Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie M.Ag. . .
Subhaana alladzii asraa bi’abdihi laylan mina almasjidi alharaami ilaa almasjidi al-aqshaa alladzii baaraknaa hawlahu linuriyahu min aayaatinaa innahu huwa alssamii’u albashiiru (1).
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
"Subhaana alladzii asraa bi’abdihi ... ". Konteks al-Isra' adalah audisi seorang hamba dengan sang Pencipta di tempat yang sangat luar biasa, lepas dari kebumian dan orbit keplanetan, Sidratul Muntaha yang super sakral. Bukan antara Tuhan yang Mengutus dengan orang yang diutus (rasul) dalam konteks kebumian.
Untuk itu, seluruh jabatan kebumian, meski itu jabatan tertinggi, jabatan sangat mulia dan religious harus ditanggalkan. Meski benar Muhammad SAW adalah nabi, adalah Rasul, tapi itu untuk gelar kebumian dan sosio keagamaan saja. Maka harus ditanggalkan ketika memasuki ruang "ketuhanan" yang jauh dan sangat jauh di luar orbit bumi.
Pada formasi itu, yang ada dalam diri seorang Muhammad SAW hanyalah hakekat diri, yakni ciptaan-Nya, hamba-Nya dan tidak lebih. Layaknya hakekat sebuah pangkat, sebuah gelar, gelar menjadi eksis dan prestisius terbatas hanya pada ruang gelar itu sendiri, dihormati, dan dipatuhi.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Kepangkatan militer hanyalah diberlaku di kalangan militer saja. Warga sipil tidak punya kewajiban patuh total kepada kepangkatan yang mereka rumus. Bahkan sang jenderal negeri ini kemarin ditolak masuk ke Amerika. Begitu halnya kepangkatan-kepangkatan duniawi lain.
Sisi lain, jabatan atau gelar itu hanya berefek kepada obyek sasaran di bawahnya saja, dalam artian tidak berefek ke atas, ke sang pemberi jabatan atau gelar itu sendiri. Jabatan menteri hanya elitis bagi departemen atau rakyat di bawahnya dan sama sekali tidak berarti bagi sang presiden yang memberi jabatan. Mentereng ke bawah dan sirna di atas.
Begitu kira-kira gambaran, mengapa dalam forum al-Isra', Muhammad SAW hanya dijabati dengan "abd" (hamba), jabatan alamiah yang origin dan eksis, tidak dijabati dengan jabatan buminya, jabatan sosio-keagamaannya yang "Khatam al-Anbiya' wa al-Mursalin".
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Dengan penggelaran "abd" tersebut, Muhammad SAW menjadi lebih tahu diri, bahwa dirinya tidak lebih dari seorang hamba belaka. Maka tidak ada alasan untuk berpongah nan congkak, meski dia sebenarnya punya sekian banyak kelebihan yang layak dipongahkan. Jadinya, pribadi Muhammad SAW makin sempurna dan makin tawadlu' pasca isra'.
Salah satu tanda kotornya jiwa seorang muslim adalah "gemar-gelo gelar". Gemar gelar, dia merasa bangga ketika gelarnya dihormati, disebut dalam forum, di hadapan publik. Sedangkan gelo gelar, dia merasa kecewa saat gelarnya tidak disebut di hadapan publik.
Anda yang ustadz atau kiai, lalu hati anda merasa kurang pas ketika tangan anda tidak dicium umat, atau kurang legowo ketika anda ditempatkan di bukan kursi kehormatan ketika menghadiri acara atau pingin duduk di kursi depan, maka itu tanda hati anda kurang bersih. Masih ada noda riya' terbersit di sana.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News