Oleh: Lujeng Sudarto*
Selain aspek administratif dan prosedur politik, kemenangan caleg juga harus memenuhi prinsip kompetisi: popularitas, elektabilitas, dan ‘isi tas’. Sekali lagi mahfum adanya.
Baca Juga: Apel Kesiapan Distribusi Logistik Pilkada, Ketua KPU Pasuruan: Kita Fokuskan di 8 Kecamatan
Kini bermunculanlah nama-nama untuk mengisi kolom kosong bacaleg dari berbagai latar belakang profesi; artis, pengusaha, dan lain sebagainya. Tidak bisa dipungkiri, sebagian dari mereka semua awam politik. Berbekal ‘euphoria’ membela rakyat, mereka masuk hutan belantara politik.
Selama ini, ada tiga ‘rumus penting’ dalam proses pencalegan, yaitu modal politik, modal sosial, dan modal ekonomi. Seakan ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Akan tetapi, faktanya bahwa ‘rumus’ itu tidak selamanya benar, masih ada saja caleg yang kemudian jadi anggota dewan dengan cara-cara yang ‘normal’. Meski jumlahnya tidak banyak.
Baca Juga: GERTAP Desak KPU Usut Dua Anggota PPS yang Diduga Teken Kontrak Politik dengan Cabup Pasuruan
Ternyata, mereka terpilih menjadi ‘juara’ dari dapilnya dengan beragam sebab, tidak semata-mata karena popularitas dan isi tas yang selama ini menjadi asumsi umum dan hukum linier pemilihan umum.
Tapi, karena kecerdasan dalam membangun personal branding, menciptakan diferensiasi dan menentukan positioning yang tepat.
Sejak saat ini, secara formal genderang perang ditabuh, kalkulasi politik dihitung, dan strategi pemenangan yang telah dirumuskan siap digelontorkan ke konsituten. Partai lama dan partai baru, saling berebut suara lebih dari 200 juta jiwa. Konsensus informal terbentuk: inilah tahun politik.
Baca Juga: KPU RI dan DPP PKB Bisa Lawan Keputusan Bawaslu RI
Atas dasar itu, kini mulai bermunculan gambar, poster, dan iklan di berbagai sudut kota dan desa para calon anggota legislatif (caleg). Di sosial media pun demikian. Setidaknya, ini menjadi pertanda bahwa tidak ada yang terlampau dominan di semua medan perang, baik offline maupun online.
Sebagaimana kita paham, para caleg partai politik tidak bebas nilai. Setidaknya dengan itikad mereka menjadi caleg menunjukan bahwa mereka punya ‘ambisi’ politik.
Sedangkan, yang membedakan hanya kadar dan derajatnya saja. Pun demikian ternyata latar belakang para caleg beragam; pengusaha, purnawirawan, akademisi, aktivis, tokoh agama dan bahkan tukang ojek.
Baca Juga: KPU Pasuruan Gelar Rapat Pleno Penetapan DPT Pilgub dan Pilbup 2024, 1.206.754 Pemilih
Setidaknya secara sederhana, membuktikan bahwa demokrasi telah memberikan ruang yang setara bagi setiap warga negara untuk dipilih. Latar belakang boleh beda, tapi motif yang ditempuh relatif sama; meraih kekuasaan dan menikmati jabatan. Jika kita hendak sinis mengambil kesimpulan akhir.
Hingga saat ini harus diakui, alih-alih menyaksikan diskursus ideologis sesuai dengan platform partai, justru kita mencermati banyak anggota dewan baik di level pusat maupun daerah seperti mati suri dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat dan memberikan kontrol terhadap kinerja pemerintah. Senyap dalam riuh agregasi politik, namun riuh dalam menuntut fasilitas.
Dalam proses pencalonan anggota legislatif dan mencari pejuang ideologis partai yang hendak ditempatkan di Parlemen justru dilakukan di persimpangan jalan-di tengah jalan-bukan sesuatu yang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari.
Baca Juga: KPU Kabupaten Pasuruan: Dokumen Persyaratan Dua Bakal Paslon Telah Penuhi Syarat
*) Penulis adalah Ketua LSM Pusaka
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News