Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie M.Ag. . .
Subhaana alladzii asraa bi’abdihi laylan mina almasjidi alharaami ilaa almasjidi al-aqshaa alladzii baaraknaa hawlahu linuriyahu min aayaatinaa innahu huwa alssamii’u albashiiru (1).
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Gunung-Gunung Ikut Bertasbih
".. mina almasjidi alharaami ilaa almasjidi al-aqshaa alladzii baaraknaa hawlahu ..". Isra' berstart dari al-masjid al-Haram, Makkah, dan finish di al-masjid al-Aqsha, Palestina. Masjid adalah tempat sujud, jika itu ditilik sisi dharaf makan (keterangan tempat) dan itu makna paling populer. Juga bermakna waktu sujud jika ditilik dari sisi dharaf zaman (keterangan waktu). Bila dipadukan, jadinya demikian:
Pertama, masjid adalah tempat sujud sekaligus waktu sujud. Yang dimaksud adalah tempat shalat, sendirian atau berjamaah, shalat sunnah atau fardlu, dilakukan oleh siapapun, warga setempat atau musafir yang sedang mampir. Bila pemaduan antara makna tempat dan waktu sujud ini bersifat mutlak, maka masjid harus terbuka dua puluh empat jam, demi menyediakan umat islam yang hendak beribadah di dalamnya.
Kita tahu, bahwa beribadah itu unlimited, tanpa dibatasi waktu. Sebagaimana berdzikir kepada-Nya, mestinya dilakukan setiap saat. Jadi, masjid tidak boleh dibuka hanya waktu shalat jama'ah lima waktu saja, lalu dikunci. Pembatasan waktu demikian sungguh mengurangi fungsi masjid sebagai tempat ibadah yang terbuka.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Nabi Daud Melahirkan Generasi Lebih Hebat, Bukan Memaksakan Jabatan
Sebagai konsekuensinya, pahala yang diterima oleh para wakif, orang yang beramal jariah menjadi sangat minim dan tidak optimal. Bagi penyumbang amal yang sudah meninggal dunia, di alam kubur sana mereka kecewa dan sangat berharap agar kiriman pahala dari masjid di mana dia beramal jariah lebih banyak. Makin banyak, makin menyenangkan. Sama seperti kita yang masih hidup ini, makin banyak rezeki, makin banyak uang yang didapat, makin senang.
Kebutuhan mayit terhadap kiriman pahala, doa, dan ampunan sungguh jauh dan jauh lebih diharap ketimbang kebutuhan orang hidup terhadap uang. Itu semua bisa dicapai dengan membuka masjid nonstop dua puluh empat jam. Membuka masjid dua puluh empat jam nonstop sesuai dengan arahan Allah SWT, di mana dasar pendirian masjid adalah taqwa. "lamasjid ussis 'ala al-taqwa" (al-Taubah:108).
Di sisi lain, penutupan masjid di malam hari sungguh tidak memberi kesempatan kaum muslimin yang hendak ibadah iktikaf, tahajjud, munajah di keheningan malam. Jika masjid suatu kampung dikunci rapat-rapat sejak usai shalat isya' dan baru dibuka kembali menjelang shubuh, maka berarti semua warga kampung tersebut sama sekali tidak ada yang iktikaf di malam hari.
Padahal, iktikaf adalah ibadah yang ditunjuk al-Qur'an dan sangat efektif untuk mendekatkan diri dengan Tuhan. Masjid yang dikunci malam hari mengisyaratkan warga kampung itu tidak punya agenda bangun malam bersama yang saling mendukung. Andai ada, maka bersifat pribadi dan sendiri-sendiri sesuai kesadaran.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: 70 Persen Hakim Masuk Neraka
Andai kiai atau ustadz setempat menggerakkan dan menyeponsori umat bangun malam, maka akan ada efeknya kepada masjid. Setidaknya, ada satu dua orang yang datang ke masjid pada sepertiga malam bagian akhir, lalu shalat malam, bermunajah dan beriktikaf hingga waktu Shubuh datang dan shalat berjamaah. Jika demikian, pastilah kampung itu ceria di malam hari.
Zaman sekarang, semangat memakmurkan masjid di malam hari ini umumnya padam dan hanya sedikit masjid yang beracara malam. Kalah dengan toko swalayan yang buka dua puluh empat jam, kalah dengan pasar sayur yang sudah ramai sejak tengah malam dengan berbondong-bondongnya warga yang hendak beriktikaf dan bermunajah di masjid.
Jika pedagang sayur yang aktif berbisnis tengah malam berkenan melengkapi diri dengan menyisihkan sedikit waktu untuk sekadar shalat dua rakaat, sungguh bagus dan rezekinya makin diberkahi. Allah SWT senang dengan pribadi muslim yang memadukan kerja mencari uang plus mencari ridha Tuhan. Termasuk kawan-kawan yang dinas dan berjaga malam hari. Rugi besar, punya kesempatan bangun malam, tapi hanya untuk cari uang.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Setidaknya, berjamaah shalat shubuh. Sebagai orang beriman, itu mutlak dan jangan ditawar. Syukur plus dua rakaat shalat sunnah qabliyah shubuh. Waw, you mendapatkan kebajikan tak terhingga melampaui isi dunia. Begitu iming-iming nabi mulia, Muhammad SAW.
Kedua, jika pemaduan makna tempat dan waktu sujud (masjid) tidak mengikat atau proporsional, maka jadinya begini: bahwa masjid memang tempat sujud secara mutlak, tapi soal waktu, dipakailah yang terikat. Yaitu waktu shalat wajib saja. Jadi, masjid dibuka waktu jamaah shalat fardlu saja, secukupnya. Diawali persiapan bersuci, adzan dan beberapa saat setelah jamaah bubar. Lalu ditutup kembali. Biasanya, penutupan itu karena alasan keamanan.
Terkait penguncian masjid, ada masjid yang ditutup total usai jamaah bubar, termasuk pagar halaman, sehingga tak seorang pun diizinkan masuk. Ada yang hanya masjid bagian dalam saja, sementara serambi tetap terbuka dan tempat wudlu juga tersedia. Yang terbaik adalah masjid yang selalu terbuka dengan layanan bagus, keamanan terjaga dan kebersihan terpelihara. Tiga masjid papan atas telah memberi contoh terbaik, yakni al-masjid al-haram (Makkah), al-masjid al-nabawi (Madinah) dan al-masjid al-Aqsha (Palestina).
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News