Tafsir Al-Isra 81: Menghancurkan Patung, Bolehkah?

Tafsir Al-Isra 81: Menghancurkan Patung, Bolehkah? Ilustrasi

Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*

81. Waqul jaa-a alhaqqu wazahaqa albaathilu inna albaathila kaana zahuuqan

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

Dan katakanlah, “Kebenaran telah datang dan yang batil telah lenyap.” Sungguh, yang batil itu pasti lenyap.


TAFSIR AKTUAL

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

Tegas sekali pernyataan ayat di atas, bahwa begitu kebenaran tiba, maka kebatilan harus sirna. Abdullah ibn Mas'ud menuturkan, bahwa ketika 'Am al-Fath, penaklukan kota Makkah, Rasulullah SAW masuk masjid al-Haram dan melihat sekitar 360 patung dengan berbagai karakter dipajang di seputar Ka'bah.

Sambil membaca ayat ini , "... ja'a al-haqq wa zahaq al-bathil, inn al-bathil kan zahuqa". beliau mencolek (ndudul) patung-patung tersebut satu per satu dengan sebilah kayu kecil yang dipegangnya. Ajaib sekali, hanya dengan sentuhan ringan, patung-patung itu roboh seketika. Padahal patung itu berat, kokoh berdiri di atas lantai. Beberapa ada yang ditanam setengah permanen.

Para sahabat hanya bisa terkagum-kagum melihatnya dan beliau menyuruh mereka segera menghancurkan dan membuang keluar masjid. Ramai-ramai para sahabat membersihkan masjid al-haram dari puing-puing patung. Mereka bertakbir memuji kebesaran Tuhan atas kembalinya masjid terhormat nomor satu itu ke pangkuan umat Islam. Fath Makkah adalah reformasi paling agung di dunia, damai, tuntas tanpa setitik pun darah menetes.

Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana

Penghancuran patung-patung sesembahan tersebut mutlak dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabat atas perintah beliau karena kondisi waktu itu adalah perang. Perang antara yang haq (islam) dan yang batil (kekufuran-kemusyrikan), hanya saja saja mereka menyerah sebelum pertempuran terjadi.

Di samping itu, misi jihad adalah mengubah kebatilan menjadi kebenaran. Maka, semua yang menjadi elemen kebatilan mesti dihancurkan agar mereka tidak mengenang dan kembali ke kemusyrikan lagi. Menyerahnya para kafir Makkah saat fath Makkah (penaklukan) tersebut menunjukkan bahwa mereka sudah siap beriman dan nyatanya begitu. Hal demikian terbukti dari seru pemimpin mereka sendiri, yakni Abu Sufyan. Maka patung sesembahan tidak dibutuhkan lagi, lalu dihancurkan.

Tidak sama ketika situasi damai dan hidup berdampingan bersama nonmuslim, seperti ketika Rasulullah SAW menerima kaum dzimmy, musta'man, dan mu'ahad. Mereka dikenakan pajak (jizyah), maka mereka dipersilakan beribadah menurut keyakinan mereka masing-masing. Yang menyembah patung dibiarkan asal dilakukan secara tertutup dan tidak terang-terang sehingga memprovokasi kaum muslimin.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok

Untuk itu, di negeri ini, patung-patung yang disembah oleh pemeluk agama lain, seperti di Borobudur atau di tempat lain adalah terselenggara dalam keadaan damai dan hidup berdampingan. Kita tidak diperbolehkan menghancurkan, tetapi tidak boleh juga kita melestarikan.

Orang Islam tidak boleh mendukung perbuatan dosa, apalagi mendukung dana. Melestarikan patung sesembahan sama dengan rela terhadap kemusyrikan. Urusan menjaga dan melestarikan itu urusan mereka sendiri, seperti kita mengurusi rumah ibadah kita sendiri.

Negeri ini bukan monopoli milik orang Islam saja (Dar al-Islam), melainkan negeri damai (Dar al-Salam), milik bersama. Karena mayoritas penduduknya beragama Islam, maka damai-damai saja. Sungguh sumbangan terbesar umat Islam pada kemanusiaan. Hanya saja yang menikmati sumbangan ini sering kurang mengerti.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Tetapi, tidak semua patung itu boleh dihancurkan. Jika patung itu bisa dimafaatkan untuk kemaslahatan umat, maka harus dimanfaatkan dengan catatan tidak ada efek madlarat di sisi lain.

Semisal patung sesembahan yang terbuat dari logam mulia, emas, perak, platina, dan lain-lain, maka harus dilebur lebih dulu sehingga tidak lagi berwujud sebagai patung. Setelah menjadi emas batangan -misalnya-, baru dijual. Hasilnya dipakai untuk kemaslahatan manusia, diberikan kepada fakir dan miskin atau kebaikan keagamaan. Peleburan itu mutlak dan wajib dilakukan. Jika tidak, maka tidak boleh. Sebab masih memberikan servis sesembahan di tempat lain.

*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik Tafsir Alquran Aktual HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO