Tafsir Al-Kahfi 9-10: Grup WA

Tafsir Al-Kahfi 9-10: Grup WA Ilustrasi. foto: Hai Online

Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*

9. Am hasibta anna ash-haaba alkahfi waalrraqiimi kaanuu min aayaatinaa ‘ajabaan

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

Apakah engkau mengira bahwa orang yang mendiami gua, dan (yang mempunyai) raqim itu, termasuk tanda-tanda (kebesaran) Kami yang menakjubkan?

10. Idz awaa alfityatu ilaa alkahfi faqaaluu rabbanaa aatinaa min ladunka rahmatan wahayyi/ lanaa min amrinaa rasyadaan

(Ingatlah) ketika pemuda-pemuda itu berlindung ke dalam gua lalu mereka berdoa, “Ya Tuhan kami. Berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah petunjuk yang lurus bagi kami dalam urusan kami.”

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia


TAFSIR AKTUAL

Apakah ayat kaji ini, termasuk ayat berikutnya dengan bahasan ashabul kahfi ini bisa dijadikan dalil anjuran membuat group WhatsApp (WA)? Silakan, terserah pembaca memandang. Yang jelas, grup ashabul kahfi ini begitu solid dan berkomitmen. Makanya, jika membuat grup, maka hendaknya berisikan hal-hal yang bermanfaat bagi agama dan umat Islam pada umumnya. Tidak hanya berisikan program dan keinginan, melainkan bisa berwujud amal nyata.

Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana

Grup tersebut akan lebih bermanfaat jika berisikan ilmu pengetahuan, ulasan agama, informasi, dan lain-lain yang berguna. Ciri umat beriman adalah meninggalkan yang tidak ada manfaatnya. Janganlah grup itu hanya ajang ngerumpi, apalagi menghujat, bicaranya jadi mubazir, dan tidak bermakna. Kadang sekadar ngopi, iseng, makan duren, dan sebangsanya diunggah gaya-gayaan. Apa manfaatnya?

Ketiga, ayat kaji ini mengajarkan kita harus hijrah, keluar dari rumah tinggal, desa, atau negara jika kita sangat tertindas dan membahayakan nyawa. Sama dengan Rasulullah SAW dan para sahabat yang hijrah ke Madinah demi keamanan. Menyendiri, ke gunung, masuk goa, diuber-uber adalah lelaku para utusan. Di sini timbul masalah, apakah lari itu satu-satunya cara?

Ternyata tidak. Jika ujian, gangguan, penindasan, penjahatan tidak membahayakan nyawa secara nyata, masih bisa disikapi dengan kebijakan dan kesabaran, masih ada harapan keadaan bisa membaik, maka tetap tinggal di daerah "fitnah" tersebut lebih baik. Meskipun hanya diam, tapi diam dan berada di situ adalah kiprah dakwah tersendiri. Tuhan lebih menyukai orang beriman yang sabar menghadapi fitnah agama dibanding yang lari menjauh.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok

Kuat sekali isyarat ayat ini, bahwa di suatu waktu akan ada kondisi yang amat payah bagi umat beriman. Entah apa wujudnya, bisa penindasan penguasa, bisa merajalelanya kemaksiatan secara terbuka, bisa juga kondisi, di mana kita susah sekali mencari rezeki yang halal. Hadis soal solusi, apakah uzlah (mengasingkan diri) atau sukna (tetap di rumah) cukup banyak dan berkualitas shahih. Al-Imam al-Qurthby menawarkan gambaran begini:

Pertama, ada orang yang memang karena keadaannya lebih bagus mengasingkan diri. Bisa tinggal di negara lain yang lebih aman dan leluasa beribadah di sana. Zaman now, kira-kira seperti tokoh agama yang dijahati di negeri sendiri, diburu dan sangat mungkin dibunuh atau dipenjara seumur hidup. Zaman dulu, semisal Abu Hurairah, Abu Dzarr al-Ghifary lebih memilih menyendiri dan tinggal di bukit bersama hewan ternaknya. Sekarang, ya mencari suaka politik di negara lain dengan deposito yang memadai.

Kalimat pengaman diri ketika seorang mukmin dihadapkan pilihan yang dilematik dan simalakama terjadi menimpa pribadi Abu Hurairah R.A.. Saat dua kekuatan besar berhadapan antara Ali ibn Abi Thalib dan Mua'wiyah. Matahari kembar ini benar-benar siap bertarung hingga titik darah terakhir. Keduanya merasa berada di jalan yang benar sesuai ijtihad masing-masing.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Abu Hurairah R.A., seorang sahabat senior yang dikenal sufi dan tidak suka politik ditanya, bagaimana menurut pendapat tuan: pilih Ali atau Mu'awiyah? Dengan diplomatis Abu Hurairah menjawab: "Aliy a'lam wa Mu'awiyah ahkam wa fauq al-jibal aslam". Ali lebih cendekia, sedangkan Mu'awiyah lebih bijak dan di atas gunung (sambil mengebala kambing) lebih aman.

Jelasnya, kalau dia mau belajar agama, menimba ilmu pengetahuan, maka berguru kepada Ali. Tapi kalau butuh apa-apa terkait kebutuhan hidup, maka mengadu ke Mu'awiyah. Agar sama-sama enak, lebih baik menyendiri saja ke bukit sambil menggembala kambing.

Kedua, ada orang yang karena keadaannya lebih bagus tetap tinggal di dalam rumah dan mengunci diri secara total. Sama sekali tidak keluar rumah kecuali sangat wajib seperti shalat jum'ah. Shalat jamaah pun dilakukan di rumah bersama keluarga. Mereka menghindari ketemu manusia, apalagi ngomong-ngomong. Bisa kejebak dan berakibat fatal. Beberapa veteran perang Badar mengambil sikap seperti itu ketika fitnah besar melanda umat Islam yang mengakibatkan khalifah Utsman ibn Affan terbunuh.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Ketiga, ada orang yang karena kelihaiannya dia tetap hidup di di tengah-tengah masyarakat seperti biasa. Dia bisa membawa diri secara cantik dan bersabar ketika ditimpa fitnah. Sekecil apapun, jika dia pandang baik dan aman, maka dia lakukan. Dia memakai gaya hidup berstandar ganda, muka manis, dan bersahabat, tetapi hatinya membenci keburukan. Orang Syi'ah menyebut ini sebagai pola "taqiyah". Memang berdusta, tapi pada momen tertentu dimaaf, karena ada maslahah yang lebih besar.

Ketika kondisi umat Islam sangat kacau, seseorang datang ke Wahb ibn Munabbih (ahli kitab senior yang sudah tercerakan) dan mengadu: "memperhatikan kekacauan kaum muslimin macam ini, saya ingin mengasingkan diri saja dan tidak ingin bergaul dengan mereka".

Wahb menjawab: "Oh jangan, jangan kamu lakukan itu. Tetaplah hidup bersama masyarakat. Mereka itu manusia yang membutuhkan kamu, seperti kamu juga membutuhkan mereka. Buatlah mata kamu buta, tapi bisa melihat. Buatlah telinga kamu tuli, tapi bisa mendengar. Buatlah lisan kamu bisu, tapi bisa bicara".

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Lelaki itu mengerti dan menurut. Pesan Wahb ibn Munabbih ini berdasar pemikiran, bahwa berdakwah, membaikkan perilaku masyarakat itu harus terus-menerus dilakukan dan tidak boleh kosong. Tidak masalah berapa pun hasilnya. Sebab manusia hanya kewajiban berdakwah saja, sedangkan hasil itu mutlak otorita Tuhan.

Keempat, ini langkah pamungkas. Saat menghadapi kondisi kritis macam itu, seperti ashabul kahfi yang terkurung dalam goa, bisa pula tertindas oleh siapa pun atau apapun, atau seseorang sedang berperan ganda, maka bersungguh-sungguhlah menengadahkan tangan ke hadirat Allah SWT, berserahlah secara total kepada-Nya. Tidak ada yang tidak beres di hadapan-Nya.

"Rabbana atina min ladunk rahmah wa hayyi' lana min amrina rasyada". Doa pemuda goa ini didengar Tuhan dan keajaiban-keajaiban terjadi. maka, biasakan men-download keajaiban tuban, utamanya SAAT KRITIS.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO