JOMBANG, BANGSAONLINE.com - Kabupaten Jombang juga memiliki sentra industri kecil yang telah mendunia. Adalah kerajinan manik-manik kaca di Desa Plumbon Gambang, Kecamatan Gudo. Tak tanggung-tanggung, manik-manik karya perajin desa ini telah menembus pasar internasional sejak puluhan tahun lalu.
Adalah Nur Wakid, salah satu pemilik usaha pembuatan manik-manik yang telah merasakan asam garam berbisnis perhiasan yang lazim digemari kaum hawa tersebut. Tidak tanggung-tanggung, pria berusia 49 tahun ini sudah menggeluti usaha ini sejak tahun 1977 silam.
Baca Juga: Peduli Sesama, Satlantas Polres Jombang Borong Dagangan UMKM untuk Dibagikan
“Awal mulanya sejarah di sini pertama tahun 1977-an akhir, sudah mulai mengenal limbah kaca kayak membuat semprong membikin liontin dan permata permata kayak adik itu akik puser dan sebagainya sampai tahun 1980-an,” kata Nur Wakid, saat ditemui di tokonya, Senin (22/4/2019).
Nur Wakid menjelaskan, pembuatan manik-manik sendiri dilakukan dengan proses melelehkan limbah kaca dengan menggunakan alat khusus, dengan suhu mencapai 400 derajat celcius. “Setelah itu dilelehkan kembali dengan membuat beberapa bentuk, ukuran dan motif-motif sesuai dengan keinginan,” sambungnya.
Selanjutnya, bahan yang telah terbentuk sesuai keinginan, kembali dirangkai dengan benang. “Bisa berbentuk gelang atau kalung. Pokok sesuai dengan pesanan atau model yang diinginkan,” urainya.
Baca Juga: Sidak ke Afco, Pj Bupati Jombang Janji Fasilitasi Pengurusan Izin UMKM
Dengan berjalannya waktu, kemampuan Nur Wakid terus terasah. Menginjak tahun 1983, ia mulai membuat bandul liontin dengan motif lebih menarik. Seperti manik-manik bermotif buah pepaya, anggur serta dakocan.
Tidak puas dari sini, merasa manik-manik buatannya semakin diminati kalangan konsumen baik dari Jombang maupun dari beberapa kota lainnya. Kemudian tahun 1984 hingga 1987, Nur Wakid mencoba membuat cincin. Hingga akhirnya usaha ini pun semakin moncer hingga turut mampu membangkitkan ekonomi warga desa setempat.
Baca Juga: Jelang Lebaran, Permintaan Sirup Salak di Jombang Meningkat
“Saat itu (manik-manik) sangat melejit sekali. Manik-manik dari sini tidak sekadar untuk gantungan kunci saja. Manik-manik yang motif historikal juga dipakai orang-orang Kalimantan, Irian, dan Toraja. Perbiji ada namanya juga itu (manik-manik historikal),” paparnya.
Meski begitu, bukan berarti usaha Nur Wakid ini tidak pernah mengalami kendala apapun. Pada kisaran tahun 1988-1990-an, penjualan manik-manik mulai lesu. Bahkan puncaknya pada tahun 1990, ia mengaku kehilangan pasar penjualan.
“Setelah itu, akhirnya saya nekat masuk ke daerah Bali. Di pulau dewata, saya kembali menjalin komunukasi untuk membangun relasi penjualan dan akhirnya alhamdulillah bisa diterima di sana, dan bahkan saat ini mampu berjalan kembali. Pasar lokal utama dikirim ke Bali semua,” tuturnya.
Baca Juga: Tingkatkan Perekonomian Nahdliyin, LPNU Luncurkan Program UMKM Meroket
Semangat pantang menyerah yang dilakukan Nur Wakid juga membuat penjualan manik-manik tidak hanya laris manis di dalam negeri saja, melainkan mampu merambah luar negeri.
“Pasar internasional kita jual ke Australia, Belanda. Nah, terbukti juga mulai kisaran tahun 1993-an, mereka (peminat warga asing, red) mulai datang ke sini (Desa Plumbon Gambang),” urainya.
Sementara itu, saat disinggung soal harga manik-manik, Nur Wahid mengaku jika harga sangat beragam. Mulai dari bahan setengah jadi, per butir dihargai mulai dari Rp 10, Rp 25.
Baca Juga: Persiapan Porprov Jatim 2023 di Jombang Sudah 80 Persen
Kalau manik-manik siap pakai termurah mulai dari Rp 10 ribu sampai Rp 500 ribu.“Sedangkan yang historikal per biji ada yang Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta. Tergantung dengan bahan baku yang dipakai,” pungkasnya. (ony/dur)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News