SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Biaya kontestan electoral di Jawa Timur selalu tinggi berkisar antara Rp 500 hingga Rp 900 miliar. Salah satunya dipicu oleh adanya praktik bandar (broker) suara dan vote buying di beberapa wilayah, seperti di Dapil 2, 3, 4 dan 11 yang mayoritas rudal area masih menjadi wilayah rawan jual beli suara. Sebaliknya hanya di kawasan urban seperti Dapil 1 dan 5, bandar suara sulit berkembang.
Hal ini diungkapkan pengamat politik asal Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Surokim Abdussalam. Menurutnya, praktik money politic berlangsung lama bahkan sudah turun temurun dan menjadi kultur (budaya) di beberapa wilayah rawan. Di antaranya di daerah Pandalungan dan Madura yang dinilainya bisa berlangsung masif, sistemik dan terstruktur.
Baca Juga: Penuhi Nadzar Kemenangan Khofifah-Jokowi, Kiai Asep Umrohkan Tim 35 Kabupaten
"Tidak aneh jika rekap suara bisa menjadi 120%, daftar pemilih tidak hadir nol, dan juga hasil suara 100% untuk calon tertentu," ungkap Surokim, Selasa (19/9).
Praktik ini simpulnya tersebar kepada banyak bandar dan sulit dieleminasi. "Praktik vote buying biasanya dari simpul ini dengan modus yang rapi. Relasi vote buying dan bandar di beberapa kawasan dianggap menguntungkan karena pemilih mendapat keuntungan ekonomi secara langsung dan saling menjaga," imbuh Surokim.
Apalagi masyarakat juga semakin permisif dan melakukan pemahaman terhadap praktik politik karena mendapat sharing keuntungan ekonomi secara langsung dan biasanya tidak berkepentingan langsung dengan hasil pemilu.
Baca Juga: Janji Temui Agus, Gubernur Khofifah Malam Ini Kembali ke Surabaya
"Praktik vote buying dan broker suara Pilkada ini membuat biaya kontestasi elektoral di Jatim selalu tinggi. Akibatnya, hanya calon-calon yang memiliki modal ekonomi kuat yang sanggup dan bisa meraih kemenangan wilayah rawan itu," jelas peneliti senior dari Surabaya Survey Center (SSC) ini.
"Biaya mahal dan besar. Dan jika mencermati praktik ini perubahan suara itu semakin liar dan kadang tak terkendali tergantung siapa kandidat yang bisa membeli dengan biaya besar. Kadang bisa bertumpukan dan siapa yang bisa memberi lebih besar maka dia yang akan diuntungkan. Sulit mengeliminasi praktik ini dan jika berlangsung terus menerus maka akan menjadi kontraproduktif bagi demokrasi electoral di Jatim," sambungnya.
Ditegaskan Surokim, perlu extra policy, extra body dan juga pelibatan banyak pihak termasuk peran panwas dan TNI/Polri agar bisa membantu mengeleminasi praktik jual beli suara. "Butuh usaha extra mengeleminasi praktik ini dan sepertinya masih sulit dieleminasi," pungkasnya.
Baca Juga: Loyalis Pakde Karwo Deklarasi Dukung Jokowi-KH Ma'ruf Amin di Jatim
Sebelumnya, Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat) Jawa Timur juga mewanti-wanti potensi aliran dana dari Bandar narkoba mengalir dalam Pilgub Jatim. Mengingat, tingginya biaya politik yang harus ditanggung oleh kandidat dalam pemilihan langsung. Terlebih masih tingginya money politic di masyarakat. Kebutuhan anggaran itu bisa jadi dimanfaatkan oleh Bandar narkoba atau kaki tangannya untuk membantu pendanaan kandidat.
“Kami mewanti-wanti, jangan sampai dana dari Bandar narkoba mengalir ke rekening kampanye kandidat. Hal itu selain bagian dari money laundry juga bisa mempengaruhi kebijakan kandidat bila mereka terpilih,” tegas Ketua DPD Granat Jatim, Arie Soeripan, belum lama ini. (mdr/rev)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News