BangsaOnline-Presiden Joko Widodo (Jokowi) seolah "mengadu domba" rakyat dengan media massa dengan pernyataannya yang menyebut mesin intelijen pemerintah terus menganalisa pemberitaan media massa, baik yang pro maupun kontra terhadap kebijakannya.
Begitu dikatakan Koordinator Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Uchok Sky Khadafi, saat ditemui di gedung DPR, Senayan, Jakarta (Kamis, 8/1).
Pernyataan Jokowi dilontarkan saat ia membuka rapat kabinet di Kantor Presiden, kemarin. Saat itu, Jokowi mengatakan kepada para menterinya bahwa pemberitaan media massa belum tentu mewakili kinerja sebenarnya dari pemerintah.
Kata "kontra" yang disebut Jokowi, lanjutnya, akan membentuk persepsi tidak baik bagi media. Padahal, pemberitaan media pasti berpedoman pada prinsip keberimbangan.
"Jokowi membentuk persepsi publik, terutama pada simpatisannya, bahwa media yang memberi kritik itu adalah kontra terhadap pemerintah. Ini tidak baik," sambungnya.
Uchok mengingatkan Jokowi akan istilah "kacang jangan lupa kulit". Artinya, jangan melupakan jasa media yang secara langsung maupun tidak langsung telah membawanya hingga merebut kursi presiden.
Baca Juga: Berantas Tindak Pidana Pertanahan, Kementerian ATR/BPN Gandeng Menhan dan BIN
"Ini semacam kacang lupa kulit, dia lupa siapa yang membesarkannya dengan memata matai media," katanya.
Wakil Ketua Umum PPP, Fernita Darwis juga menanggapi pernyataan Jokowi. " Itu kan bisa juga masuk dalam kategori menginteli. Apalagi tugas itu dilakukan oleh badan intelijen negara. Biasanya musuh yang diinteli tapi sekarang media massa," kritik Fernita kepada wartawan di Jakarta, Kamis (8/1).
"Apakah pernyataan Jokowi itu sebagai tanda kalau media sebagai musuh yang harus dimata-matai," lanjut Fernita, mempertanyakan.
Hal ini bisa menimbulkan instabilitas negara. Sebelumnya Koalisi Merah Putih (KMP) yang dianggap seolah musuh, sekarang giliran media massa yang kritis terhadap pemerintah juga diperlakukan sama. Bukan tidak mungkin, pemerintah membubarkan parpol dan media massa karena dianggap mengganggu jalannya pemerintahan.
"Seandainya ini terjadi bagaimana ketatanegaraan bisa berjalan jika sistem yang mendasar diatur dalam UUD 45 diporak poranda dan dianggap hal biasa tidak lagi mengacu UUD'45," ujarnya.
Ia juga mengingatkan, peran media dalam membesarkan para tokoh melalui pencitraan yang dipublikasikan seperti yang dilakukan untuk mempopulerkan Jokowi yang tadinya tidak dikenal masyarakat Indonesia.
"Berkat pencitraan di media massa, Jokowi yang minim prestasi kini menjadi presiden," sindir Fernita.
Baca Juga: Dukung Swasembada Pangan, Menteri ATR/BPN: Butuh Tata Kelola Pertanahan yang Baik
Ketua Komisi I DPR, Mahfudz Siddiq juga mengingatkan Presiden Jokowi agar tidak memanfaatkan intelijen untuk mengekang kebebasan pers.
Menurut Mahfud Siddiq, BIN memang memiliki unit kerja yang membidangi persoalan media massa. Unit itu melakukan melakukan analasis terhadap semua pemberitaan media kemudian dijadikan rekomendasi kepada kepala BIN dan presiden. Jadi menurutnya, sistem yang sudah ada itu saja yang dimanfaatkan dan dikelola oleh presiden.
Namun ujar politisi PKS ini, catatan penting dari semua analisis dan rekomendasi unit tersebut, adalah termasuk dari semua keputusan atau pun kebijakan, jangan malah dijadikan instrumen bagi Presiden Jokowi untuk mengekang kemerdekaan dan demokratisasi pers, termasuk memberangus pers.
"Saya sendiri tidak tahu pesan politik apa yang ingin disampaikan Jokowi dengan pernyataannya itu. Jadik kita lihat saja nanti,” ujar Mahfud.
Dia menilai seseorang yang memiliki popularitas tinggi apalagi dia seorang presiden seperti Jokowi wajar-wajar saja diberitakan. Namun Mahfudz Siddiq kembali mengingatkan presiden populer bisa mengarah pada dua kemungkinan yaitu mendorong demokrasi karena itu nafas kekuatan populer atau bisa juga dia terjebak menjadi pemimpin yang otoriteris. Pemimpin otoriter biasanya terlalu khawatir popularitasnya terganggu jika ada yang mengkritik, tegasnya.
"Karena ada dua kemungkinan itu makanya saya katakan, kalau digunakan untuk analisi media massa wajar saja tapi jangan sampai untuk mengekang kebebasan pers dan demokrasi media.Lagi pula saat ini media sudah terpolarisasi, ada media-media yang secara total mendukung seluruh kebijakan pemerintah dan ada media yang terus menerus mengkritik kebijakan pemerintah," ujarnya.
Jokowi juga diingatkan kalau memang memerlukan keseimbangan pemberitaan media, maka biarkan saja media-media yang ada yang sudah terpolarisasi itu yang melakukannya sendiri. Pemerintah jangan ikut campur mencoba menyeimbangkan dengan persepsinya sendiri.
"Kalau diperlukan keseimbangan biar media itu sendiri, jangan pemerintah mengintervensi untuk menciptakan keseimbangan menurut persepsi pemerintah," demikian Mahfudz Siddiq
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) merasa perlu menganalisis media massa untuk melihat potret berita yang menyangkut citra pemerintah. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan mesin intelijen yang dimiliki pemerintah. "Dalam kurun hampir tiga bulan ini kita menganalisis, (dilakukan) oleh mesin intelijen media manajemen dari 343 media," ucap Jokowi saat membuka Sidang Kabinet Paripurna di Kantor Presiden, Komplek Istana Kepresidenan, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Rabu (7/1).
Sebenarnya, rapat kabinet itu membahas RPJMN 2015-2019 dan RKP tahun 2015. Namun, Jokowi merasa para anggota kabinetnya lebih "ngeh" ke pemberitaan media massa.
"Semua tahu kita ini selalu dipotret, selalu diikuti, dan selalu dinilai media. Meskipun perlu saya sampaikan ekspos media belum tentu wakili kinerja pemerintahan," ujarnya.
"Perlu saya sampaikan media sebagai pembawa pesan akan bentuk persepsi bentuk imej terhadap kinerja pemerintah," ucap Jokowi.
Kata Jokowi, persepsi media terhadap kinerja pemerintah didasarkan atas berbagai variabel.
"Ada aktivitas-aktivitas, ada kebijakan-kebijakan, ada langkah-langah menteri maupun institusi lain. (Semua) dipotret media dari berbagai sudut, pro maupun kontra dan menimbulkan persepsi," jelasnya.
Sayangnya, penjelasan Jokowi mengenai analisis media ini terputus, lantaran rapat kabinet kemudian berjalan tertutup.
Baca Juga: Vinanda-Gus Qowim dapat Pesan Peningkatan Industri Pariwisata dari Jokowi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News