Oleh: M Mas’ud Adnan --- Kerusuhan politik yang dilakukan pendukung fanatik Presiden Donald Trump menelan banyak korban jiwa. Setidaknya, empat pendukung Trump dan dua polisi dikabarkan meninggal dunia terkait aksi demo anarkis di Gedung Capitol, Rabu (6/1/2021). Para pendukung Trump berusaha menghalangi para peserta kongres yang akan menetapkan Joe Bidden sebagai presiden AS yang baru.
Trump tak mau menerima kekakalan pilpres atas rival politiknya, Joe Bidden. Ia menghalalkan segala cara untuk bertahan di Gedung Putih, termasuk mengerahkan para pendemo anarkis ke Gedung Capitol, meski para peserta kongres akhirnya menetapkan Bidden sebagai presiden AS yang baru.
Baca Juga: Pemimpin Psikopat
PRESIDEN AS TERBURUK
Siapa dan bagaimana sepak terjang Presiden Donald Trump, tertuang gamblang dalam buku How Democracies Die. Buku yang ditulis guru besar dan ilmuwan politik Universitas Harvard, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, itu bahkan menyebut Trump sebagai ‘demagog ekstremis’. Saya baca buku ini edisi Indonesianya.
Demagog adalah pemimpin yang piawai menghasut dengan cara memprovokasi naluri massa. Sedang ekstremis adalah orang yang melampaui batas – termasuk hukum, aturan, norma, moral dan sebagainya – untuk mencapai sesuatu. Jadi Trump adalah presiden yang piawai menghasut massa dengan cara-cara menerabas hukum, norma, dan moral yang sudah menjadi konsensus bersama.
Baca Juga: Temui Pengusaha di Vietnam, Jokowi Ajak untuk Berinvestasi di IKN
Maka Trump pun tercatat sebagai presiden terburuk dalam sejarah AS. Tapi Trump bukan satu-satunya presiden AS yang digelari terburuk. George W Bush juga pernah disebut sebagai presiden AS terburuk karena dikenal sebagai pembunuh berdarah dingin terhadap rakyat Palestina.
Tapi Trump memang sangat ototiter sejak awal menjabat. Dia menyebut media sebagai “musuh rakyat Amerika”. Ia juga mempertanyakan legitimasi hakim dan mengancam memotong pendanaan federal ke kota-kota besar.
Karena itu, menurut penelitian Shorenstein Center on Media, Politics, and Public Policy, 80 persen berita tentang Trump sangat negatif. Bandingkan dengan presiden-presiden AS sebelumnya. Clinton yang 60 persen, George W Bush 57 persen dan Obama 41 persen.
Baca Juga: Jaksa Khusus Kasus Dugaan Korupsi Anak Presiden
Namun, meski sepak terjangnya menghalalkan segala cara, ia – seperti demagog yang lain – tetap mendapat dukungan dari pendukung fanatiknya. Gaya Trump yang urakan dan ucapan-ucapannya yang sering kotor tak menoggoyahkan para pendukungnya yang kemungkinan punya karakter sama dengan sang demagog ekstremis.
KEGAGALAN PARTAI POLITIK
Buku How Democracies Die yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Bagaimana Demokrasi Mati” itu juga mengungkapkan bahwa naiknya Trump ke tangga presiden juga akibat kegagalan partai politik, terutama Partai Republik, tempat Trump berkiprah.
Baca Juga: Hebatnya Jurnalisme The New York Times dalam Tragedi Titan
“Di Amerika Serikat, untuk pertama kali dalam sejarah, seorang tanpa pengalaman sebagai pejabat publik, tanpa banyak komitmen terhadap hak-hak konstitusional, dan dengan kecenderungan otoriter yang jelas, dipilih menjadi presiden,” demikian tertulis dalam buku best seller dunia itu.
Menurut buku yang banyak dibaca kalangan intelektual di berbagai Negara itu, “Amerika Serikat gagal di tes pertama pada November 2016, ketika kami memiliki seorang presiden yang diragukan kesetiaannya kepada norma-norma demokrasi. Kemenangan mengejutkan Donald Trump bukan hanya dimungkinkan oleh kekecewaan publik, melainkan juga kegagalan Partai Republik AS mencegah demagog esktremis di dalamnya mendapat pencalonan.”
Trump memang dianggap telah membunuh demokrasi di AS. Celakanya, ternyata di AS tidak hanya Trump yang otoriter dan menghalalkan segala cara, tapi juga para politikus lain.
Baca Juga: Korupsi Rp 1 Triliun, Tangan Ketua DPRD Diborgol
“Ya, kami khawatir. Para politikus Amerika Serikat sekarang memperlakukan pesaing sebagai musuh, mengintimidasi pers, dan mengancam akan menolak hasil pemilihan umum,” tulis buku populer itu.
Sejarah mencatat, Trump tidak hanya membunuh demokrasi AS tapi juga mempermalukan negerinya sendiri yang selama ini terlanjur dijuluki sebagai champion of democracy.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News