KOTA BATU, BANGSAONLINE.com - Kepala Kantor Kemenag Kota Batu, H. Nawawi, berhasil meraih gelar doktor setelah berhasil mempertahankan disertasinya tentang moderasi beragama di Kota Batu di hadapan tim penguji. Ia menilai, Kota Batu merupakan kota inklusif dengan gerakan beragama yang moderat. Predikat kota inklusif ini tidak hanya di atas kertas, tetapi benar-benar menjadi realitas di masyarakat.
"Para tokoh agama bisa menyatu dalam memahami perannya di masyarakat, yaitu sebagai tokoh agama yang harus menyuarakan keberagaman yang moderat di dalam konsepsi Islam yang disebut Islam wasathiyah. Semua tokoh agama bisa saling bahu-membahu untuk bekerja sama dalam koridor kerukunan dan kedamaian umat," ujar Dr. H. Nawawi kepada BANGSAONLINE.com, Minggu (4/10).
Baca Juga: Peringatan Hari Amal Bhakti ke-76, Wakil Wali Kota Batu Serahkan Sertifikat Arah Kiblat
Menurutnya, pemahaman, sikap, dan perilaku beragama yang moderat sangat dibutuhkan oleh pemerintah dan masyarakat sebagai bagian dari upaya untuk menggerakkan wisatawan di Kota Batu. Sebab, kerukunan dan perdamaian menjadi kata kunci bagi pemerintah dan masyarakat dalam menyongsong keberagamaan yang moderat di Kota Batu.
"Misalnya dalam kasus mahasiswa Papua di Malang, meskipun banyak mahasiswa Papua yang bertempat tinggal di Kota Batu, akan tetapi sama sekali tidak terprovokasi untuk melakukan tindakan menyimpang," jelasnya.
Dirinya telah menyampaikan presentasinya di hadapan penguji dalam sidang terbuka pada Program Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya pada 28 September 2020 melalui Meeting Zoom. Saat usai ujian terbuka, dirinya resmi dinobatkan menjadi doktor yang ke-621 UIN Sunan Ampel.
Baca Juga: Forum Silaturahmi Doktor Indonesia se-Jawa Timur Dikukuhkan
Adapun para penguji dalam ujian terbuka program doktor tersebut antara lain Prof. Dr. Aswadi Syuhadak, M.Ag., Direktur PPS UIN Sunan Ampel sebagai pimpinan sidang, dan Dr. Rofhani sebagai sekretaris.
Sementara, Prof. Dr. Nur Syam, M.Si. dan Prof. Masdar Hilmy Rektor UIN Sunan Ampel, Ph.D sebagai promotor. Selan itu, juga didampingi oleh Prof. Mas'ud Said, Ph.D, Direktur PPs Unisma Prof. Dr. Biyanto, dan Khoirun Ni'am, Ph.D sebagai penguji utama.
Yang menarik, dalam ujian yang dilakukan melalui saluran Meeting Zoom itu, ia didampingi oleh berbagai tokoh umat beragama dari Kota Batu. Para tokoh agama tersebut hadir secara offline di ruang ujian, di Kantor Kementerian Agama Kota Batu.
Baca Juga: M. Mas'ud Said: Poin Penting Pidato KH Afifudddin: Pancasila Bukan Penghalang Penerapan Syariah
Dalam disertasi ini, Nawawi menggunakan pendekatan kualitatif dengan memanfaatkan perspektif fenomenologi, yaitu teori konstruksi sosial Peter L. Berger dan Thomas Luckman. Selain itu, peneliti juga melakukan wawancara mendalam dan pengamatan secara terlibat dalam penelitian pada masyarakat di Kota Batu.
Teknik penelitian ini dapat dilakukan dengan mudah oleh peneliti, sebab dirinya memiliki banyak jaringan yang kuat dan tokoh-tokoh agama di Kota Batu. Sebagai Kepala Kankemenag tentu memiliki kesempatan yang cukup banyak untuk bertemu dalam berbagai forum dengan para tokoh agama.
Teori yang digunakan Dr. Nawawi untuk membedah proses dan makna gerakan moderasi beragama pada masyarakat inklusif Kota Batu adalah teori Peter L. Berger dan Thomas Luckman. Ia katakan, bahwa teori konstruksi sosial mengandaikan bahwa ada dialog antara subyek dan obyek. Ia juga menyampaikan berdasarkan jawaban dari peneliti, bahwa masyarakat sebagai kenyataan obyektif dan sekaligus juga kenyataan subyektif.
Baca Juga: Ribuan Siswa Madrasah di Batu Terima Kenaikan Dana BOS
"Ada tiga momen dialektika subyek-obyek tersebut, yaitu momen eksternalisasi atau proses penyesuaian diri dengan dunia sosial, lalu momen obyektivasi atau interaksi diri dengan dunia sosial, dan momen internalisasi atau momen identifikasi diri di dalam dunia sosial. Di dalam momen ini terdapat institusionalisasi, sosialisasi dan habitualisasi yang terjadi di dalam kehidupan diri di dalam masyarakat," terangnya.
"Faktor penting yang mengikat kerukunan umat beragama adalah relasi antara agama dan budaya yang bercorak simbiosis. Relasi harmonis antar umat beragama tersebut dibingkai oleh relasi antara agama dan budaya, yaitu pemanfaatan tradisi masyarakat lokal yang bersubstansi agama," terangnya.
"Di antara tradisi tersebut adalah tradisi wewehan atau tradisi saling memberi makanan antar umat beragama. Selain itu, juga ada tradisi sambatan yaitu kebiasaan masyarakat untuk saling menolong dalam membuat rumah, atau pelaksanaan upacara keagamaan. Tradisi anjangsana yaitu tradisi untuk saling berkunjung dan bertemu antara satu tokoh agama dengan lainnya. Tak hanya itu, juga terdapat tradisi pangrukti layon, bari'an, sayan, bersih desa dan bakti sosial," tuturnya.
Baca Juga: Kemenag Imbau UMKM Mengurus Sertifikat Halal
Dalam sesi tanya-jawab pun, Dr. Nawawi mengaku mampu menjawab pertanyaan demi pertanyaan para penguji. Saat itu, ia menyampaikan bahwa masyarakat inklusif Kota Batu memang memiliki ciri khas dalam tradisinya. Sementara, tradisi tersebut tidak hanya dilakukan oleh umat Islam tetapi juga oleh masyarakat beragama lain.
"Tradisi wewehan itu diberikan kepada pemeluk agama lain bukan hanya khusus dalam agama yang sama, demikian pula tradisi anjangsana juga terhadap pemeluk agama lain, bahkan di dalam sebuah rumah tangga bisa saja terdiri dari berbagai pemeluk agama," kata Nawawi.
Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa dalam penelitian kualitatif, maka tidak ada upaya generalisasi. Adapun kesimpulan hanya berlaku untuk wilayah Batu, tapi bisa saja terdapat transferability pada daerah lain. Misalnya di Jawa Tengah, tetapi dengan setting sosial dan kultural yang nyaris sama. Sementara, menjawab pertanyaan mengenai pernyataan sikap terhadap ungkapan Menag tentang radikalisme di masjid, ia mengatakan bahwa ungkapan Menag berlaku pada hal khusus bukan berlaku secara umum.
Baca Juga: Layani Pranikah di Masa Pandemi, KUA Batu Lakukan Bimbingan Secara Online
"Jadi hanya khusus orang yang good looking tetapi yang mengajarkan radikalisme dan bukan untuk seluruh yang berbahasa Arab baik dan hafal al-Qur'an," imbuhnya.
Ia juga mengatakan bahwa penyangga moderasi beragama pada masyarakat inklusif Kota Batu tersebut didasari oleh tiga hal, yaitu persepsi, pemahaman dan kesadaran individu, budaya dan tradisi serta peran agen.
"Persepsi, pemahaman dan kesadaran individu yang bercorak moderat, kemudian budaya tradisi yang menjadi perekat di dalam pergaulan, serta keberadaan agen yang terus menerus membina kerukunan beragama, seperti kelompok Gusdurian, FKUB, para Tokoh Agama dan kebijakan publik yang mendukung terhadap terbentuknya masyarakat inklusif yang menghargai kerukunan dan harmoni merupakan pondasi bagi terlaksananya gerakan moderasi beragama," pungkasnya. (asa)
Baca Juga: Putri Mantan Ketum Ikasa KH Masykur Hasyim Raih Gelar Doktor, Ini Kata Rektor UINSA
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News