Terjemah Surat al-Ra’d: 25
25: Dan orang yang merombak perjanjian Allah sesudah diperteguhkannya, dan mereka memutuskan apa yang Allah perintahkan agar dihubungkan serta mereka membuat kerosakan di bumi, maka bagi mereka itulah laknat dan bagi mereka itulah seburuk-buruk tempat.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Tafsir
Setelah Tuhan membicarakan orang-orang ulul albab yang rela mematuhi segala perintah Allah dan menjauhi semua larangan, serta bersabar terhadap apa saja yang menimpa dirinya, kini Tuhan membicarakan orang-orang durhaka dengan siafat sebaliknya. Mereka ini manusia-manusia yang ingkar,“ al-ladzin yanqudlun ‘ahd Allah min ba’d mitsaqih”. Tidak berbuat baik sesama manusia dan memutus tali persaudaraan, “yaqtha’un ma amar Allah bih an yushal” dan merusak tatanan hidup dengan tindakan melanggar hukum dan kemaksiatan, yufsidun fi al-ardl”. Selanjutnya mereka akan dikutuk dan disiksa.
“ula’il lahum al-la’nah”. Laknat atau kutukan sama dengan hukuman atas pelaku perbuatan dosa. Di akhirat, laknat itu adalah siksa neraka, sedangkan di dunia, laknat itu adalah segala bentuk kenegatifan, keburukan menurut agama yang ditimpakan kepada seseorang atau bentuk keengganan Tuhan memberi rahmat kepadanya. Bentuknya bisa bermacam-macam, ada yang fisis dan nyata dan ada juga yang amat halus sehingga si terkutuk sama sekali tidak merasa dikutuk.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Laknat fisis umumnya berupa derita fisik yang menimpa, sehingga bisa dirasakan. Seorang penjual soto sangat sukses dan menjadi kaya, lalu pendapatannya surut perlahan-lahan dan hampir bangkrut. Dia sadar dan mengoreksi diri “apa yang salah dalam dirinya?”. Dikonsultasikan kepada kiai, lalu dinasehati: ”Mungkin kurang bersih, entah sisi apanya, barang kali ada hak orang lain yang kamu pakai?”. Penjual soto itu sadar, bahwa lahan yang digunakan berjualan ternyata masih campur hak milik dengan anak yatim keponakannya sendiri. Lahan itu dia pakai begitu saja tanpa memberi konpensasi yang layak. Orang Jawa menyebut kutukan tersebut sebagai kualat.
Umummnya orang melihat laknat hanya dari sisi lahiriah saja, seperti musibah, penderitaan, kebangkrutan, rejeki seret, sakit-sakitan dan lain-lain. Cara pandang macam itu benar tapi tidak mutlak benar. Sebab kondisi fisik yang buruk bisa jadi ujian Tuhan demi meningkatkan derajat keimanan dan kualitas ketaqwaan. Justeru laknat halus-lah sebagai laknat sejati, karena tidak ada unsur ujian sama sekali.
Yang dimaksud laknat halus, laknat samar (khafiyah) adalah laknat ketika seseorang jauh dari rahmat, kebajikan dan ketaqwaan. Orang itu terbiasa sekali melakukan perbuatan maksiat, bahkan diyakini sebagai tidak berdosa, sehingga terbiasa dan terus dijalani. Semisal penyanyi erotis, bergoyang prono, apalagi pelacur, germo yang terus beroperasi. Artis penebar maksiat di panggung terbuka tidak merasa bahwa dirinya dilaknat Tuhan, karena merasa baik-baik saja bahkan dapet duit banyak dari jualan maksiat itu. Ya, karena parameternya fisik. Kecuali setelah pinggulnya bengkak, payudaranya mbledos atau vaginanya membusuk, baru mungkin sadar kalau dirinya dikutuk.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Spesial Dolly yang merupakan arena pelacuran terbesar di Asia Tenggara dan hendak ditutup, bagi para pelacur, germo dan pengais uang terkait pasti menolak. Sebab penutupan dianggap mensirnakan rejeki dan matapencaharian. Mereka merasa apa yang dilakukan itu benar. Karena rumusannya material, tidak menyakiti orang lain, tidak merampas hak orang lain, bahkan memuaskan. Pandangan ini karena di otak mereka tidak ada agama dan di hati mereka tidak ada taqwa, meski mengaku sebagai orang beragama. Padahal, menurut agama apapun, melacur adalah perbuatan terkutuk dan dilarang. Bagi insan beragama, penutupan tersebut sejatinya adalah rahmat, karena menghentikan maksiat, sekaligus menyelamatkan mereka dari laknat.
Lebih Kuasa Uang daripada Tuhan
"Wafarihu bi al-hayah al-dun-ya, wa ma al-hayah al-dun-ya fi al-akhirah illa mata'". Berkali-kali Tuhan mengingatkan manusia agar tidak tegiur dengan kenikmatan dunia yang sesaat, tidak langgeng dan pasti berakhir. Berkali-kali Tuhan juga mengingatkan orang beriman agar tidak terjebak dalam kehidupan dunia. Berkali-kali Tuhan juga mengingatkan agar tidak bangga dengan simbol-simbol, pangkat-pangkat dunia. Semua itu justeru amanah yang pasti diminta pertanggungjawaban, tidak ada yang gratis dan harus dibayar di akhirat nanti. Semua pemburu jabatan pasti dan pasti menyesal di akhir nanti.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
Ya, hampir semua orang Islam sudah mengerti ini, sudah berkali-kali mendengar ini dari para kiai, ustadz dan penceramah. Semuanya juga mengerti, kalau nasehat itu benar-benar benar sebagai firman Tuhan Allah SWR, benar-benar benar sebagai sabda nabi Muhammad SAW. Ya, tapi bagi para pemburu jabatan, meski diancam-ancam dengan api neraka bagi siapapun yang curang, menyogok, membeli jabatan, tapi mereka biasa-biasa saja dan tidak menggubris. Tetap membeli, tetap menyogok demi dapet jabatan. Jika benar demikian, lalu kita nilai: “Kira-kira orang macam begini ini keimanannya sebarapa?"
Kenyataannya, ancaman Tuhan, ancaman nabi, kutukan kaum muslimin sejagad pun tidak digubris jika sudah masuk gelanggang pemburuan jabatan. Ternyata, uang lebih berpengaruh, lebih berkuasa atas diri orang-orang durhaka ketimbang Tuhan yang menciptakan uang. Jika Tuhan tersinggung, Dia bisa cemburu terhadap pengaruh uang yag di mana-mana telah menjadi pesaing-Nya, di mana-mana telah mengacaukan banyak manusia hingga berpaling dari friman-Nya. Utamanya dalam pemilu negeri ini, uang lebih kuasa ketimbang Tuhan. Uang begitu leluasa mengatur penjualan kursi politik dan Tuhan hanya menyaksikan saja tanpa mau turun tangan menghentikan. Tuhan hanya mencatat siapa-siapa yang terlibat, lalu akan diadili nanti.
Bangga berkuasa, rasanya jauh banget antara pemimpin sekarang dengan pemimpin masa lalu. Umar ibn al-Khttab menolak ketika anaknya diminta untuk menjadi gubernur di salah satu negeri yang di bawah kepemimpinnnya.: “Tidak, tidak aku izinkan anakku menjabat. Cukup aku saja yang mendapat musibah (khalifah) macam ini". Bayangkan, terpilih menjadi kepala negara dianggap muusbah.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman
Nah, maunya kiai dan agamawan itu begitu. Tidak ada ambisi memajabat kecuali diminta dan dibutuhkan, sehingga kursi keuasaannya yang didapat bersih, tidak ngoyo, tidak bondo dan memengban amanat secara jujur dan legowo. Ya, dulu ada, seperti awal-awal berdirinya NU dan Muhammadiyah. Semua merasa tidak layak dan mempersilakan temannya.
Dari perspektif agama, apa sih untungnya menjadi kepala daerah? Kok sampai ada yang mau bermodal ratusan milyar, ada yang sudah pernah menjabat walikota, tapi kok mau-maunya daftar lagi dan menjadi wakil walikota. Ada yang sudah pernah menjadi wakil presiden, lalu mencalonkan diri menjadi presiden, tapi kini kok mau-maunya menjadi calon wakil presiden lagi? Alasan demi bangsa, demi negara, demi rakyat atau demi apa, yang pasti adalah demi diri sendiri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News