Tafsir Al-Isra 94-96: Nabi Juga Bukan Malaikat

Tafsir Al-Isra 94-96: Nabi Juga Bukan Malaikat Ilustrasi.

Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*

94. Wamaa mana’a alnnaasa an yu/minuu idz jaa-ahumu alhudaa illaa an qaaluu aba’atsa allaahu basyaran rasuulaan

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

Dan tidak ada sesuatu yang menghalangi manusia untuk beriman ketika petunjuk datang kepadanya, selain perkataan mereka, “Mengapa Allah mengutus seorang manusia menjadi rasul?”

95. Qul law kaana fii al-ardhi malaa-ikatun yamsyuuna muthma-inniina lanazzalnaa ‘alayhim mina alssamaa-i malakan rasuulaan

Katakanlah (Muhammad), “Sekiranya di bumi ada para malaikat, yang berjalan-jalan dengan tenang, niscaya Kami turunkan kepada mereka malaikat dari langit untuk menjadi rasul.”

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

96. Qul kafaa biallaahi syahiidan baynii wabaynakum innahu kaana bi’ibaadihi khabiiran bashiiraan

Katakanlah (Muhammad), “Cukuplah Allah menjadi saksi antara aku dan kamu sekalian. Sungguh, Dia Maha Mengetahui, Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.”

TAFSIR AKTUAL

Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana

Ayat kaji kemarin (90-93) berkisah tentang enam tuntutan fantastis dari kaum kafir terhadap Rasulullah SAW dengan dalih agar mereka mantap, lalu beriman. Tuntutan itu sesungguhnya lebih pada ulah keingkaran dan bukan jalan menuju keimanan. Maka Tuhan menjawab, bahwa Nabi itu hanya manusia biasa, tidak mungkin bisa segalanya.

Lalu ayat kaji ini menambahi, bahwa jika petunjuk (al-huda) itu datang kepada seseorang, maka nuraninya pasti menerima. Itu alamiah. Tetapi bagi yang kafir akan punya banyak alasan untuk menolak. Salah satu penolakannya adalah kepura-puraan tidak tahu, bahwa Allah SWT sudah mengutus Rasul yang membimbing. Lebih lagi dikatakan: "Lho, apakah Allah mengutus Rasul dari kalangan manusia?"

Mereka mempersoalkan seorang Rasul dari kalangan manusia, karena mau mereka Rasul itu dari kalangan malaikat. Manusia menjadi Rasul untuk manusia dianggapnya kurang prestisius dan tidak level.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok

Kemudian dijawab oleh ayat berikutnya (95), cobalah dipikir secara sehat, apa mungkin masyarakat manusia yang kasat mata, yang fisis dipimpin oleh malaikat yang tidak terlihat dan non fisis? Terus komunikasinya gimana? Kurikulum kehidupan manusia juga tidak sama dengan kurikulum malaikat.

Andai saja yang mendiami bumi itu komunitas malaikat yang beraktivitas seperti manusia, ya berjalan-jalan, ya berbisnis, menikah, berpolitik dan seterusnya, maka Tuhan pasti mengutus Rasul dari kalangan malaikat juga, langsung turun dari langit sono.

Para kafir itu sesungguhnya mengerti, bahwa tidak nyambung dan runyam jika manusia dipimpin malaikat. Tapi dasar kafir, maka ada-ada saja yang dituntut. Bayangkan, jika manusia punya syari'at nikah, lalu Rasulnya malaikat, bagaimana bisa malaikat menjelaskan, mempraktikkan pernikahan.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Yang jelas malaikat itu tidak punya syahwat. Meski tidak ada keterangan, apakah mereka punya zakar atau tidak, tapi logika mengarah, bahwa tidak ada zakar bagi mereka. Pertama, karena mereka makhluq cahaya yang tak membutuhkan ada jenis kelaminnya, dan Kedua, andai punya, lalu untuk apa. Tuhan tidak mencipta hal yang sia-sia.

Dialog tidak selesai, karena wong kafir ngotot, bahwa Rasul yang dari kalangan malaikat punya wibawa sendiri dan lebih ditakuti oleh umat manusia. Hal itu karena mereka memandang malaikat sangat digdaya dan super kuat, serta nonkompromi. Dengan power yang dimiliki, maka risalah akan lebih berpotensi berhasil, karena manusia pada takut. Dan soal penjelasan syari'ah cukup pakai orasi saja, tanpa harus praktik.

Sesungguhnya mudah sekali bagi Nabi menjawab semua argumen wong kafir ini, tapi Tuhan melarang meladeni, karena percuma dan memperpanjang debat kusir. Tuhan memberitahu Nabi, bahwa umat terdahulu juga rewel begitu. Tapi, begitu tuntutan dikabulkan, mereka tetap kafir. Begitu halnya terhadap kafir Makkah, beberapa telah diingkari, meski terbukti.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Kini Tuhan membiarkan dengan memberi pilihan, mau beriman atau tidak. Yang jelas nabi tetap berkata lantang dan sangat serius, bahwa dirinya adalah seorang utusan Tuhan, "Hal kuntu illa basyara rasula".

Mendengar ucapan Nabi itu, wong-wong kafir nyanggah lagi: "Hai Muhammad, jika kamu masih ngotot mengaku sebagai Rasul, lalu siapa yang menyaksikan penobatanmu sebagai rasul? Bagaimana mungkin kami bisa percaya begitu saja terhadap omonganmu?".

Untuk ini, lalu al-qur'an turun memberi bimbingan jawaban: "Katakan wahai Muhammad, bahwa cukup Allah SWT sebagai saksi dalam persoalan yang sedang terjadi di antara aku dan kalian".

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Ini sebagai pelajaran bagi kita, bahwa dalam menyampaikan kebenaran cukup ikhtiar yang serius dan sebaik-baiknya, sesuai kemampuan. Saat mentok, maka kita tidak boleh kecewa, melotot, atau ngotot. Serahkan semua urusan kepada-Nya. Dialah yang maha memonitor kita "innah kan bi 'ibadih khabira bashira".

Dalam menyampaikan pesan agama, jadilah "sales" Tuhan yang santun, simpatik dan menarik seperti akhlak Tuhan yang Pengasih. Dan jangan radikal. Mudah-mudahan tidak ada juru bicara Tuhan yang radikalnya malah melampaui Tuhan yang punya agama.

*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik Tafsir Alquran Aktual HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO