Tafsir Al-Isra' 54-55: Dawud A.S., Wali Songo dan Seniman Jaman Now

Tafsir Al-Isra Wali Songo. foto: xasxus

Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag

54. Rabbukum a’lamu bikum in yasya' yarhamkum aw in yasya' yu’adzdzibkum wamaa arsalnaaka ‘alayhim wakiilaan

Tuhanmu lebih mengetahui tentang kamu. Jika Dia menghendaki, niscaya Dia akan memberi rahmat kepadamu, dan jika Dia menghendaki, pasti Dia akan mengazabmu. Dan Kami tidaklah mengutusmu (Muhammad) untuk menjadi penjaga bagi mereka.

55. Warabbuka a’lamu biman fii alssamaawaati waal-ardhi walaqad fadhdhalnaa ba’dha alnnabiyyiina ‘alaa ba’dhin waaataynaa daawuuda zabuuraan

Dan Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang di langit dan di bumi. Dan sungguh, Kami telah memberikan kelebihan kepada sebagian nabi-nabi atas sebagian (yang lain), dan Kami berikan Zabur kepada Dawud.

TAFSIR AKTUAL:

" ... waa ataynaa daawuuda zabuuraan". Meski suaranya super bagus, meski punya kepiawaian dalam melantunkan ayat-ayat suci kitab al-Zabur, meski lantunannya sangat digandrungi oleh umat manusia, jin dan alam sekitar, tetapi seni suara yang dimiliki Dawud A.S. hanyalah sebagai perantara belaka untuk mendakwahkan kitab suci, bukan untuk berseni-ria yang komersial dan lahan mata pencaharian. Dawud A.S. tetap eksis sebagai seorang nabi yang berdakwah bijak, dan bukan menjadi seniman jalanan.

Sama halnya dengan para wali songo terdahulu. Sebagian Sunan menggunakan seni dan pentas pagelaran sebagai media dakwah, seperti sunan Bonang dan sunan Kalijogo. Hal itu karena seni dipandang cocok untuk situasi dan kondisi waktu itu. Tetapi harus diingat, bahwa seni sekadar media, bukan utama.

Setelah dakwah islamiyah sudah mulai bisa diterima dengan keutuhannya, maka seni ditinggalkan. Gamelan, wayangan, tembang, kidungan ditinggalkan. Tak ada lagi pentas seni yang konotasinya ada maksiat terselubung. Tak ada lagi pagelaran seni yang sifatnya nuruti nafsu.

Tembang "Lir ilir, Sluku-sluku batok" tidak lagi dinyanyikan sebagai tembang di pentas, tidak pula menjadi "tanggapan, tontonan" orang-orang desa, melainkan sudah berubah menjadi pitutur yang dihayati dan menjadi panduan beramal ibadah. Jadilah, Sunan Bonang, al-sayyid Maqdum Ibrahim eksis sebagai seorang Sunan, seorang Wali, sang pendakwah yang bijak, bukan seniman yang mengamen ke mana-mana mencari nafkah. Itulah bedanya, seni sebagai media dakwah zaman wali dan jaman now.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO