Oleh: Suparto Wijoyo*
SAYA menyaksikan sebuah parade yang sangat menyejarah tentang festival saling menjarah. Orang-orang datang berkerumun untuk menunjukkan sebuah kenyataan bahwa hidup itu memanglah suatu perebutan. Sejak era Habil dan Qabil sudah terhelat pertempuran yang bermula dari persaingan biasa dalam kelambu persaudaraan. Seutas perebutan tali mempersunting jodoh guna menjadi bagian inti yang disebut keluarga.
Baca Juga: Pengkhianat, Waktumu Sudah Habis
Persembahan diberikan dengan sesaji yang amat naturalis dalam perspektif hewani ataukah nabati. Apa yang dinamakan hewani maupun nabati itu sekadar pilihan “parpol” saat itu dengan keberhasilan yang semua tahu bahwa “parpol hewani” lebih diterima pemegang kedaulatan daripada yang mengusung isu “nabati”. Hal ini bukan berarti Tuhan lebih berkecenderungan untuk menerima pengorbanan “parpol yang beraliran darah” dari pada “parpol tumbuh-tumbuhan”.
Penerimaan pengendali kedaulatan untuk menerima visi misi “hewani” daripada yang “nabati” sejatinya tidak ditentukan oleh kosmologi tersebut, melainkan dipastikan sebatas tabiat kaum pengorbanan semata. Dalam tradisi hari-hari ini sesungguhnya pilihan rakyat ditambatkan kepada “akal budi” yang bernalar sambil menyimak apa yang selama ini sudah dipanggulnya. Demokrasi tidak akan memberikan atribut yang sangat ketat mengenai pengorbanan model zaman Nabi Adam AS. Klan geneologis dicairkan dengan ajaran one man one vote yang memandang setiap elemen memiliki kontribusi yang berkesederajatan.
Ini adalah kesamaan untuk menyama-nyamakan sesuatu yang tidak pernah sama tetapi demokrasi menghendaki harus dianggap sama. Kriteria utama bukan pada kapasitas seseorang melainkan hanya segumpal sebutan bahwa anda memang manusia yang diwongke, diorangkan. Sebuah pengorangan yang menggiring manusia berstatus subyek hukum untuk melakukan tindakan-tindakan hukum yang serupa dengan perusahaan yang menurut hukum menjadi subyek hukum karena mampu mempersonifikasikan dirinya sebagai orang.
Baca Juga: Kejam dan Rakus, Pengusaha Sarang Burung Walet Rampok Rumah Pasangan Mau Kawin
Tidak peduli dia kiai, santri atau bandit sekalipun tetap memiliki satu suara menurut demokrasi. Bahkan orang gila harus dianggap memiliki satu hitungan karena memiliki jiwa. Selama orang itu berjiwa dia memiliki hak suara yang persis dengan profesor yang selama ini berlarut-larut diri belajar tanpa henti. Inilah yang dinamakan kesetaraan status yang tidak berbanding lurus dengan hitungan suara. Dalam konteks inilah demokrasi dipuja atas nama kebersamaan status sebagai manusia yang mengorang, bukan membarang. Dan suara setiap orang inilah yang diperebutkan dalam periodesasi yang tersepakati secara konstitusional.
Lahirnya pemilu adalah segaris dengan niatan dasar bahwa kekuasaan yang dikukuhi oleh “kepala keluarga” tadi dikehendaki anggota keluarga. Kepala keluarga tidak dapat bertindak atas nama hak prerogatif sebab demokrasi memberikan rambu-rambu agar kepemimpinan itu tetaplah kepemimpinan yang partisipatoris. Anda kami pilih, kata anggota keluarga yang lain dengan catatan bahwa kekuasaan masing-masing suara anggota keluarga tidaklah habis dengan selesainya coblosan. Kekuasaan tetap melekat sebagai daulat diri sehingga setiap anggota keluarga boleh mengoreksi kepemimpinan kepala keluarga yang sedang diberi mandat untuk menjalankan amanah yang menyejahterakan seluruh anggotanya.
Kritik terhadap kepemimpinan kepala keluarga yang telah tersepakati adalah bagian esensial dari demokrasi. Apabila kritik itu dianggap sebagai ujaran kebencian dan semuan kritik dianggap sebagai penistaan, maka demokrasi telah pergi dari rumah tangga itu. Kekuasaan yang dipilih secara demokratis itu memberi ruang bagi warganya untuk memberikan “serangan gagasan” melalui “ujaran anggota” tentang kepemimpinannya. Kalau kepala keluarga tidak memberikan bejana berekspresi bagi seluruh anggota keluarga maka ubah saja sistem keluarga tersebut menjadi “penguasa tunggal” yang nyaris seperti “kaum tiran”. Apabila kepala keluarga sudah bertindak tiran dengan menghukum-hukum pengkritiknya, tentu akan menimbulkan reaksi dari anggota keluarga yang lain. Anak-anak akan terbelah dalam pilihan antara yang mempertahankan jiwa-jiwa kerdil para tiran atau hendak mengganti dengan saudara-saudara sekeluarga yang dianggap mengayomi semuanya.
Baca Juga: Angka Vaksinasi: Jakarta 120 Persen, Surabaya 89,24 Persen, Jatim Kalahkan Jateng dan Jabar
Dalam lingkup itulah tirani akan memuai menjadi kehendak bersama yang disebut berdemokrasi. Dalam demokrasi setiap anggota keluarga diberi kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin. Dengan demikian silahkan antri untuk memperebutkan kekuasaan, bahkan mengganti pemimpin keluarga. Itulah demokrasi dan pemilu merupakan areal konstitsuional bagi para anggota keluarga guna menentukan pilihan yang menurut momennya dipertahankan ataukah diganti. Oleh karena keluarga itu sekarang tidak cukup hanya kedekatan biologis melainkan semakin melebar menjadi komunitas, termasuk kerumunan yang terorganisir dalam kerangka negara, maka demokrasi menghendaki ada “komunitas perwakilan” dan hal ini juga membutuhkan mekanisme pilihan. Munculah pileg-pileg sekarang ini sebagai mekanisme yang dipandaang warga juga untuk berebut kue kekuasaan, pun ada kehendak mengganti wakil-wakil yang selama ini dianggap tidak amanah.
Pada tataran demikian sejatinya pemilu itu mekanisme yang biasa dan tidak perlu memberikan keriuhan yang seolah-olah kiamat akan datang apabila kekuasaan tidak dilanjutkan. Dengan berdemokrasi siapapun yang berkuasa silahkan berikhtiar mewujudkan janji dan memegang tinggi mandat. Apabila anda abai tentang nasib warga maka siap-siaplah dilengserkan melalui pemilu yang tersepakati. Curang dan culas bukanlah sesuatu yang tidak mungkin tetapi itu akan semakin memperburuk rupa keluarga itu sendiri. Pemimpin yang tega melakukannya berarti sangat anti demokrasi dan menjerumuskan keluarga besarnya memasuki lorong perebutan yang dapat menjadi ajang dendam keluarga berkepanjangan. Inilah yang harus kita cegah seberat apapun medannya. Pemilu yang jurdil adalah esensinya. Di batas ini saya melanjutkan saja membaca novel klasik yang fenomenal karya George Orwel, Animal Farm (1945) dalam sindir “kekuasaan ternyata sungguh memabukkan”.
*Dr H Suparto Wijoyo: Esais, Pengajar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum, Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum Universitas Airlangga serta Ketua Pusat Kajian Mitra Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Airlangga.
Baca Juga: Tiga Tipe Ulama Era Jokowi: Oposan, Pragmatis, dan Idealis
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News