Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*
54. Walaqad sharrafnaa fii haadzaa alqur-aani lilnnaasi min kulli matsalin wakaana al-insaanu aktsara syay-in jadalaan
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Dan sesungguhnya Kami telah menjelaskan berulang-ulang kepada manusia dalam Al-Qur'an ini dengan bermacam-macam perumpamaan. Tetapi manusia adalah memang yang paling banyak membantah.
55. Wamaa mana’a alnnaasa an yu'minuu idz jaa-ahumu alhudaa wayastaghfiruu rabbahum illaa an ta'tiyahum sunnatu al-awwaliina aw ya'tiyahumu al’adzaabu qubulaan
Dan tidak ada (sesuatu pun) yang menghalangi manusia untuk beriman ketika petunjuk telah datang kepada mereka dan memohon ampunan kepada Tuhannya, kecuali (keinginan menanti) datangnya hukum (Allah yang telah berlaku pada) umat yang terdahulu atau datangnya azab atas mereka dengan nyata.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
TAFSIR AKTUAL
Ayat sebelumnya berbicara soal keadaan sebenarnya para penyembah selain Tuhan ketika di akhirat nanti. Mereka diringkus di neraka, baik yang menyembah maupun yang disembah. Jika yang disembah itu berupa batu, maka berhala batu itu menjadi bahan bakar yang membakar penyembahnya. Jika berupa manusia, maka sesuai keadaan aslinya saat di dunia dulu.
Pertama, bila manusia yang disembah itu menerima dirinya sebagai sesembahan selain Allah SWT, maka dihajar juga di neraka bersama para pemujanya. Jika dia menolak disembah, tetapi penyembahnya sendiri yang ngotot dan ndablek, maka dia bebas dan hanya penyembahnya saja yang disiksa.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Contohnya nabi Isa A.S. yang dalam dialog dengan Tuhan, Isa menyatakan menolak dipertuhankan. Hanya mereka yang ngotot. “Sungguh sudah kami perintahkan hanya menyembah Allah SWT saja, titik, jangan yang lain. Tapi mereka tetap berlaku bodoh."
Begitu serunya Tuhan menginterograsi Isa anak Maryam tersebut hingga Isa tega berkata agak tegas kepada Tuhan. “Ya Tuhan, engkau sungguh maha tahu bahwa saya tidak pernah menyuruh mereka menyembah kami. Kenapa masih menanya-nanya kami begitu. Ampunilah kami dan ampunilah kaum kami..” (al-maidah:117-118).
SABAB NUZUL
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
Cukup varian sabab nuzul ayat kaji ini, antara lain:
Pertama, secara umum, ayat kaji ini turun mengenai tokoh-tokoh kafir yang banyak mendebat Nabi Muhammad SAW soal keimanan. Seperti al-Nadlr ibn al-Haris yang getol sekali mencari-cari kelemahan al-Qur’an. Maklum, di samping kaya, dia ilmuwan yang banyak pengalaman, utamanya sastra arab dan sering melakukan kajian ke luar negeri dan berdialog dengan pendeta-pendeta senior.
Juga Ubay ibn Khalaf, tokoh kharismatik yang dituakan di kabilahnya. Ya, tapi upaya mereka merecoki al-qur’an dan mengolok-olok nabi tidak menghasilkan apa-apa. Malah dihabisi oleh al-qur’an, diungkap rahasianya dan dimentalkan hujjahnya, sehingga mereka dipermalukan di hadapan kaumnya sendiri.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman
Kedua, secara khusus terkait pribadi Ali ibn Abi thalib yang mendalili Nabi Muhammad SAW, si mertua sendiri ketika beliau mengontrol agar Ali bangun dan shalat malam. Ceritanya begini:
Rasulullah SAW itu pribadi yang sangat perhatian kepada keluarga, tidak hanya urusan dunia, bahkan urusan akhirat lebih dipentingkan. Suatu malam, Nabi SAW mengetuk pintu rumah Ali ibn Abi Thalib yang kala itu sudah menjadi menantunya, sudah menjadi suami Fathimah R.A.: “Ala tushallun...”, apa kalian sudah shalat nak...?”. Begitu tanya Nabi dari depan pintu yang tertutup.
Ali ibn Abi Thalib paham betul kalau yang mengetuk pintu itu Rasululah SAW, lalu menjawab dari dalam rumah dengan suara yang bisa jelas terdengar oleh beliau: ”Ya Rasulallah, sesungguhnya diri kami (berdua bersama Fathimah) ada di genggaman tangan Tuhan. Jika Tuhan menghendaki kami bangun dan shalat malam, maka shalatlah kami”.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman
Rupanya Ali ibn Abi Thalib agak gengsi ketika diingatkan oleh mertuanya agar bangun dan shalat malam. Mungkin karena sedang asyik bercumbu bersama istri tercinta, Fathimah atau apa. Sehingga alasannya sok religious dan sufi. Merasa dirinya sudah menyatu di tangan Tuhan dan urusan bangun malam atau tidak adalah kehendak Tuhan.
Ali yang mengintip dari dalam di balik daun pintu melihat Rasulullah SAW lantas bergegas balik pulang setelah mendengar jawaban tersebut. Ali melihat Nabi SAW memukul-mukul pahanya sendiri, pertanda kecewa atas kata-kata itu. Tapi tidak membantah dan tidak meladeni. Tidak pula tersinggung walau jelas-jelas “digurui” oleh Ali. Kekecewaan beliau dilampiaskan dengan membaca ayat ini sambil berlalu. “wa kan al-insan aktsar sayi’in jadala...”. Dasar manusia banyak alasan.
Terbaca, bahwa betul-betul Rasulullah itu mertua yang hebat, masih sempat-sempatnya mengontrol anak dan menantunya shalat malam. Rupanya nabi tidak ingin anaknya, menantunya yang masih tergolong pasangan muda itu terlena dalam asyiknya dekapan malam. Jangan sampai kenikmatan biologis itu mengganggu keistiqamahan shalat malam, walau hanya sekali.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani
Tapi sayang, yang muda yang masih tenggelam dalam asmara kurang menerima bimbingan religius dengan sejuta alasan. Sesungguhnya sikap Ali ibn Abi Thalib itu manusiawi sekali. Tapi bagi derajat anak dan menantu nabi tidak boleh demikian. Harus di atas rata-rata ibadah manusia biasa.
Begitulah, jika tuan menjadi orang tua, mertua, maka turunlah mengurus ibadah anak-anak dengan bijak. Kontrollah keagamaan mereka. Jika dia pengusaha, orang kaya, maka ingatkan zakatnya, suruh perbanyak sedekahnya. Jika anak tuan menjabat, maka ingatkan kejujuran dan amanahnya. Jika anak tuan ilmuwan, maka doronglah aktif dan ikhlas mengajar.
Syukur-syukur seperti Nabi SAW hingga berkenan mengetuk pintu anaknya malam-malam, hanya demi membangunkan mereka untuk shalat. Padahal shalat malam, tahajjuddan, sebagainya itu hanya berhukum Sunnah.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Dua Nabi, Bapak dan Anak
Begitu halnya ketika anda sebagai anak. Maka bersyukurlah mempunyai orang tua, mertua yang aktif mengingatkan anda dalam berbuat kebajikan, dalam beribadah dan amal shalih. Jangan menggerutu dan jangan banyak alasan. Relalah dan terimalah, meski hati anda tidak menerima. Diam dan jangan sampai mengeluarkan kata-kata menyakitkan. “Sudah tua mbok yo diam saja. Gini salah, gitu salah. Begini nggak boleh, begitu nggak boleh... dst.”. Itu menyakitkan dan dosa, ‘uquq al-walidain.
Ketiga, ayat kaji ini mengabarkan orang-orang kafir di akhirat yang tidak terima dan mengingkari data amal yang diperlihatkan. Kelak, masing-masing manusia diberi buku catatan amal yang lengkap dan sangat detail. Orang beriman membacanya dan tersenyum gembira, karena hasilnya baik dan surga tempatnya. Senang sekali kayak anak sekolah menerima rapor dan dinyatakan naik kelas.
Sebaliknya orang kafir dan manusia durhaka. Membaca buku sendiri dengan wajah muram dan mengingkari. “Ah, ini tidak mungkin, tidak mungkin, dan aku tidak bisa menerima...”. Lalu protes kepada Tuhan dan mendebat banyak-banyak.
Tuhan berkata: ”Lho, itu rekapan amalmu yang dibukukan malaikat Raqib dan Atid. Aku hanya menerima data dari mereka...”. Kafir membantah: ”Ya, itu kan versi Raqib dan Atid, bukan saya yang menulis. Itu ngawur dan tidak begini. Saya beriman kepada-MU, kepada Rasul-Mu, saya shalat, saya sedekah, dan lain-lain, pokoknya saya tidak bisa menerima, titik.”
Sejenak Tuhan mengalah dan tidak meladeni, lalu memanggil Lauh Mahfudh, pusat data amal semua makhluq. “Hai Lauh Mahfudh, coba periksa catatan amal si Fulan ini. Dan hasilnya sama dengan buku salinan yang diberikan tadi."
Setelah dicocokkan, Tuhan berkata: ”Lho kan. Gimana, sama kan? Kami-kami ini tidak mengada-ada dan tidak pernah berbuat curang."
Tapi si kafir tetap ngotot: ”Ya, tapi kan bukan dari saya sendiri. Saya tidak begitu, tidak pernah saya berbuat begitu”.
Tuhan mengalah sejenak dan bertanya kepada tangan si kafir: ”Hai tangan, berkatalah jujur di hadapan tuanmu sendiri. Apa yang pernah kamu berbuat selama di dunia...?." Tangan itu mengatakan dengan jujur persis seperti yang tertulis di dalam buku.
Tuhan berkata: ”Piye Dul?... Sudah dengar sendiri kan, pengakuan tanganmu..?”. Si Kafir itu tetap membantah. Lalu kaki yang disuruh bicara. Lantas kepala, kemaluan, mata, dan seterusnya. Kecuali mulut yang membisu karena dikunci. Akhirnya si kafir diam kehabisan alasan. Itulah makna, "wa kan al-insan aktsar syai’ jadala”. Manusia itu banyak alasan.
*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik Tafsir Alquran Aktual HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News