KEDIRI, BANGSAONLINE.com - Bumi Kediri ternyata pernah disinggahi Putra Raja Brawijaya V, Raja terakhir Kerajaan Majapahit. Tepatnya di Lembah Gunung Wilis di Hutan Kelir, Dusun Igir-Igir, Desa Joho, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri.
Wajar bila tidak semua orang tahu, bahkan mungkin kurang percaya bila ada seorang anak Raja Majapahit pernah "kesasar" di Bumi Kediri. Karena memang tidak ada bukti tertulis yang bisa dijadikan rujukan.
Baca Juga: Jaring Atlet untuk Porprov, Pordasi Kediri Gelar Kejurprov Berkuda di Lapangan Desa Wates
Hanya keyakinan warga saja, bila Syekh Bela Belu, yang sebelumnya bernama Raden Jaka Bandem, putra dari Raja Majapahit (Prabu Brawijaya terakhir), pernah singgah di Kampung Kelir.
Dukut (66), warga Dusun Igir-Igir, kepada BANGSAONLINE.com menceritakan bahwa ia mengetahui kalau di Kampung Kelir ada petilasan yang diyakini sebagai petilasan orang penting dari Majapahit itu, dari Almarhum Ayahnya, Setro.
Menurut Dukut, ayahnya pernah bercerita bahwa dulu ada surau tempat orang sakti di tengah Hutan Kelir untuk bertapa.
Baca Juga: Mengulik Candi Tikus, Peninggalan Majapahit yang Kini Menjadi Tempat Wisata
"Sebenarnya kalau dikatakan surau juga bukan, karena tempat itu hanya berupa batu bata putih yang di atasnya hanya ada dedaunan dari pohon yang seolah memayungi batu bata putih itu," katanya.
Batu bata putih itu dijadikan tempat untuk bersemedi dan tempat beristirahat seseorang yang diyakini Syekh Bela Belu muda, sebelum masuk Islam bersama pengikut setianya.
"Sekitar tahun 1962, ketika itu saya berusia 7 tahunan, pernah diajak bapak masuk hutan di mana batu bata putih itu berada. Kala itu, ada seorang kiai dari Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri, yang datang dan berjanji akan mendirikan mushola di atas batu bata putih itu," katanya, Selasa (26/10).
Baca Juga: Buka Rakerda Kejati Jatim 2024 di Kediri, Kajati: Pentingnya Penegakan Hukum Humanis dan Profesional
Janji mendirikan mushola itu ternyata tidak segera ditepati. Suatu saat, ia merasa tertidur dan bermimpi didatangi seseorang yang misterius, diminta agar mencari Mbah Kiai itu untuk segera mendirikan mushola di atas batu bata putih itu.
Menurut Dukut, mimpinya itu diberitahukan kepada bapaknya, Setro. Lalu dicarilah Mbah Kiai tersebut di Kecamatan Kras. Ketika ketemu, apa yang dipesankan orang dalam mimpinya itu disampaikan kepada Mbah Kiai. Maka setelah itu, dibangunlah mushola dari kayu di atas batu bata putih.
Diceritakan oleh Dukut, tempat tersebut masih wingit. Bila ada orang datang dengan niat tidak baik, akan celaka. Tapi bila datang dengan niat baik, maka juga akan baik.
Baca Juga: Gandeng Peradi, Fakultas Hukum Uniska Adakan Ujian Profesi Advokat
"Ketika itu Bapak saya sedang lapar dan berdoa agar bisa makan, tiba-tiba ada makanan, yang tidak diketahui datangnya," cerita Dukut.
Mushola yang diyakini sebagai petilasan Syekh Bela Belu itu kini banyak didatangi orang, baik dari Kediri sendiri maupun luar kota. Bahkan dari luar Jawa serta luar negeri seperti Malaysia dan Singapura.
Sayangnya, akses menuju Mushola Syekh Bela Belu yang berada di tengah hutan sejauh sekitar 3 km itu masih sulit. Kondisi jalannya berbatu, meski masih bisa dilalui kendaraan roda dua maupun roda empat. Hanya, untuk menuju Mushola Syekh Bela Belu, pengunjung harus berjalan kaki kurang lebih 1 km.
Baca Juga: Uniska dan ID Consulting Jepang Teken MoU Strategis untuk Penyerapan Tenaga Kerja
Diketahui, Syekh Bela Belu yang semula bernama Raden Jaka Bandem singgah di Kampung Kelir untuk beristirahat dan bersemedi, dalam rangka menyelamatkan diri. Sebab pada masa itu, kekuasaan Kerajaan Majapahit semakin terdesak oleh berdirinya Kerajaan Islam di bawah Pemerintahan Raden Patah di Demak Bintoro.
Raden Jaka Bandem yang nama aslinya Raden Dandhun menempuh perjalanan menyusuri pantai selatan. Dalam perjalanan ke pantai selatan itulah, diyakini Raden Jaka Bandem pernah singgah di Kampung Kelir.
Setelah berhari-hari menempuh perjalanan, mereka pun tiba di sebuah pantai yang bernama Parangtritis, dan mendirikan padepokan di daerah tersebut pada Puncak Bukit Pemancingan. Raden Jaka Bandem sendiri yang menjadi sesepuhnya.
Baca Juga: Peringatan Hari Disabilitas Internasional, Mbak Chicha Berkomitmen Setarakan Hak Penyandang
Kemudian datanglah Syekh Maulana Maghribi di wilayah pantai selatan yang merupakan penyiar Agama Islam dari Kerajaan Demak dengan rajanya Raden Patah, yang akhirnya menetap dan mendirikan pondok pada Puncak Bukit Sentana.
Syekh Maulana Maghribi kemudian menyiarkan ajaran Agama Islam dan membuat banyak orang tertarik dan memeluk Agama Islam, termasuk Raden Jaka Bandem bersama seluruh pengikutnya.
Kemudian Padepokan Bukit Pemancingan berubah menjadi pondok dengan Raden Jaka Bandem sebagai sesepuh pondok, hingga akhirnya ia berganti nama menjadi Syekh Bela Belu.
Baca Juga: Sambut Hari Ibu, Ketua TP-PKK Kabupaten Kediri Usung Subtema Perempuan Berbudaya
Sejak muda Syekh Bela Belu memiliki kegemaran tirakat atau bertapa, namun dengan cara yang berbeda. Yaitu tetap melakukan kegiatan makan, bahkan berlebihan, di mana ketika nasi sudah habis maka dengan segera akan kembali menanak nasi, begitu terus berulang-ulang.
Syekh Maulana Maghribi pun sempat bertanya mengapa tirakat yang dilakukan Syekh Bela Belu tidak lazim. Menurut Syekh Bela Belu, cara masing-masing orang berbeda-beda dalam melakukan tirakat.
Kemudian, Syekh Bela Belu mengajak Syekh Maulana Maghribi yang merupakan gurunya untuk bertanding ilmu berdasar cara tirakat yang berbeda tersebut, untuk menguji siapakah yang lebih berhasil.
Baca Juga: Ingin Hidup Mewah, Pria Asal Nganjuk Rampok 3 Swalayan di Kediri
Salah satu jenis pertandingan adalah megadu kecepatan dalam jarak tertentu, yaitu dari Parangtritis sampai ke Masjid Mekkah. Pada akhirnya, Syekh Bela Belu memenangkan pertandingan tersebut, dan Syekh Maulana Maghribi mengakui kekalahannya. (uji/berbagai sumber)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News