IKA PMII Jatim: Kami Kekurangan Kader Birokrat

IKA PMII Jatim: Kami Kekurangan Kader Birokrat Firman Syah Ali, S.H., M.H., Bendahara Umum IKA PMII Jatim. (foto: ist)

SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Bagaikan gayung bersambut, statement Wakil Sekretaris IKA Jatim Muslih Hasyim Sufy bahwa harus menjadi mitra kritis-strategis pemerintah, mendapat respons senada dari Bendahara Umum PW IKA Jatim Firman Syah Ali.

Pria yang akrab disapa Cak Firman ini sepakat dengan semua statement Cak Muslih tersebut, terutama tentang distribusi kader. Cak Muslih menyebut kader di eselon II Pemprov Jatim hanya dua orang, itu pun hampir pensiun, yaitu Kepala Dinas Sosial Dr. K.H. M. Alwi, M. Hum., dan Kabakorwil Malang Drs. K.H. Sjaichul Ghulam, M.M.

Baca Juga: Bang Udin, Pemuda Inspiratif Versi Forkom Jurnalis Nahdliyin

Cak Firman menambahkan bahwa ada yang lebih ironis lagi tapi Cak Muslih lupa menyebutkan. Yakni ada satu lagi Alumni di jajaran eselon II birokrasi Pemprov Jatim tapi tidak ngaku kalau bahkan kadang mengaku sebagai alumnus OKP lain. Sedangkan di jajaran eselon III sejauh ini hanya ada 1 orang.

"Biasanya setiap ada alumni berhasil menjadi menteri dan kepala daerah pasti selalu diikuti dengan ribut-ribut mencari kader di dalam organisasi pemerintahan yang sedang dia pimpin, untuk kemudian mendatangkan dari luar organisasinya. Tentu saja tidak semua alumni begitu, ada juga satu dua alumni walau menjadi menteri atau kepala daerah tidak mau ambil pusing dengan penataan kader di dalam organisasi pemerintahannya. Apalagi kepala daerah, tinggal pakai yang sudah ada beres," ucap Pengurus Harian PW LP Ma'arif NU Jatim ini, Selasa (23/3/2021).

BACA JUGA: Wakil Sekretaris IKA Jatim: Harus Jadi Mitra Kritis-Strategis Pemerintah

Ketua FP3I IPNU/IPPNU Pamekasan Periode 1993-1994 ini menganalisis defisit kader birokrat dari berbagai faktor, sebagai berikut:

Baca Juga: Gelar Halal Bihalal, PMII Sidoarjo Berharap Ada Kader yang Ikut Running di Pilkada

Pertama, faktor historis. Pada masa lalu yang tertarik untuk memasukkan anak-anaknya ke dalam instansi pemerintahan sipil maupun militer adalah orang-orang PNI, PKI, dan Masyumi, sedangkan orang-orang NU lebih tertarik anaknya jadi kiai, dosen, guru, dan pedagang.

Selain itu, anak-anak orang NU dahulu jarang bersekolah di sekolah umum, mereka rata-rata mondok, dan lulusan pondok waktu itu tidak diterima untuk masuk ke dalam instansi pemerintahan baik sipil maupun militer.

Terbukti ketika tahun 1948 pemerintah melakukan reorganisasi dan rasionalisasi yang disingkat Re-Ra, anak-anak NU secara berjemaah terlempar keluar dari instansi militer, karena mereka rata-rata tidak memiliki ijazah pendidikan umum, sedangkan anak-anak orang PNI, PKI, dan Masyumi rata-rata memiliki ijazah pendidikan umum.

Baca Juga: Percepat Target Indonesia Emas, Khofifah Ajak PMII Bangun Konsolidasi Internal dan Eksternal

Situasi ini semakin diperparah pada era Orde Baru posisi NU sangat tidak strategis alias tersingkir dari lingkaran elite kekuasaan, beda dengan kelompok selain NU yang masih dipakai oleh Presiden Soeharto. Itulah cikal-bakal kenapa NU akhirnya kekurangan kader di dalam tubuh pemerintahan.

Faktor kedua, sosial-budaya. Orang-orang NU memang punya kecenderungan menyukai gerakan spiritual dan kultural daripada struktural, sehingga tidak heran kalau mayoritas mereka tidak tertarik dengan struktur birokrasi yang sangat ketat dalam aturan, sejak dari ujung rambut hingga ujung sepatu diatur dengan undang-undang, masuk jam 7 pagi pulang jam 4 sore, seharian duduk di belakang meja menunggu perintah dan petunjuk dari atasan, itu kurang menarik bagi orang NU yang berlatar belakang tradisi pondok pesantren.

Ketiga, faktor personal. Tidak semua alumni ketika berhasil menjadi pejabat strategis pemerintahan tertarik untuk mencari dan menata sahabat-sahabatnya yang ada di dalam birokrasi, sebagian tidak peduli dengan itu, bahkan seandainya sahabatnya itu punya kompetensi. Ini kembali pada karakter masing-masing individu, terutama seberapa besar kadar militansinya terhadap . "Tidak sedikit kader ketika berhasil menjadi pejabat strategis pemerintahan malah lebih mesra dengan kader OKP lain termasuk dalam penataan organisasi," katanya.

Baca Juga: HUT ke-64 PMII, Khofifah Ajak Mahasiswa Bangun Kualitas Pergerakan dengan Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Keempat, faktor eksternal. Jumlah kader yang sangat minoritas di dalam birokrasi pemerintahan tersebut akhirnya sering kena sapu bersih kelompok mayoritas, karena situasi dan kondisi birokrasi pemerintahan sebetulnya juga bergeng-geng sebagaimana partai politik. "Saya mengistilahkan politik birokrasi sebagai politik sirri," ujar Firman.

Kelima, faktor psikologis. "Bisa jadi kader di lingkungan birokrasi pemerintahan tidak sekecil itu, namun mereka menyembunyikan diri karena ditimpa syndrome inferiority complex, merasa rendah diri dan merasa minoritas, kalau menunjukkan ke--annya takut dilenyapkan dari dunia persilatan," terangnya.

"Berdasarkan kelima faktor tersebut di atas, saya berharap Kongres XX yang tidak selesai-selesai ini jangan hanya sibuk memilih ketua umum, tapi juga sibuk memikirkan permasalahan di atas, mengingat birokrasi pemerintahan adalah mesin negara. Percuma berhasil jadi nahkoda kementerian atau nahkoda daerah kalau mesinnya digerakkan oleh orang lain. Jatuhnya Gus Dur cukup jadi pelajaran berharga," lanjut Pengurus ISNU Kabupaten Bangkalan Tahun 2004-2007 tersebut.

Baca Juga: Peredaran Narkoba di Sumenep Dinilai Cukup Tinggi, Mahasiswa PMII Gerunduk Kantor Polres

"Muktamar Pemikiran Dosen dan Rakerwil III PW IKA Jatim di UIN Tulungagung tanggal 5-7 April 2021 mendatang juga bisa mengagendakan permasalahan ini, tentu saja tema besarnya adalah distribusi kader," pungkas Pengurus Besar era Nusron Wahid tersebut. (mdr/zar)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO