Tafsir Al-Kahfi 19-20: Teologi Lockdown untuk Tangkal Corona Sudah Ada Sejak Dulu

Tafsir Al-Kahfi 19-20: Teologi Lockdown untuk Tangkal Corona Sudah Ada Sejak Dulu Ilustrasi: Jamaah salat Jumat di Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya menggunakan masker dan safnya berjarak satu meter ke samping kanan dan kiri hari ini, Jumat (27/3/2020). foto: MA/ BANGSAONLINE

Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*

19. Wakadzaalika ba’atsnaahum liyatasaa-aluu baynahum qaala qaa-ilun minhum kam labitstum qaaluu labitsnaa yawman aw ba’dha yawmin qaaluu rabbukum a’lamu bimaa labitstum faib’atsuu ahadakum biwariqikum haadzihi ilaa almadiinati falyanzhur ayyuhaa azkaa tha’aaman falya/tikum birizqin minhu walyatalaththhaf walaa yusy’iranna bikum ahadaan.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

Dan demikianlah Kami bangunkan mereka, agar di antara mereka saling bertanya. Salah seorang di antara mereka berkata, “Sudah berapa lama kamu berada (di sini)?” Mereka menjawab, “Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari.” Berkata (yang lain lagi), “Tuhanmu lebih mengetahui berapa lama kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, dan bawalah sebagian makanan itu untukmu, dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan jangan sekali-kali menceritakan halmu kepada siapa pun.

20. Innahum in yazhharuu ‘alaykum yarjumuukum aw yu’iiduukum fii millatihim walan tuflihuu idzan abadaan

Sesungguhnya jika mereka dapat mengetahui tempatmu, niscaya mereka akan melempari kamu dengan batu, atau memaksamu kembali kepada agama mereka, dan jika demikian niscaya kamu tidak akan beruntung selama-lamanya.”

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

TAFSIR AKTUAL

Kajian tafsir ini sedang membahas pemuda goa yang sembunyi di goa terpencil, tidak keluar sama sekali karena takut dibunuh aparat raja kafir. Dan Tuhan me"lockdown" mereka dengan cara menidurkan selama 309 tahun. Lalu dibangunkan kembali setelah keadaan aman.

Teologi lockdown itu sudah ada sejak dulu, demi keamanan atau meminimalisir keburukan. Kini, dunia dilanda virus Corona (Covid-19) sehingga rumah Tuhan-pun terkena dampaknya. Ka'bah menjadi sepi, serta sholat jum'at dan jama'ah libur.

Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana

Ketika shalat jamaah di masjid diliburkan, adzan tetap dikumandangkan. Lalu, untuk apa dan siapa yang dipanggil siapa?

Pertama, adzan pada situasi ini berfungsi i'lan bi dhukhul al-waqt saja, woro-woro bahwa waktu shalat sudah tiba. Kedua, adzan sebagai syiar Islam, dan ketiga, lafadh adzan sama, kecuali pas nida' "Hayya ala al-shalah dan hayya 'ala al-falah" diganti dengan "shallu fi buyutikum" (shalatlah kalian di rumah masing-masing) atau "shallu fi rihalikum". Shalatlah kalian di tempat mana saja.

Persoalan kini, bisakah virus Corona menjadi illat (alasan) menggugurkan kewajiban shalat jum'at atau meliburkan syari'ah jama'ah shalat maktubah? Disajikan paparan sebagai berikut:

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok

Pertama, pendapat ulama yang membolehkan. Bahwa para ahli, termasuk Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, bahwa sifat virus Corona (Covid-19) sangatlah cepat menyebar, membahayakan manusia, dan telah terbukti banyak makan korban. Wabah ini kini menjadi problem dunia.

Untuk itu, meskipun virus ini tidak pasti bisa membahayakan setiap orang, tapi kemungkinannya sangat besar. Maka derajat efektifnya ada pada level "ghalabah al-dzann" atau "al-dhann al-rajih" atau dugaan sangat kuat dan berdasar. Dan berdalil dengan al-dhann al-rajih untuk pengambilan hukum dibenarkan dalam agama. "al-mutawaqqa' al-rajih ka al-waqi'". Hal yang sangat dikhawatirkan terjadi, sama hukumnya dengan hal yang pasti terjadi.

Karena daya efektif dan sebarannya hebat, maka orang beriman wajib berusaha menanggulangi sedini mungkin dan sebisa mungkin. Salah satunya adalah dengan tindakan memutus mata rantai penyebaran virus Corona dari satu pasien terpapar ke orang lain.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Caranya, antara lain lockdown. Yakni, masing-masing orang mengurung diri, tidak berinteraksi dengan orang lain, tidak ngumpul-ngumpul untuk beberapa waktu tertentu. Termasuk, tidak shalat jum'at atau shalat berjamaah di masjid. Semua itu demi kebaikan ke depan yang lebih besar. Dan, langkah menanggulangi bahaya (dar' al-mafasid) begini ini diperintahkan agama.

Banyak al-Hadis yang dipakai dasar pendapat ini, antara lain: Pertama, saat hujan deras dan tanah berlumpur, para sahabat dipersilakan shalat di rumah masing-masing. Kedua, bagi mereka yang punya udzur (sakit atau takut) cukup shalat di rumah. Ketiga, ketika ada wabah di suatu tempat, maka orang luar tidak boleh datang ke tempat itu dan orang setempat tidak boleh keluar dari tempat itu, dst.

Kedua, pendapat ulama' yang tidak membolehkan meliburkan jum'atan atau shalat berjamaah gara-gara Corona. Dasarnya antara lain:

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Pertama, dalam situasi perang berkecamuk yang nyata-nyata mengancam nyawa saja, Allah SWT masih mensyari'ahkan shalat berjamaah (al-Nisa:102). Sementara virus Corona belum tentu ada atau menyerang seseorang, apalagi mematikan. Jadi memandang virus Corona sebagai bahaya yang nyata itu berlebihan. Tidak level dibanding senjata musuh kafir di medan perang.

Kedua, hadis tentang larangan masuk di daerah wabah atau yang di dalam tidak boleh keluar hanyalah larangan interaksi antara satu daerah (negara) dengan daerah (negara) lain, bukan melarangan berjamaah shalat, apalagi melarang shalat jum'at. Jum'atan dan jama'ah tetap berlangsung.

Ketiga, interaksi manusia antar daerah dengan shalat berjamaah sangat beda. Dalam shalat berjamaah terdapat ibadah dan doa yang nyata-nyata dipanjatkan langsung kepada Allah SWT, Dzat yang maha segala. Dialah Dzat yang menurunkan wabah, dan Dialah jua yang menghilangkan. Maka cara tertinggi mengusir wabah adalah ikhtiar dan ittikal, usaha, dan doa. Allah a'lam.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik Tafsir Alquran Aktual HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO