Oleh: M. Aminuddin --- Peneliti Senior Institute for Strategic and Development Studies (ISDS)
--- Di awal tahun 2021 ini Kemendikbud telah merelease tekadnya untuk melanjutkan apa yang disebutnya sebagai transformasi pendidikan dan pemajuan kebudayaan melalui empat strategi utama Kemendikbud. Pertama, pembangunan infrastruktur dan teknologi; kedua, penguatan kebijakan, prosedur, dan pendanaan; ketiga, penguatan kepemimpinan, masyarakat, dan kebudayaan; serta keempat, penguatan kurikulum, pedagogi, dan asesmen.
Baca Juga: Di SMA Award 2024, Pj Gubernur Jatim Minta Konsisten Berprestasi Tingkat Nasional dan Internasional
Untuk itu, prioritas apa yang disebut Mendikbud sebagai Merdeka Belajar 2021 akan berfokus pada beberapa prioritas. Pertama, pembiayaan pendidikan di antaranya Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah dengan target 1,095 juta mahasiswa, KIP Sekolah dengan target 17,9 juta siswa, layanan khusus pendidikan masyarakat dan kebencanaan dengan target 42.896 sekolah, tunjangan profesi guru dengan target 363 ribu guru, dan pembinaan Sekolah Indonesia Luar Negeri (SILN), dan bantuan pemerintah kepada 13 SILN dan 2.236 lembaga.
Fokus selanjutnya pada Merdeka Belajar 2021 adalah program digitalisasi sekolah dan medium pembelajaran melalui empat sistem penguatan platform digital, delapan layanan terpadu Kemendikbud, kehumasan dan media, 345 model bahan ajar dan model media pendidikan digital, serta penyediaan sarana pendidikan bagi 16.844 sekolah. Prioritas selanjutnya adalah pembinaan peserta didik, prestasi, talenta, dan penguatan karakter. Prioritas ini akan diciptakan melalui tiga layanan pendampingan advokasi dan sosialisas penguatan karakter, pembinaan peserta didik oleh 345 pemerintah daerah, serta peningkatan prestasi dan manajemen talenta kepada 13.505 pelajar.
Selanjutnya,pada 2021 Kemendikbud menargetkan akan melakukan pendidikan kepada 19.624 guru penggerak, sertifikasi terhadap 10.000 guru dan tenaga kependidikan, rekrutmen guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) oleh 548 pemerintah daerah, serta penjaminan mutu,sekolah penggerak, danorganisasi penggerak kepada 20.438 orang guru. Sebagai prioritas berikutnya, dalam peningkatan kurikulum dan asesmen nasional Kemendikbud akan melakukan pelatihan kurikulum baru kepada 62.948 guru dan tenaga kependidikan, pendampingan dan sosialisasi implementasi kurikulum dan asesmen di 428.957 sekolah, mengembangkan 4.515 model kurikulum dan perbukuan, dan akreditasi dan standar nasional pendidikan di 94.912 lembaga.
Baca Juga: Tingkatkan Literasi Siswa, Khofifah Dorong Inovasi Digital di Perpustakaan
Keenam, dalam revitalisasi pendidikan vokasi, Kemendikud mengumumkan akan merevitalisasi 900 SMK yang berbasis industri 4.0, akan melakukan dukungan dan percepatan link and match dan kemitraan dengan 5.690 orang dan 250 dunia usaha dan dunia industri (DUDI), dukungan pencapaian indeks kinerja utama pada 47 Perguruan Tinggi Negeri Vokasi, akan melakukan pendidikan kecakapan kerja dan pendidikan kecakapan kewirausahaan kepada 66.676 orang, penguatan pendidikan tinggi vokasi pada 200 program studi, sertifikasi kompetensi kepada 300 orang dosen, penguatan pendidikan PNBP/BLU kepada 75 perguruan tinggi, dan penguatan sarana prasarana di delapan perguruan tinggi. Prioritas yang tak kalah pentingnya adalah Kampus Merdeka.
Kemendikbud mendukung sepenuhnya pencapaian indeks kinerja utama (IKU) bagi 75 PTN (BOPTN), peningkatan kelembagaan pendidikan tinggi, competitive fund dan matching fun bagi Perguruan Tinggi Negeri maupun Perguruan Tinggi Swasta, peningkatan kualitas SDM, peningkatan kualitas pembelajaran dan kemahasiswaan sehingga tercipta 50 ribu mahasiswa berwirausaha 400 ribu mahasisa Kampus Merdeka, 660 program studi terkait inovasi pembelajaran digital, serta pengembangan kelembagaan perguruan tinggi.
Secara umum rencana aksi Kemendikbud 2021 di atas sudah berusaha menjawab problema yang muncul beberapa tahun terakhir. Di antara tantangan itu menghadapi meluasnya digitalisasi di dunia usaha dan dunia kerja. Saat ada sebagian kelompok orang menyebutnya era revolusi industri 4.0. Revolusi tersebut memberikan tantangan dan peluang bagi perkembangan perekonomian ke depan. Di satu sisi, digitalisasi, otomatisasi, dan penggunaan kecerdasan buatan dalam aktivitas ekonomi yang banyak mengurangi tenaga kerja manusi. Hanya sebagian kecil orang memiliki keahlian tertentu yang bisa terserap di sektor kerja ini.
Baca Juga: PT Megasurya Mas Beri CSR Beasiswa untuk 356 Siswa di Sidoarjo
Namun di sisi lain, perkembangan revolusi industri 4.0 berpotensi menimbulkan menyempitnya lapangan kerja. Studi dari Mckinsey memperkirakan 60 persen jabatan pekerjaan akan tergantikan oleh otomatisasi. Di Indonesia diperkirakan 51,8 persen potensi pekerjaan yang akan hilang. Di samping itu, tumbuhnya berbagai aktivitas bisnis dan jual beli berbasis online belum dibarengi dengan upaya pengoptimalan penerimaan negara serta pengawasan kepatuhan pajak atas transaksi transaksi tersebut. Hal ini penting mengingat transaksi digital bersifat lintas negara.
Sementara dunia pendidikan banyak dihadapkan tuntutan penguasaan teknologi informatika sejalan meningkatnya digitalisasi di sektor dunia usaha atau lapangan kerja sebagian masalah kesenjangan pendidikan masih banyak belum teratasi. Fasilitas pendidikan belum mampu disediakan merata di seluruh pelosok tanah air, termasuk di daerah terpencil dan kepulauan, biaya pendidikan juga dinilai masih mahal setidaknya bebas biaya sekolah belum merata terutama pada lembaga pendidikan seperti madrasah.
Masih banyaknya penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan merupakan salah satu kendala utama terbatasnya partisipasi pendidikan di Indonesia. Data Susenas tahun menunjukkan bahwa sekitar 75 persen dari penduduk usia sepuluh tahun ke atas yang putus sekolah menyebutkan bahwa ketidakmampuan secara ekonomi yang menyebabkan mereka harus putus sekolah. Bahkan, masih cukup banyak anak-anak dari keluarga miskin harus membantu orang tuanya bekerja mencari nafkah.
Baca Juga: Merdeka Belajar akan Terkubur?
Meskipun tingkat pendidikan penduduk Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, sampai tapi data menunjukkan rata-rata lama sekolah penduduk berusia 15 tahun ke atas yang baru mencapai 7,1 tahun atau hanya menyelesaikan kelas I jenjang sekolah menengah pertama (SMP) atau yang sederajat. Pada saat yang sama angka buta aksara penduduk usia 15 tahun ke atas juga masih sebesar 10,12 persen.
Jika dilihat dari partisipasi pendidikan penduduk, tampak bahwa pada tahun 2003 angka partisipasi sekolah (APS) penduduk usia 7 – 12 tahun sudah mencapai 96,8 persen (Susenas 2003). Hal tersebut berarti bahwa dari setiap 100 anak usia 7 – 12 tahun, sekitar 97 di antaranya sedang bersekolah, baik di SD/MI maupun sudah di SMP/MTs. Meskipun demikian APS penduduk usia 13 – 15 tahun baru mencapai 81,58 persen, dan APS penduduk usia 16 – 18 tahun sebesar 50,65 persen. Dengan demikian, baru sekitar 82 anak dari 100 anak usia 13 – 15 tahun dan hanya sekitar separuh anak usia 16 – 18 tahun yang dapat mengakses pendidikan. Keadaan itu tentunya masih menjadi permasalahan pendidikan yang harus diselesaikan.
Di samping itu, kesenjangan tingkat keaksaraan dan partisipasi pendidikan antarkelompok masyarakat juga masih terjadi, seperti antara penduduk kaya dan miskin, antara penduduk laki-laki dan perempuan, antara penduduk di perkotaan dan perdesaan, dan antardaerah. Kesenjangan yang paling besar terjadi antara kaya dan miskin.
Baca Juga: Jatim Dominasi Kota/Kabupaten Predikat 10 Terbaik Digital Government Award SPBE Summit 2024
Sebagai contoh, pada saat APS penduduk usia 13 – 15 tahun dari kelompok terkaya (20 persen penduduk) sudah mencapai 93,98 persen, APS 20 persen penduduk termiskin baru mencapai 67,23 persen. Bahkan, untuk kelompok usia 16 – 18 tahun APS kelompok penduduk termiskin hanya sekitar sepertiga APS kelompok terkaya. Pada tahun yang sama angka melek aksara penduduk 15 tahun ke atas untuk kelompok termiskin baru mencapai 83,1 persen dan untuk kelompok terkaya sudah mencapai 95,99 persen.
Sebagian penduduk tidak dapat menjangkau biaya pendidikan yang dirasakan masih mahal dan pendidikan juga dinilai belum sepenuhnya mampu memberikan nilai tambah bagi masyarakat sehingga pendidikan belum dinilai sebagai bentuk investasi.
Kesenjangan tingkat pendidikan penduduk perkotaan dan perdesaan juga cukup besar. Hal tersebut disebabkan, antara lain, oleh ketersediaan fasilitas pelayanan pendidikan, khususnya untuk jenjang pendidikan menengah pertama ke atas yang belum merata khususnya di daerah terpencil dan kepulauan. Di samping itu, fasilitas dan layanan pendidikan khusus bagi anak-anak yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa belum tersedia secara memadai.
Baca Juga: Khofifah Ajak Guru Jatim Bangun Generasi Cinta Damai dengan Ciptakan Suasana Harmoni di Sekolah
Sementara itu, kualitas pendidikan juga masih rendah dan belum mampu memenuhi keperluan peserta didik dan pembangunan, yang terutama disebabkan oleh (1) kurang dan belum meratanya pendidik dan tenaga kependidikan, baik secara kuantitas maupun kualitas; (2) belum memadainya ketersediaan fasilitas belajar terutama buku pelajaran dan prasarana penunjang termasuk peralatan peraga pendidikan; (3) belum berjalannya sistem kendali mutu dan jaminan kualitas pendidikan, dan (4) belum tersedianya biaya operasional yang diperlukan untuk pelaksanaan proses belajar mengajar secara bermutu.
Data yang diperoleh dari Kemendikbud dan Kemenag mengungkapkan bahwa secara kuantitatif fasilitas layanan pendidikan sudah cukup baik dengan rasio murid per ruang kelas sebesar 26 untuk SD/MI, 37 untuk SMP/MTs, dan 39 untuk SMA/SMK/MA. Pada saat yang sama rasio murid per guru adalah 20 untuk SD/MI, 14 untuk SMP/MTs dan 13 untuk SMA/SMK/MA.
Meskipun demikian, masih terjadi kesenjangan ketersediaan guru terutama antarwilayah perdesaan dan perkotaan. Dengan sistem insentif yang belum membedakan tingkat kesulitan, pendidik cenderung lebih menyukai mengajar di wilayah perkotaan.
Baca Juga: Pramuka Tak Lagi Wajib, Kwarda Jatim segera Surati Mendibudristek
Selain itu, kualitas pendidik yang ada juga masih belum sepenuhnya baik. Data juga menunjukkan bahwa masih banyak guru yang belum memiliki kualifikasi pendidikan seperti yang disyaratkan. Sebagai gambaran, untuk jenjang SD/MI/SDLB yang mensyaratkan guru memiliki kualifisikasi minimal lulus Diploma II ternyata baru dimiliki oleh sekitar 60 persen guru, sedangkan untuk guru jenjang SMP/MTs/SMPLB syarat kualifikasi minimal lulus Diploma III atau lebih juga baru dipenuhi oleh 75 persen guru.
Apabila ditelaah lebih lanjut, diketahui bahwa masih cukup banyak guru yang mengajar tidak sesuai dengan latar belakang bidang ilmu yang dimiliki. Untuk jenjang SMP/MTs masih terdapat 16,6 persen guru yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan mereka.
Sementara itu, untuk jenjang sekolah menengah masih terdapat ketidaksesuaian sebanyak 12,7 persen untuk SMA/MA/SMLB dan 15,2 persen untuk SMK. Dengan adanya Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang mensyaratkan kualifikasi pendidikan yang lebih tinggi, makin banyak pendidik di semua jenjang pendidikan yang belum memenuhi persyaratan.
Baca Juga: Gandeng UI, Pesantren Algebra Bogor Optimistis Cetak Saintis dan Pemimpin Masa Depan
Dari Data yang ada dewasa ini disebutkan bahwa mayoritas SMA dan SMK belum punya laboratorium IPA. Laporan itu juga mencatat bahwa dari sekitar 1,7 juta ruang kelas di seluruh Indonesia, sekitar 1,2 juta atau 69 persen di antaranya tergolong rusak. Berikut rinciannya. Sekitar 57,2 persen gedung SD/MI dan sekitar 27,3 persen gedung SMP/MTs mengalami rusak ringan dan rusak berat. Gedung SD/MI yang dibangun secara besar-besaran pada saat dimulainya Program Inpres SD tahun 1970-an dan Program Wajib Belajar Enam Tahun pada tahun 1980-an sudah banyak yang rusak berat yang diperburuk dengan terbatasnya biaya perawatan dan perbaikan.
Pada saat yang sama, sebagian besar sekolah belum memiliki prasarana penunjang mutu pendidikan seperti perpustakaan dan laboratorium. Dari semua sekolah yang terjaring dalam survei pendidikan yang pernah dilakukan Kemendikbud Memperlihatkan dari 159.132 SD/MI, hanya 30,78 persen sekolah yang memiliki perpustakaan. Di samping itu, kondisi prasarana penunjang yang ada pun cukup banyak yang telah rusak. Ruang laboratorium pada jenjang SMP/MTs yang mengalami kerusakan ringan dan berat berkisar antara 8,4 persen untuk laboratorium komputer dan 22,3 untuk laboratorium IPS. Sementara itu, ruang laboratorium pada jenjang SMA/MA sekitar 30 persen juga mengalami kerusakan.
Persoalan kurangnya sarana pendidikan dan rusak merupakan sangat serius yang mendesak harus di tangani karena sangat mendasar dalam mempengaruhi kelangsungan pendidikan sudah pasti berdampak pada kualitasnya. Secara sepeintas banyak yang memandang problema sarana pendidikan banyak timpang dan kurang karena sedikitnya dana yang di miliki pemerintah.
Padahal sebenarnya jika rinci anggaran pendidikan sangatlah besar. UUD 45 telah menggariskan 20% dari APBN. Jika dalam satu tahun rata-rata Rp 2500 trilynn maka seharusnya ada sekitar Rp 500 trilyun pertahun dana pendidikan, suatu angka sangat besar untuk pembiayaan infrastrutur pendidikan dan juga pemenuhan sumberdaya gurunya. Ini belum lagi adanya alokasi pendidikan dari Pemprov dan Pemda.
Tapi persoalannya ini karena banyak anggaran di alokasikan hal-hal yang kurang urgen banyak dana-dana yang tersedot untuk acara-acara seremonial yang sebenarnya bisa diefisienkan atau bahkan dihilangkan seperti pelatihan, dsb.
Dalam konteks seperti itu tepat Mendikbud menjelang penghujung 2020 segera menghentikan Program Organisasi Penggerak (POP) yang menuai kecaman keras dari masyarakat terutama Ormas besar yang memiliki jaringan nasional pendidikan yang luas seperti PGRI, NU, Muhamadiyah, dsb. Sebab jika teruskan banyak ini akan menyedot banyak anggaran yang seharusnya dialokasikan bagi sarana pendidikan yang kurang memadai atau rusak.
Tanpa program POP Kemendikbud Saja sudah banya kelas kosong di hari jam pelajaran sekolah karena ditinggal gurunya acara serimonial di luar terutama sertifikasi dan pelatihan. Jika dihitung hari efektif masuk sekolah jam pelajaran kosong karena ditinggal guru mengikuti pelatihan sejenisnya, dalam satu tahun kalender akademik mencapai sekitar 60 hari atau dua bulan. Apalagi jika POP tetap diadakan. Uang dana POP bisa menguras ratusan milyar bahkan trilyun tapi malah siswa justru makin banyak kehilangan haknya mendapat pengajaran.
Oleh karena itu ke depan yang ditunggu dari kebijakan baru Kemendikbud bagaimana membuat kebijakan tepat sasaran biaya pendidikan terjangkau, kesenjangan pendidikan berkurang berikut sarana-prasarana dan tenaga pengajarnya. Hak-hak murid mendapat pengajaran makin terpenuhi dengan mengurani kegiatan serimonial dan pelatihan sejenisnya. Kegiatan Pelatihan, sertifikasi dan POP pendidikan bisa di lanjutkan dalam bentuk Online di luar jam sekolah dengan biaya seminimal mungkin karena tak perlu sewa hotel, konsumsi bea transport, dsb. Hanya dengan begini pendidikan di Indonesia makin maju dan berkeadilan.......!!
Sampai saat ini, belum semua peserta didik dapat mengakses buku pelajaran baik dengan membeli sendiri maupun dengan meminjam dari sekolah. Keterbatasan buku itu secara langsung berdampak pada sulitnya anak menguasai ilmu pengetahuan yang dipelajari. Kecenderungan sekolah untuk mengganti buku setiap tahun ajaran baru selain makin memberatkan orang tua juga menyebabkan inefisiensi karena buku-buku yang dimiliki sekolah tidak dapat lagi dimanfaatkan oleh siswa. Kesulitan menyediakan buku pelajaran antara lain menjadi salah satu penyebab membuat penyerapan pelajarannya menjadi terhambat.
Sistem kendali mutu dan jaminan kualitas pendidikan belum berjalan dengan baik antara lain disebabkan oleh belum adanya standar pelayanan pendidikan dari sisi input, proses dan outputnya. Di samping itu, sistem evaluasi mutu pendidikan juga dinilai belum sempurna.
Barangkali faktor Keterbatasan pemerintah menyediakan biaya operasional pendidikan yang memadai menyebabkan satuan pendidikan kurang dapat menyelenggarakan proses belajar-mengajar yang berkualitas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News