Tafsir Al-Isra 84: Al-'Amal 'ala Syakilah & Al-'Amal 'ala Makanah

Tafsir Al-Isra 84: Al- Ilustrasi: Cristiano Ronaldo sedang menggiring bola. foto: GiveMeSport

Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*

84. Qul kullun ya’malu ‘alaa syaakilatihi farabbukum a’lamu biman huwa ahdaa sabiilaan.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

Katakanlah (Muhammad), “Setiap orang berbuat sesuai dengan pembawaannya masing-masing.” Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.


TAFSIR AKTUAL

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

Ayat sebelumnya dipapar tentang, hampir saja harta itu menjadi Tuhan, dalam artian, ada manusia yang terlalu memandang harta sebagai segalanya dalam kehidupan ini. Murung ketika pailit, dan congkak ketika berduit. Orang macam ini pasti keimanannya sedang lemah.

Memang uang adalah penyanggah kehidupan, tapi rezeki itu mutlak pemberian Tuhan. Usaha adalah media belaka, bukan penentu. Anak kecil dan orang gila tidak bekerja, tapi tetap bisa hidup, meski sekadar hidup.

Ayat kaji ini seolah memberi solusi cerdas, bahwa manusia dituntut punya skill (syakilah) yang menjanjikan. Dengan skill tersebut, seseorang lebih jembar menjalani kehidupan, karena punya kelebihan yang bisa menghasilkan uang secara menggembirakan.

Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana

Lionel Messi, Cristiano Ronaldo, M. Salah, sekadar punya syakilah di kakinya, lalu menjadi pemain sepak bola kelas dunia, maka kekayaan mereka sangat fantastis. Meski skill-nya menyakiti, mencederai, bahkan bisa menghilangkan nyawa orang, seperti petinju papan atas, tetap saja dibanjiri kekayaan. Begitu hebatnya skill yang dipapar pada ayat ini.

Syakilah yang dimaksud pada ayat ini sifatnya masih umum, tidak ada warna etika atau keimanan. Ya memang begitu. Skill itu terkait keahlian, bakat, kecerdasan, kepiawaian, bukan pada keagamaan atawa ketaqwaan. Lalu, pretelan ayat di atas bisa terbaca seperti ini:

Pertama, kata "kull" (kull ya'mal 'ala syakilah), yang menunjuk arti masing-masing individu. Artinya, setiap orang -sejatinya- punya syakilah sendiri-sendiri. Setiap anak kita punya skill berbeda, meski lahir dari ibu dan ayah yang sama.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok

Dengan syakilah itu, kehidupan ke depan menjadi berbeda dan bermakna bagi yang bersangkutan. Hanya saja, sering kali persepsi publik membuat parameter sendiri, di mana semua orang harus pakai parameter itu. Misalnya, keilmuan. Jadinya, orang yang tidak punya ilmu tinggi tidak dianggap dan tidak diperhitungkan.

Lebih tajam lagi ketika ada di kalangan pondok pesantren, di mana tolok ukurnya adalah pinter ilmu agama. Lebih klasik dari itu adalah pakai parameter menguasai kitab kuning dan lain-lain. Anak yang tidak bisa membaca kitab klasik tidak masuk perhitungan. Ya, itu benar, tapi salah satunya, bukan parameter satu-satunya.

Sementara di bidang lain, tentu parameternya berbeda. Di kedokteran, tentu ilmu kedokteran yang diutamakan. Dan kehidupan ini memang butuh dokter. Di dunia pertanian dibutuhkan ahli pertaian. Dan dunia memang butuh hasil pertanian. Begitu halnya pertambangan, perdagangan, teknologi, dan lain-lain.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Kedua, syakilah atau skill tidak langsung terlihat, melainkan disamarkan oleh Tuhan. Meski begitu, Tuhan memberi tanda awal, indikator dan hanya orang ahli saja yang bisa membacanya. (syakl, artinya bentuk, tanda baca). Ayat kaji ini memancing manusia untuk bisa membaca indikator tersebut, agar potensi anak didik bisa dikenali sejak dini.

Untuk itu, jangan kecewa jika kita menjumpai anak yang tidak pandai ilmu agama. Mungkin tidak di situ bakatnya, atau kita yang salah mengarahkan dan terlalu memaksa. Yang kita sesali bukan karena dia tidak mampu, melainkan karena dia tidak mau.

Seorang murid hobi sekali ngintip teman perempuannya yang sedang mandi. Malah melobangi dinding kamar mandi secara rahasia, demi suksesnya pengintipan. Guru-guru pada menasihati dan tidak sedikit yang menyayangkan moralnya. Ya, karena materi pelajaran eksakt, sosial, dan agama pada jeblok nilainya. Kecuali guru psikologi yang mengelus dan telaten mendampingi.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Begitu materi "art" ditawarkan, si murid penghobi ngintip itu memilih bidang fotografi dan semangat belajarnya bersinar bukan main. Benar, ketika dewasa, dia tidak menjadi ilmuwan maupun teknisi, melainkan menjadi fotografer ternama karena bidikannya sangat genius dan mempesona. Dia bisa hidup mapan dari intipannya itu.

Ketiga, Allah SWT memonitor perilaku si empunya skill. (farabbukum a’lamu biman huwa ahdaa sabiilaan). Artinya, dalam pandangan Tuhan, punya skill saja tidak cukup, tidak berarti dia hamba yang baik di hadapan Tuhan. Masih dilihat follow up dan pemanfaatan skill tersebut, ke mana? dan untuk apa?

Ayat ini mengarahkan, bahwa syakilah yang dimiliki seseorang harusnya untuk tujuan positif, arah ibadah, kebajikan dan amal sosial, "ahda sabila". Jadi, apapun bakat, skill atau syakilah yang anda miliki itu modal berharga, tinggal mengasahnya sesempurna mungkin, lalu dimanfaatkan secara positif.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Tidak semua sahabat nabi itu pandai ilmu agama, pandai membaca dan pandai menulis. Tidak semuanya hafal al-qur'an dan tidak semuanya banyak mengkoleksi hadis. Tetapi semuanya bermanfaat sesuai syakilah masing-masing.

Hamzah ibn Abdil Muttalib, Khalid ibn al-Walid tidak menghiasai khazanah ulum al-qur'an maupun periwayatan hadis. Tapi keduanya sangat berjasa dalam tegaknya dakwah islamiyah. Hingga Nabi Muhammad SAW berkenan menggelari masing-masing dengan "Sang Singa Tuhan (asad Allah)" dan "Sang Pedang Tuhan (saif Allah)". Gelar yang sangat prestisius dan sangat religius yang didambakan semua orang beriman.

Kini tiba gilirannya membahas al-'amal dengan segala variannya yang secara implisit sudah tertuang dalam paparan di atas. Al-'amal a'la syakilah (skill) lebih kepada bakat seseorang dan sifatnya masih putih dan polos. Sedangkan al-amal 'ala makanah adalah aplikasi, penerapan skill tersebut pada ruang dan waktu yang tepat.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani

Di dalam al-qur'an al-karim, al-'amal 'ala syakilah disebut hanya sekali (al-Isra: 84), sementara al-'amal 'ala makanah disebut sebanyak empat kali. Yakni pada al-An'am:135, Hud:93 dan 121 serta al-Zumar:39.

Ini menunjukkan betapa orang bisa beda-beda dalam menggunakan kelebihan yang dia miliki. Ada yang digunakan untuk kebaikan dan ada yang digunakan untuk keburukan. Pinter teknologi IT, bisa dipakai untuk menyimpan data berharga dan bisa pula untuk membobol data orang lain.

Empat makanah yang di-blow up pada ayat-ayat termaktub di atas semuanya berkonotasi wanti-wanti atau memberi peringatan terhadap umat agar bergerak di bidang yang baik. Kata-kata tersebut (i'malu 'ala makanatikum..) diucapkan oleh Nabi terdahulu (Syu'aib A.S, misalnya) sebagai seruan terhadap umatnya yang cenderung ingkar dan brutal. Sedangkan yang lain ada disasarkan terhadap orang yang tidak beriman. Sama saja.

Walhasil, amar beramal 'ala makanah secara tepat dan benar itu ditekankan, mengingat ada berpotensi untuk digunakan di sektor keburukan. Jadinya, bagi orang yang punya skill hebat mohon mampu menahan diri terhadap godaan duniawi atau kejahatan yang merayu nan mempesona. Allah a'lam.

*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik Tafsir Alquran Aktual HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO