Oleh: Andi Fajar Yulianto, S.H., C.T.L*
Sejak masa pandemi Covid-19, sidang perkara pidana dilakukan dengan daring / online / teleconference sebagai upaya penerapan physical distancing (jaga jarak aman) dengan alasan penanggulangan penyebaran Covid-19.
Baca Juga: Gugatan Dikabulkan, 51 Penghuni Perum Graha Persada Indah Regency Diwajibkan Bayar IPL
Namun, berlakunya sidang online sangat merugikan kinerja profesi advokat, karena tidak dapat menggali secara maksimal akan kebenaran materiil. Hal ini karena komunikasi antara advokat sebagai penasihat hukum dengan terdakwa sebagai kliennya sangat sulit.
Sulitnya komunikasi ini sering disebabkan karena gangguan sarana infrastruktur (sinyal timbul tenggelam), sampai seringnya terdakwa tidak mendengar apa yang disampaikan dalam persidangan saat sidang berlangsung.
Selain itu, teknis sidang online juga diskriminatif. Yang terjadi di lapangan, sidang yang bertempat di ruang sidang Pengadilan Negeri (PN), nyatanya masih dilakukan dengan tatap muka antara hakim, panitera pengganti, jaksa, dan penasehat hukum (PH). Hanya terdakwalah yang online atau tidak berada di tempat sidang, melainkan di Lapas/Rutan.
Baca Juga: Vania Terpilih Jadi Ketua Forum Komunikasi Advokat Jombang
Sehingga, terpisah sama sekali dengan penasehat hukumnya. Di sinilah sulitnya mencari dan menggali kebenaran materiil dalam diri terdakwa.
Belum lagi ditambah sulitnya penasihat hukum menemui klien di Lapas/Rutan. Padahal, penasihat hukum perlu melakukan koordinasi, konsultasi, dan memberikan pencerahan hukum.
Kalaupun bisa melalui teleconference, praktiknya juga tidak mudah. Jadi pelayanan hukum bagi terdakwa dalam Lapas/Rutan nyaris tidak dapat berjalan dan tidak berfungsi sama sekali.
Baca Juga: Dian Aminudin Kembali Terpilih Jadi Ketua DPC Peradi Malang
Kondisi semacam ini nyata menabrak ketentuan sebagaimana Pasal 70 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang dengan tegas menyatakan penasihat hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 berhak menghubungi dan berbicara dengan tersangka pada setiap tingkat pemeriksaan dan setiap waktu untuk kepentingan pembelaan perkaranya.
Sehingga demikian sulitnya ketemu/bertatap muka dengan klien, maka dapat dikatakan akses keadilan bagi para terdakwa tersebut sempit.
Karena itu, sebagai upaya mendapatkan perlakuan yang sama dan berkeadilan dalam proses hukum, setidaknya teknis persidangan online harus diubah. Paling tidak, advokat atau penasihat hukum bisa satu ruangan dengan klien atau terdakwa.
Baca Juga: Panggilan Muscab III Peradi Sidoarjo oleh Ketua OC, Sekretaris SC Beberkan Persyaratan Calon
Instansi dan lembaga terkait agar tanggap hal ini, dan melakukan evaluasi-evaluasi serta pengawasan atas jalannya persidangan online agar akses mencari keadilan bisa terwujud.
*Penulis adalah Direktur LBH Fajar Trilaksana dan Sekretaris DPC Peradi Kabupaten Gresik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News