Oleh: M Mas’ud Adnan---Cukup banyak respons terhadap tulisan M Mas’ud Adnan tentang sosok KH Abdul Chalim. Baik edisi pertama maupun edisi kedua. Termasuk dari Jakarta. Maklum, selama ini tulisan tentang kiai asal Leuwimunding yang punya andil besar dalam pendirian NU itu sangat langka. Padahal Kiai Abdul Chalim sendiri adalah penulis sejarah KH Abdul Wahab Hasbullah.
Berikut tulisan M Mas’ud Adnan, Komisaris Utama HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE.com untuk edisi ketiga. Selamat membaca:
Baca Juga: Pengurus PC LPBI SER NU Gresik Siaga Bencana Alam
MESKI referensi sangat terbatas tapi ada saja informasi menarik untuk bahan tulisan tentang KH Abdul Chalim. Saya pun berusaha menjaga agar selalu dalam kondisi punya wudlu’, suci dari hadats kecil dan hadats besar, selama menulis Kiai Abdul Chalim.
Ini memang kebiasaan saya. Jika menulis hal-hal penting. Selalu punya wudlu'. Tujuan saya sederhana. Agar tulisan saya ada manfaatnya. Bukan hanya dibaca lalu hilang. Tapi meresap dan punya makna. Syukur jika menginspirasi.
Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim bercerita kepada saya. Bahwa karakter KH Abdul Chalim banyak dipengaruhi oleh Hadratussyaikh KHM Asy’ari dan KH Abdul Wahab.
Baca Juga: Ngaku Pelayan, Gus Fahmi Nangis saat Launching Majelis Istighatsah dan Ngaji Kitab At Tibyan
“Jadi apa yang disampaikan Kiai Hasyim dan Kiai Abdul Wahab betul-betul meresap dalam diri abah,” kata Kiai Asep kepada saya.
Menurut Kiai Asep, kader NU seperti abahnya itulah yang sekarang sulit ditemukan. “Sekarang gak ada,” kata pengasuh Pondok Pesantren Amantul Ummah Surabaya dan Pacet Mojokerto itu.
Kiai Asep juga menceritakan tentang akhlak mulia Hadratussyaikh.
Baca Juga: Imam Suyono Terpilih Jadi Ketua KONI Kabupaten Mojokerto Periode 2024-2029
“Kiai Hasyim (Hadratussyaikh, Red) itu sangat santun. Santun sekali. Kalau manggil abah saya Mas Chalim. Mas itu kan Gus,” tutur Kiai Asep Saifuddin Chalim kepada saya.
“Kesantunan Kiai Hasyim bisa dilihat pada Gus Sholah itu,” tambah Kiai Asep kemudian. Yang dimaksud Gus Sholah adalah KH Ir Salahuddin Wahid, putra KH A Wahid Hasyim dan cucu Hadratussyaikh KHM Hasyim Asy’ari.
Kiai Asep benar. Gus Sholah dikenal sangat santun. Tutur katanya lembut. Menyejukkan. Tapi sangat tegas dalam memegang prinsip. Kukuh pendirian.
Baca Juga: Bedah Buku KH Hasyim Asy'ari di Banjarmasin, Khofifah Sampaikan Pesan Persatuan dan Persaudaraan
Saya tahu betul karakter dan akhlak Gus Sholah. Jangankan kepada sesama kiai, kepada para santri pun sangat menghargai. Saya seringkali diajak bertemu oleh Gus Sholah.
“Dik Mas’ud bisa ketemu?,” demikian pertanyaan yang selalu saya ingat dari Gus Sholah.
“Menurut Dik Mas’ud gimana,” demikian pertanyaan lain Gus Sholah. Kadang juga pakai istilah sampean. “Menurut sampean gimana.”
Baca Juga: Doakan Kelancaran Tugas Khofifah-Emil, Kiai Asep Undang Kiai-Kiai dari Berbagai Daerah Jatim
Gus Sholah kadang minta pendapat lewat WA. Atau telepon langsung.
Tentang apa? Yang paling sering tentang NU, masalah nasional dan pesantren.
Loh, apakah saya orang hebat? Bukan! Karena Gus Sholah tidak hanya minta pendapat saya. Tapi juga minta pendapat teman-teman yang lain. Yang dianggap nyambung tentang persoalan yang mau didiskusikan.
Baca Juga: Bedah Buku KH Hasyim Asy'ari di Pekanbaru, Khofifah: Teladan Kepemimpinan dalam Keberagaman
Intinya, sebelum memutuskan sesuatu – terutama hal penting – Gus Sholah selalu minta pendapat banyak orang. Padahal Gus Sholah sendiri sudah punya keputusan sendiri.
"Sebenarnya saya sudah punya keputusan," kata Gus Sholah suatu ketika kepada saya. Tapi tetap perlu mendengarkan pendapat orang lain. Luar biasa!
Maka wajar jika banyak kiai terkesan dan terpesona dengan ketinggian akhlak Gus Sholah. Termasuk KH Afifuddin Muhajir.
Baca Juga: Kiai Asep Beri Reward Peserta Tryout di Amanatul Ummah, Ada Uang hingga Koran Harian Bangsa
“Sebagai putra dan cucu orang besar, beliau tidak memposisikan diri sebagai orang (besar). Tawaddlu’ luar biasa,” kata KH Afifuddin Muhajir kepada saya.
Kiai Afifuddin adalah Wakil Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo dan juga Wakil Rais Syuriah PBNU.
“Tawaddlu’-nya perlu kita teladani. Semoga kita bisa. Amin,” harap Kiai Afifuddin yang mengarang sejumlah kitab. Di antaranya Fathul Mujibil Qarib.
Baca Juga: Klaim Didukung 37 Cabor, Imam Sunyono Optimis Terpilih Ketua KONI Kabupaten Mojokerto
Nah, ketinggian akhlak Hadratussyaikh itulah tampaknya yang juga meresap dalam diri KH Abdul Chalim sehingga ulama yang punya kepiawaian menulis itu juga dikenal punya perangai halus. Wajahnya yang teduh semakin membuat performace Kiai Abdul Chalim menyenangkan banyak orang. Termasuk orang awam sekalipun.
Tak jelas, apakah karena mewarisi watak abahnya itu, Kiai Asep juga dikenal santun, meski kadang juga keras. Saya belum menggali lebih jauh tentang masalah ini kepada Kiai Asep. Mungkin untuk edisi lanjutan. Karena tulisan ini masih panjang.
Yang pasti, Kiai Asep dalam sehari-harinya selalu pakai boso kromo inggil (bahasa jawa halus), meski kepada putra-putrinya. Ini tentu sisi menarik dari seorang ulama besar dan pengasuh pondok pesantren besar yang juga guru besar.
Menurut Kiai Asep, Kiai Abdul Chalim tentu punya jati diri sendiri terutama dengan kapasitas keilmuannya yang tinggi. Tapi, menurut Kiai Asep, tempaan Hadratussyaikh dan Kiai Abdul Wahab telah membentuk karakter tersendiri bagi Kiai Abdul Chalim. (M Mas’ud Adnan/bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News