjari melalui rilisnya, Rabu (9/8/2017).
Baca Juga: Napak Tilas Jejak Santri, Ratusan Banser di Jombang Kirab Merah Putih 300 Meter
Alfarisi mengatakan, berdasar data terakhir Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SPNK) saja, jumlah insiden main hakim sendiri di 34 provinsi sepanjang Maret 2014 sampai dengan Maret 2015 sebanyak 4.723 insiden, dengan jumlah korban tewas 321 jiwa.
“Data tersebut ditambah dengan fakta-fakta brutalitas dalam insiden-insiden yang terjadi belakangan ini semestinya cukup untuk menyadarkan kita bersama bahwa tindakan main hakim sendiri ini adalah persoalan serius yang butuh penanganan segera," katanya.
Oleh sebab itu, LBH PP GP Ansor mendorong lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk segera merespons dengan mengevaluasi serta merevisi norma hukum dan sanksi hukum, baik melalui legislasi maupun penemuan hukum (Rechtsvinding) agar dapat membuat efek jera (detterent effect).
Baca Juga: Gandeng LBH Ansor dan KPAI, Pemkot Mojokerto Gelar Penyuluhan Hukum
Menurut Alfarisi, tindakan main hakim sendiri, terlebih yang melampaui batas dan yang tidak berperikemanusiaan, jika terus dibiarkan maka akan semakin merusak keadaban publik, serta berpotensi menambah kerawanan sosial di masyarakat dalam bentuk konflik yang berkepanjangan. "Kami juga mendorong warga negara yang patuh hukum seyogyanya mengambil peran lebih aktif dalam mencegah terjadinya tindakan main hakim sendiri dan tumbuhnya bibit-bibit konflik sosial," kata Alfarisi.
Selanjutnya, pihaknya menyerukan, khususnya kepada seluruh advokat dan paralegal LBH GP Ansor, juga kepada seluruh pengurus dan kader Ansor dan Banser untuk secara pro-aktif menjadi mediator dan rekonsiliator konflik di masyarakat, serta berkoordinasi dan bekerja sama dengan Kepolisian Republik Indonesia guna mencegah terjadinya tindakan main hakim sendiri demi mewujudkan keadaban publik.
Sementara itu, Fahmi Syafiuddin Ramadhany, SH, Koordinator Departemen Hukum dan Advokasi. Pimpinan Cabang Gerakan Pemuda Ansor Kota Surabaya menyatakan, pihaknya siap memberikan advokasi dan pendampingan hukum kepada pihak-pihak yang menjadi korban tindakan penghakiman massa.
Baca Juga: Roadshow ke-3 Literasi Keuangan dan Pasar Modal Syariah GP Ansor Jatim Digelar di Tuban
Fahmi mengungkapkan, peristiwa yang menimpa M. Azhara atau Zoya di Bekasi yang dibakar massa karena dituduh mencuri amplifier mushola tidak boleh lagi terjadi, apalagi di Surabaya. Menurutnya, apa yang dialami Zoya sungguh sangat diluar batas peri kemanusiaan karena korban dianiaya sebelum dibakar. Padahal dugaan tindak pencurian itu belum tentu terbukti, dan harusnya dibukti lewat proses hukum.
"Apapun alasannya, tindakan main hakim sendiri tidak dapat dibenarkan. Tersangka pelaku kriminal sekalipun punya hak untuk membela diri lewat proses peradilan. GP Ansor akan melakukan edukasi agar masyarakat sadar hukum dan tidak melakukan perbuatan melanggar hukum seperti aksi penghakiman massa," pungkas Fahmi. (mdr)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News