Oleh: Suparto Wijoyo*
17 JANUARI 2019 diagendakan pagelaran akbar berdemokrasi yang konon dinanti banyak orang. Konon saja mengingat situasinya sudah dipahami oleh khalayak mengenai materi yang diperbincangkan, bukan yang diperdebatkan. Inilah perdebatan yang membincang dan bincangan yang dikira perdebatan. Itukah yang dinamakan debat persepsional atau mempersepsi omong-omong yang diperkirakan sebagai debat. Inilah debat yang menjadi menarik diikuti bukan karena kandungan kata debat yang berwatak dasar “bersilat lidah” melainkan adanya konsensus antarpihak untuk tetap membungkus setiap kata yang dikemukakan harus dianggap debat. Bukan isinya yang penting tetapi bungkus debatnya itu. Adakah ini menjadi arena perbincangan yang paling asyik, lucu ataukah sekadar babakan yang berkelambu mafhum-memafhumi saja.
Baca Juga: Jelang Debat Publik Terakhir Pilbup Kediri 2024, KPU Gelar Media Briefing
Begitulah pandangan yang beredar dalam ruang awam dengan segala konsekuensinya. Debat kandidiat Capres-Cawapres yang dihelat KPU itu sejatinya tidak ada misteri yang tersembunyi karena semua serba terang dengan kisi-kisi yang sudah diterima para paslon. Ini adalah sebuah perdebatan yang dianggitkan dari mimpi-mimpi tentang adegan. Mimpi mengenai sesuatu yang belum tentu dianggap gagasan tetapi sekadar ungkapan biasa untuk menjalankan perintah penyelenggarageneral election. KPU adalah pihak yang paling sentral dalam skenario besar perdebatan ini meskipun tanpa lagi memberikan rasa degub yang menggetar, rasa deg-degan yang bergelora dan rasa greget yang menyentuk titik terdalam kesadaran jiwa.
KPU benar-benar memberikan rasa aman demi persatuan dan persaudaraan. Ini sebentuk pengamalan makna dasar sila kedua Pancasila sehingga debat yang dipanggungkan toiada lain adalah debat yang menginternalisir artian“kemanusiaan yang adil dan beradab”. Tidak boleh debatnya menyudutkan lawan melainkan menyudutkan diri sendiri jauh lebih mulia sebab membuka aib lawan tidaklah kepribadian yang sedasar dengan pesan “kemanusiaan yang adil dan beradab”.
Apakah anda beradab apabila tega memperolok saudaramu sendiri? Apakah adil apabila soal tidak dibagikan dengan terang sebelumnya secara merata? Apakah elok apabila moderator pakai mengacak dalam memberikan pertanyaan? Intinya adalah bahwa semua harus menjaga keadaban dan karenanya keadilan itu dirasakan.Tegasnya, keberadaban debat ini harus dijaga KPU agar sangat beradab dalam menyelenggarakan debat capres cawapres itu. Tidak boleh ada yang dipermalukan. Inilah persepsi yang aneh, janggal dan sangat unik dalam perdebatan untuk memilik kandidat penguasa negeri.
Baca Juga: Debat Kedua Pilwalkot Malang, Koalisi Rakyat Peduli Wong Cilik Jadi dalam Visi-Misi Paslon Abadi
Terdapat skenario yang sudah disepakati oleh institusi negara yang bernama KPU dari lubuk jiwa yang berkencenderungan untuk menjadikan “pesta demokrasi” ini hanyalah seberkas “memori” yang menunjukkan adanya periode pemerintahan yang hendak bertahan ataukah diganti. Ini adalah tindakan yang dipersepsi bisa dianggap sebentuk perlawanan antara petahana dan penantang.Padahal tidak ada yang namanya penantang di negri ini melainkan hanya “persandiwaraan” saja untuk memenuhi tahapan pemilu yang harus diwarnai oleh “debat”. Padahal gawe ini sangat vital dalam kerangka penyelenggaraan kedauluatan rakyat yang sungguh tidaklah beradab apabila perdebatan ini mengina kecerdasan rakyat. Pemberian kisi-kisi dan rancang bangun skenario keberadaannya debat dengan bocoran adalah bentuk “ketidakberadaban” dengan rakyat yang sudah wajib sekolah.
Sudahlah. Ini adalah debat yang akan menyedot perhatian para pemilih yang sedang nganggur tentulah agar diberi tempat yang layak agar demokrasi tampil gagah. Para paslon diberi peran sesuai dengan kapasitasnya. Pertanyaan yang telah diberikan akan dipersiapkan jawaban oleh keseluruhan tim agar tidak ada yang diperganjilkan untuk dipergunjingkan rakyat dikemudian hari. Semua menjadi bertanya: siapa yang dipermalukan atau yang akan dipergunjingkan? Sebenarnya bukan para paslon melainkan seluruh pemilih, seluruh pemilik demokrasi, seluruh penggenggam kedaulatan, seluruh pemilih yang menentukan siapa yang dikehendaki untuk menjadi “imam shalat” lima tahun mendatang sampai tahun 2024.
Agenda debat kandidiat dengan pertanyaan yang ditebar melalui pemberikan “keterbukaan metode” agar para capres-cawapres sudah mengetahui tentang narasi pertanyaannya. Ini merupakan sisi gelap gerakan melecehkan demokrasi dan sangat menghina warga seluruh negeri. Anak-anak SD saja dilarang menyontek maka tidaklah etis dalam ukuran apapaun kalau capres-cawapres harus menyontek soal ujian, meski hal itu dianggap legal. Ketahuilah bahwa sesuatu yang legal belum tentu bermoral.
Baca Juga: Debat Publik ke-2 Pilbup Nganjuk, Aushaf Fajr: Ungkap Visi-Misi dan Terobosan Tentang Desa Digdaya
Pemberian materi debat melalui “tebaran kisi-kisi” merupakan tindakan gegabah sekaligus memotret diri sendiri pada tingkat ketidakmampuan menyeleksi pemimpin. Ya pemimpin yang berkualitas sudah semestinya menguasai urusan warganya dengan problem dan solusi yang tertata. Debat capres-cawapres pastilah tidak imun dari kalkulasi khalayak sebab hanya ada satu perhitungan dalam piplres: kalah atau menang tetapi tetap beradab. Inikah debat ala Indonesia?
*Dr H Suparto Wijoyo: Esais, Pengajar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum, Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum Universitas Airlangga serta Ketua Pusat Kajian Mitra Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Airlangga.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News